Malang (beritajatim.com) – Pemandangan sore di kafe-kafe Kota Malang kini tak hanya diisi oleh tawa dan obrolan santai. Di balik meja bar, tangan-tangan terampil mahasiswa meracik espresso, bukan lagi mengepalkan tangan di podium orasi. Fenomena ini memicu pertanyaan besar: Apakah aktivisme kampus dengan segala idealismenya mulai kehilangan pamor, digeser oleh realita kemandirian dan secangkir kopi?
Dunia kemahasiswaan yang dulu identik dengan rapat BEM hingga larut malam, diskusi alot, dan jas almamater kebanggaan, kini mendapat penantang baru. Bukan ideologi lain, melainkan celemek barista dan aroma biji kopi yang menjanjikan kemandirian finansial sekaligus ruang ekspresi yang lebih personal.
Dua mahasiswa dari kampus ternama di Malang, Izzul dan Faris, berbagi kisah mereka menavigasi dua dunia ini. Pilihan mereka seolah menjadi cerminan pergeseran paradigma mahasiswa ideal di era sekarang.
Muhammad Izzul Haq, mahasiswa semester akhir Universitas Islam Malang (Unisma), tidak ragu saat dihadapkan pada pilihan itu. “Secara jelas saya memilih menjadi barista,” tegas dia saat berbincang dengan beritajatim.com.
Bagi Izzul, ini bukan sekadar lari dari kompleksitas dunia aktivis. Sebaliknya, ini adalah cara proaktif mempersiapkan diri menghadapi tantangan zaman. Ia pernah merasakan denyut nadi pergerakan sebagai anggota Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas (BEM U) dan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM). Baginya, organisasi memberinya wawasan, relasi, dan pemahaman dinamika kampus.
Namun, dunia di balik mesin kopi menawarkan sesuatu yang lebih konkret. “Di dunia kopi itu saya jelas mendapatkan banyak hal yang lebih nyata, tentang implementasi teori, implementasi kajian-kajian yang saya dapatkan di kampus,” ungkap mahasiswa Administrasi Bisnis ini.
Barista menjadi laboratorium praktiknya, tempat ia bisa berinovasi dan ikut andil dalam manajemen bisnis secara langsung. Kesenjangan terbesar yang ia rasakan adalah soal waktu.
“Waktu main-main seorang barista ini berkurang, jadi dia harus lebih fokus antara kuliah dan menjadi seorang barista,” akunya. Sebuah harga yang harus dibayar untuk kematangan yang lebih cepat.
Berbeda dengan Izzul yang sepenuhnya beralih, Faris dari Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menjalani keduanya. Ia adalah seorang barista yang gandrung pada dunia kopi, sekaligus seorang pendebat ulung yang masih aktif di UKM Debat, WMM Debating Society.
Kecintaannya pada debat terbayar lunas. Impiannya sejak SMA untuk menjuarai National University Debating Championship (NUDC) terwujud.
“Alhamdulillah meskipun tidak menjadi champion pada tahun 2023, saya bisa menjuarai NUDC pada kategori novice dan saya dapat juara tiga,” tuturnya bangga. [dan/beq]
