JAKARTA – Presiden Prabowo Subianto pada tahun 2025 tercatat sudah tiga kali menganulir kebijakan yang dikeluarkan pembantunya di Kabinet Merah Putih.
Hal ini disebut sebagai salah satu cara untuk mempertahankan citra positifnya di depan publik.
Pengamat politik Khairunnisa Lubis menilai, Prabowo tengah menerapkan strategi cek ombak dengan menggunakan para menteri untuk merilis kebijakan-kebijakan kontroversial.
Namun pada akhirnya, presiden menganulir kebijakan itu bila menuai kritikan dari publik sehingga citranya sebagai presiden prorakyat tetap terjaga.
“Tidak menutup kemungkinan sih ya ini dilakukan untuk cek ombak terhadap respons publik, sekaligus juga personal branding politik untuk Presiden Prabowo sendiri,” ujarnya, Minggu, 23 Maret 2025.
Seperti diketahui, usai memicu protes publik, pemerintah akhirnya merevisi kebijakan penundaan pengangkatan calon aparatur sipil negara (CASN) dan calon pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) hasil seleksi 2024.
Calon pegawai negeri sipil (CPNS) diangkat paling lambat Juni 2025, sedangkan PPPK diangkat paling lambat Oktober 2025.
Padahal, KemenPAN-RB sebelumnya mengumumkan bahwa pengangkatan CASN 2024 menjadi ASN dilaksanakan serentak pada 1 Oktober 2025. Adapun PPPK tahap I dan tahap II dilaksanakan serentak Maret 2026.
Bulan Februari lalu, Prabowo mencabut kebijakan larangan pengecer menjual elpiji 3 kilogram yang diberlakukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), setelah menuai protes keras dari masyarakat.
Awal Januari lalu, presiden juga merevisi rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai atau PPN dari 11 menjadi 12 persen, dengan mengumumkan kenaikan tarif hanya akan diberlakukan untuk barang-barang kategori mewah.
Selain “cek ombak”, Nisah-sapaan akrab Khairunnisa-mengungkapkan, bisa saja Prabowo juga mengalah karena adanya tekanan dari elite politik.
“Gaya menganulir kebijakan di masa pemerintahan Prabowo ini bisa terjadi karena adanya tekanan politik, seperti dinamika politik dalam negeri, termasuk tekanan dari partai politik, kelompok kepentingan, atau publik,” imbuhnya.
Terlepas dari apa pun alasannya, menurut Nisah, tren menganulir kebijakan menteri yang ambil Prabowo berawal dari ketidakpiawaian para pembantunya dalam menerjemahkan visi dan misi presiden.
“Sehingga begitu mendapat protes keras Prabowo harus buru-buru menganulir agar tidak merusak citra pemerintah. Sebenarnya bagus bertindak cepat menganulir kebijakan yang mengusik hajat hidup orang banyak,” tukasnya.
Sayangnya, kata Nisah, Prabowo tidak cukup berani melakukan reshuffle kepada menteri-menteri yang membuat kebijakan keliru dan menyusahkan hajat hidup orang banyak.
Padahal, kebijakan-kebijakan kontroversial para menteri itu mengindikasikan mereka tak memahami visi-misi Prabowo.
“Harusnya Prabowo melakukan reshuffle menteri yang sudah jelas membuat kebijakan menyengsarakan rakyat. Cuma Prabowo rupanya belum cukup berani karena mungkin pertimbangan dukungan dari partai politik,” tutupnya.