Malang (beritajatim.com) – Pilihan untuk terjun ke dunia kerja paruh waktu secara tak terhindarkan menciptakan sebuah kesenjangan gaya hidup. Ritme hidup seorang aktivis dan seorang barista berjalan di dua jalur yang berbeda.
Faris menggambarkannya dengan sangat jernih. “Kalau di organisasi biasanya kan sibuk rapat, acara kampus, terus networking formal. Sementara sebagai barista, kita lebih terbiasa dengan dunia kerja yang praktis, ritme yang cepat, dan ketemu banyak orang dari latar belakang yang berbeda, nggak cuma mahasiswa aja,” kata dia.
Citra yang terbangun pun berbeda. Menurutnya, mahasiswa aktif organisasi seringkali dipandang lebih serius, prestisius, dan dianggap sudah punya tujuan hidup yang jelas. “Mereka itu lebih identik sama jas almamater, rapat, dan acara formal kampus,” katanya.
“Sementara mahasiswa yang jadi barista itu kadang dipandang lebih santai,” lanjutnya. “Tapi sebenarnya mereka itu juga punya mental kerja yang kuat. Mereka belajar tanggung jawab langsung di lapangan. Padahal kalau menurut saya, dua-duanya keren, cuma beda jalur aja.”
Pergeseran ini bukan berarti kehilangan identitas, melainkan sebuah evolusi. Faris lebih suka menyebutnya sebagai shifting identity.
“Dulu identitas saya lebih ke arah anak yang suka diskusi, sibuk rapat, bikin proposal. Sejak masuk ke dunia perkopian, saya ngerasa identitasnya lebih santai, lebih terbuka, dan lebih relatable ke banyak orang, nggak cuma circle kampus aja. Jadi bukan kehilangan identitas, tapi lebih kayak shifting aja dari yang serba terstruktur ke arah yang lebih organik,” paparnya. [dan/beq]
