Ketika Kontrak Sosial Dikhianati
Dosen tetap di Jurusan Hubungan Internasional FISIP Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED), Koordintor Pusat Riset Kebijakan Strategis Asia Tenggara, LPPM UNSOED
DALAM
beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan gelombang kekecewaan publik terhadap elite politik di berbagai belahan dunia.
Dari Amerika Serikat hingga Brasil, dari Filipina hingga Indonesia, warga negara semakin skeptis terhadap janji-janji politik dan kinerja pemerintahan.
Fenomena ini bukan sekadar ekspresi ketidakpuasan sesaat, melainkan indikasi serius tentang krisis legitimasi dalam sistem demokrasi modern.
Ketika para penyelenggara negara mengkhianati kepercayaan rakyat, mereka tidak hanya melanggar janji kampanye politik, tetapi merobek kain sosial yang mengikat masyarakat dengan negara.
Pengkhianatan ini mengancam fondasi paling mendasar dari demokrasi: kesepakatan bahwa pemerintahan mendapat legitimasinya dari persetujuan yang diperintah.
Untuk memahami mengapa pengkhianatan politik begitu merusak, kita perlu kembali pada konsep kontrak sosial yang dikemukakan oleh filosof politik seperti John Locke dan Jean-Jacques Rousseau.
Menurut teori ini, individu-individu memberikan sebagian kebebasan mereka kepada negara dengan imbalan perlindungan, keamanan, dan kesejahteraan bersama.
Robert Dahl, salah satu teoretikus demokrasi terkemuka, menekankan bahwa legitimasi demokratis bergantung pada “responsiveness” atau daya tanggap pemerintah terhadap preferensi warga negara.
Ketika elite politik lebih mengutamakan kepentingan pribadi, keluarga, atau kelompok tertentu dibanding kepentingan publik, mereka melanggar prinsip fundamental ini.
Daron Acemoglu dan James Robinson dalam karya monumental mereka, “Why Nations Fail,” menjelaskan bagaimana institusi “ekstraktif”—yang dirancang untuk menguntungkan segelintir elite—dapat menghancurkan prosperitas dan stabilitas jangka panjang suatu negara.
Sebaliknya, institusi “inklusif” yang melayani kepentingan luas masyarakat menjadi kunci kemajuan berkelanjutan.
Pengkhianatan politik bukanlah fenomena unik Indonesia atau negara berkembang. Di Venezuela, Hugo Chávez dan penerusnya Nicolás Maduro menggunakan retorika populis untuk meraih kekuasaan, tapi kemudian membangun sistem otoriter yang menghancurkan ekonomi dan institusi demokratis.
Di Eropa, Viktor Orbán di Hungary menunjukkan bagaimana seorang pemimpin yang terpilih secara demokratis dapat secara bertahap menggerus kebebasan pers, independensi peradilan, dan ruang
civil society.
Strategi ini oleh para ahli disebut sebagai “competitive authoritarianism” atau otoritarianisme kompetitif.
Francis Fukuyama, dalam “Political Decay,” menggambarkan fenomena ini sebagai kemunduran politik dalam demokrasi modern.
Menurutnya, institusi politik dapat mengalami “decay” ketika elite lebih fokus pada
rent-seeking
(mencari keuntungan dari kekuasaan) daripada melayani kepentingan publik.
Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam “How Democracies Die” menjelaskan bahwa demokrasi modern jarang mati melalui kudeta militer yang dramatis.
Sebaliknya, kematian demokrasi sering terjadi melalui erosi bertahap yang dilakukan oleh pemimpin yang terpilih secara demokratis.
Tanda-tanda awal pengkhianatan ini dimulai dengan polarisasi ekstrem, di mana elite politik sengaja memecah-belah masyarakat untuk memobilisasi basis dukungan, menciptakan mentalitas “kita versus mereka” yang merusak kohesi sosial.
Langkah berikutnya biasanya berupa delegitimasi oposisi, ketika pemerintah berusaha melabeli kritik sebagai “pengkhianatan” atau “subversi”, sambil mempertanyakan patriotisme dan loyalitas lawan politik.
Proses ini berlanjut dengan pelemahan institusi pengawas, di mana media independen, lembaga anti-korupsi, dan institusi
checks and balances
lainnya dilemahkan melalui berbagai cara.
Tahap akhir yang paling berbahaya adalah kooptasi hukum, ketika sistem peradilan dijadikan alat untuk melindungi sekutu politik sambil menghukum lawan, menghancurkan prinsip
rule of law.
Edelman Trust Barometer, survei global tentang kepercayaan publik, konsisten menunjukkan penurunan kepercayaan terhadap institusi pemerintah di berbagai negara, dengan tren menurun yang signifikan dalam dekade terakhir.
Ketika kepercayaan publik tergerus, tercipta lingkaran setan yang sulit diputus. Warga yang tidak percaya pada sistem politik cenderung tidak berpartisipasi dalam proses demokratis, memberikan ruang lebih besar bagi elite korup untuk beroperasi.
Sebaliknya, elite yang kehilangan legitimasi cenderung menggunakan cara-cara represif untuk mempertahankan kekuasaan, semakin merusak kepercayaan publik.
Fenomena ini juga menciptakan ruang bagi populisme ekstrem dan gerakan antiestablishment yang, ironisnya, sering kali dipimpin oleh elite dengan agenda tersembunyi mereka sendiri.
Dalam teori demokrasi, terdapat dua mekanisme utama untuk memastikan akuntabilitas politik. Pertama adalah akuntabilitas vertikal yang berjalan melalui pemilihan umum, di mana rakyat dapat menghukum pemimpin yang mengecewakan dengan tidak memilih mereka lagi.
Namun, efektivitas mekanisme ini bergantung pada akses informasi yang akurat dan proses elektoral yang
fair
.
Kedua adalah akuntabilitas horizontal yang melibatkan sistem
checks and balances
antarinstitusi negara, di mana legislatif mengawasi eksekutif, yudikatif memastikan konstitusionalitas kebijakan, dan lembaga-lembaga independen seperti KPK melakukan pengawasan.
Ketika kedua mekanisme ini dilemahkan, baik melalui manipulasi elektoral, kontrol media, atau kooptasi institusi, rakyat kehilangan alat kontrol terhadap elite politik mereka.
Menghadapi krisis legitimasi ini, solusinya bukan hanya menunggu pemilihan umum berikutnya. Diperlukan upaya sistematis untuk membangun ketahanan demokratis yang dimulai dari penguatan
civil society
.
Organisasi masyarakat sipil yang independen berperan krusial sebagai pengawas dan mediator antara negara dan warga, sehingga mereka perlu diberi ruang dan perlindungan untuk beroperasi.
Selain itu, media independen menjadi pilar penting demokrasi karena jurnalisme berkualitas yang bebas dari interferensi politik dan ekonomi sangat dibutuhkan.
Investasi dalam literasi media juga penting untuk membantu warga membedakan informasi valid dari disinformasi.
Pendidikan kewarganegaraan tidak kalah pentingnya, karena seperti yang dikatakan Alexis de Tocqueville, “The price of freedom is eternal vigilance.” Warga perlu memahami hak dan kewajiban mereka dalam sistem demokratis.
Terakhir, reformasi institusional harus dilakukan dengan memperkuat institusi-institusi pengawas melalui independensi, kapasitas, dan mandat yang jelas untuk melawan korupsi dan abuse of power.
Kekecewaan terhadap elite politik sebenarnya adalah tanda sehat dalam demokrasi, menunjukkan bahwa warga masih peduli dan memiliki ekspektasi terhadap pemerintahan mereka.
Yang berbahaya adalah ketika kekecewaan ini berubah menjadi apatis atau lebih buruk lagi, dukungan terhadap alternatif antidemokratis.
Tantangannya adalah mengalihkan kekecewaan ini menjadi energi konstruktif untuk memperbaiki sistem.
Ini membutuhkan komitmen jangka panjang dari semua stakeholder bukan hanya elite politik, tetapi juga masyarakat sipil, media, akademisi, dan warga biasa.
Demokrasi bukan produk jadi yang bisa dibeli di toko, melainkan proses yang harus dipelihara setiap hari.
Ketika kontrak sosial dikhianati, tugas kita bukan hanya mengkritik, tetapi juga membangun alternatif yang lebih baik. Hal ini membutuhkan partisipasi aktif dari seluruh lapisan masyarakat dalam menjaga dan memperbaiki sistem demokratis kita.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Ketika Kontrak Sosial Dikhianati Nasional 30 Agustus 2025
/data/photo/2025/08/27/68ae34574b4bf.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)