Ketika Jalanan Jadi Parlemen Baru
Dosen tetap di Jurusan Hubungan Internasional FISIP Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED), Koordintor Pusat Riset Kebijakan Strategis Asia Tenggara, LPPM UNSOED
DARI
Jakarta hingga Paris, dari Kathmandu hingga Manila, dunia sedang bergolak. Gedung-gedung parlemen dibakar, perdana menteri dipaksa mundur, dan jutaan orang turun ke jalan dengan kemarahan membara.
Sekilas, pemandangan ini mengingatkan kita pada momen-momen bersejarah demokratisasi dunia: Revolusi Anyelir di Portugal 1974, kejatuhan Tembok Berlin 1989, atau reformasi Indonesia 1998. Namun, ada yang berbeda kali ini.
Fundamentally
berbeda.
Samuel Huntington, ilmuwan politik legendaris dari Harvard, pernah mendokumentasikan apa yang disebutnya “Gelombang Ketiga Demokratisasi”, periode luar biasa antara 1974-1990-an ketika lebih dari 60 negara bertransisi dari kediktatoran menuju demokrasi.
Optimisme meluap-luap. Francis Fukuyama bahkan memproklamirkan “akhir sejarah”, seolah demokrasi liberal telah memenangkan pertarungan ideologi untuk selamanya.
Namun, gelombang protes yang menyapu dunia hari ini, menceritakan kisah yang sama sekali berbeda.
Para demonstran di Jakarta tidak menuntut hak memilih, mereka sudah memilikinya sejak 1998.
Generasi Z di Kathmandu tidak berjuang melawan monarki absolut. Nepal sudah menjadi republik sejak 2008.
Massa yang membakar gedung parlemen bukanlah pejuang demokrasi dalam pengertian klasik. Mereka adalah warga negara yang marah terhadap demokrasi mereka sendiri yang gagal memenuhi janji.
Inilah paradoks zaman kita: protes massa terbesar justru terjadi di negara-negara yang sudah demokratis, setidaknya secara prosedural.
Pertanyaannya kemudian: apakah kita sedang menyaksikan “Gelombang Keempat” demokratisasi, atau sesuatu yang sama sekali berbeda?
Mari kita bedah apa yang sebenarnya terjadi di lapangan. Di Indonesia, percikan awalnya tampak sepele: tunjangan perumahan Rp 50 juta untuk anggota DPR di tengah pemotongan anggaran pendidikan dan kesehatan.
Namun, kemarahan yang meledak mengungkap luka yang lebih dalam, yaitu persepsi tentang elite yang korup dan terputus dari realitas rakyat.
Ketika Affan Kurniawan, pengemudi ojek online berusia 21 tahun, tewas terlindas kendaraan taktis polisi, protes semakin masif dan meluas.
Lebih dari 1.240 orang ditahan, gedung-gedung pemerintah dibakar. Tunjangan kontroversial tersebut akhirnya dihentikan.
Protes berdarah yang menewaskan 19 demonstran berakhir dengan pengunduran diri Perdana Menteri K.P. Sharma Oli.
Namun, ini bukan kemenangan demokrasi, tapi upaya putus asa untuk menekan tombol reset pada sistem yang telah gagal total.
Filipina menyajikan inovasi menarik: “lifestyle policing” melalui media sosial. Aktivis menggunakan TikTok dan Instagram untuk menyandingkan foto liburan mewah keluarga politisi dengan gambar korban banjir akibat proyek infrastruktur korup.
Taktik ini mentransformasi konsep abstrak “korupsi” menjadi ketidakadilan yang kasat mata, viral, dan memicu kemarahan.
Thailand menghadirkan kompleksitas berbeda. Negara ini memiliki pemilu, parlemen, dan konstitusi (20 konstitusi sejak 1932, tepatnya).
Namun, ketika partai pemenang pemilu 2023 diblokir membentuk pemerintahan oleh Senat yang ditunjuk militer, rakyat memahami kebenaran pahit: suara mereka tidak berarti.
Protes yang menuntut reformasi monarki—tabu tertinggi dalam politik Thailand—adalah jeritan frustasi terhadap “veto-krasi” yang membuat demokrasi menjadi sandiwara kosong.
Bahkan Perancis, benteng demokrasi Barat, tidak kebal. Gerakan “Block Everything” melawan kebijakan penghematan Macron menunjukkan bahwa krisis kepercayaan ini bersifat global, melampaui batas antara demokrasi “muda” dan “matang.”
Huntington berbicara tentang “efek bola salju”, bagaimana kesuksesan demokratisasi di satu negara menginspirasi tetangganya.
Spanyol menginspirasi Portugal, Polandia menginspirasi Hongaria. Namun, efek bola salju hari ini berbeda. Ia tidak lagi dibatasi geografis atau membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk menyebar.
Istilah “nepo babies” yang muncul di Filipina dalam hitungan hari diadopsi aktivis Nepal. Taktik “lifestyle policing” menyebar seperti virus lintas benua.
Solidaritas tidak lagi membutuhkan kedekatan fisik, “Milk Tea Alliance” menyatukan aktivis Thailand, Hong Kong, dan Taiwan melalui meme dan tagar.
Bola salju modern adalah algoritma yang memviralkan ketidakadilan, mentransformasi kemarahan lokal menjadi pemberontakan global dalam hitungan jam, bukan tahun.
Jika protes-protes ini bukan gelombang demokratisasi baru, lalu apa? Jawabannya memerlukan paradigma baru.
Kita sedang menyaksikan apa yang dapat disebut “respons imun demokrasi global”, satu bentuk reaksi organik dari masyarakat sipil terhadap patogen yang menggerogoti demokrasi dari dalam: korupsi sistemik, elite yang terputus, institusi yang membusuk, dan apa yang ilmuwan politik sebut “democratic backsliding” (kemunduran demokrasi).
Seperti sistem kekebalan tubuh yang menyerang virus, protes-protes ini adalah mekanisme pertahanan terakhir ketika institusi formal gagal.
Ketika parlemen tidak lagi mewakili rakyat, jalanan menjadi parlemen alternatif. Ketika sistem peradilan gagal menghukum koruptor, media sosial menjadi pengadilan rakyat.
Ketika pemilu tidak menghasilkan perubahan bermakna, protes menjadi satu-satunya “suara” yang didengar.
Ini menjelaskan mengapa pola yang sama muncul di konteks berbeda. Demonstran di Jakarta dan Paris, meski hidup dalam sistem politik yang sangat berbeda, berbagi frustrasi yang sama: pemerintah tidak responsif, kebijakan menguntungkan elite, dan institusi kehilangan legitimasi. Krisis kepercayaan adalah pandemi politik abad ke-21.
Implikasi dari diagnosis ini sangat mendalam. Jika tantangan utama bukan lagi membangun institusi demokratis, tetapi mempertahankan kualitas dan legitimasinya, maka resep kebijakan harus berubah total.
Tidak cukup mengadakan pemilu berkala. Tidak cukup memiliki parlemen dan konstitusi. Demokrasi abad ke-21 harus menemukan cara untuk memulihkan kepercayaan, memerangi korupsi sistemik, dan membuat institusi benar-benar responsif terhadap aspirasi rakyat.
Protes-protes ini, meski sering berdarah dan kacau, sebenarnya adalah tanda harapan. Masyarakat sipil masih memiliki vitalitas untuk melawan pembusukan.
Bahwa generasi muda tidak akan diam melihat masa depan mereka dicuri. Bahkan dalam era sinisme politik, masih ada yang peduli untuk berjuang.
Namun, respons imun saja tidak cukup. Seperti demam yang terlalu tinggi dapat membunuh pasien, protes yang terus-menerus tanpa reformasi institusional dapat menghancurkan tatanan sosial.
Pertanyaan kritisnya adalah: akankah elite politik di Jakarta, Kathmandu, Manila, Bangkok, dan Paris mendengar peringatan ini dan melakukan reformasi sejati?
Atau akankah mereka terus bermain sandiwara demokrasi hingga jalanan benar-benar menjadi satu-satunya parlemen yang tersisa?
Sejarah belum selesai ditulis. Namun satu hal sudah jelas: kita tidak sedang menyaksikan gelombang baru demokratisasi.
Kita sedang menyaksikan perjuangan untuk jiwa demokrasi itu sendiri, satu bentuk perjuangan antara harapan akan pemerintahan yang akuntabel dan realitas elite yang tercerabut dari akarnya.
Hasil dari perjuangan ini akan menentukan apakah demokrasi abad ke-21 dapat memperbarui dirinya, atau akan tenggelam dalam krisis kepercayaan yang semakin dalam.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Ketika Jalanan Jadi Parlemen Baru Nasional 12 September 2025
/data/photo/2025/09/03/68b7eba509b57.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)