Keracunan Massal MBG dan Pelanggaran HAM Negara
Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan UNNES, Direktur Eksekutif Amnesty UNNES, dan Penulis
PADA
Mei 2025 lalu, penulis telah menyoroti persoalan keracunan massal Program Makan Bergizi Gratis (MBG) melalui opini berjudul “
Bukan Sekadar Statistik: Keracunan Massal MBG dan Alarm bagi Komitmen HAM
” (Kompas.com, 14/05/2025).
Kala itu, kasus di Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI), Sumatera Selatan, menyebabkan ratusan anak dilarikan ke rumah sakit setelah menyantap MBG. Peristiwa ini telah diperingatkan sebagai alarm dini atas bahaya sistemik dalam pelaksanaan program.
Kini, peringatan itu bukan hanya terbukti, melainkan menjelma menjadi tragedi besar. Di Bandung Barat saja, lebih dari 1.300 siswa dilaporkan keracunan MBG pada September 2025, menjadikannya episentrum krisis gizi yang ironis.
Secara nasional, Badan Gizi Nasional (BGN) mencatat lebih dari 4.600 kasus keracunan sejak Januari hingga September 2025, sedangkan CISDI menemukan sedikitnya 6.600 kasus melalui pemantauan media massa. Perbedaan angka ini menunjukkan adanya persoalan transparansi, sekaligus menandakan kemungkinan besar bahwa jumlah korban sesungguhnya jauh lebih besar dari data resmi.
Fakta bahwa program yang dirancang untuk memenuhi gizi anak justru telah mencatat lebih dari lima ribu kasus keracunan dalam sembilan bulan pertama adalah bukti kegagalan negara. Krisis ini tidak dapat lagi dipandang sebagai masalah teknis distribusi pangan semata, melainkan telah beralih menjadi isu pelanggaran hak asasi manusia — khususnya hak anak atas kesehatan, keselamatan, dan hidup yang layak sebagaimana dijamin oleh konstitusi dan instrumen HAM internasional.
Dalam perspektif hukum hak asasi manusia, kasus keracunan massal MBG tidak dapat dipandang sekadar sebagai kelalaian administratif, melainkan merupakan pelanggaran kewajiban negara dalam menjamin hak-hak dasar warganya, khususnya anak-anak.
Konstitusi Indonesia telah secara tegas memberikan jaminan. Pasal 28B ayat (2) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas pelindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Sementara itu, Pasal 28H ayat (1) UUD NRI 1945 menjamin hak setiap orang untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, serta mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Namun, fakta ribuan anak justru mengalami keracunan akibat program negara memperlihatkan bahwa jaminan konstitusional tersebut telah nyata tercederai. Tidak hanya dalam tataran konstitusi, hukum nasional juga mengatur kewajiban negara untuk memastikan pelindungan hak anak dan keamanan pangan.
UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan hak setiap anak atas pelindungan, kesejahteraan, dan perawatan yang layak. UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang telah diubah dengan UU No. 35 Tahun 2014, memandatkan negara untuk menjamin kesehatan anak serta menyediakan sarana layanan kesehatan yang aman. Pun, UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan memberikan pengakuan eksplisit atas hak setiap warga negara untuk memperoleh pangan yang aman, bermutu, dan bergizi.
Maka, keracunan massal MBG menandakan tidak dijalankannya kewajiban hukum positif yang sudah lama berlaku di Indonesia. Kewajiban negara semakin jelas ketika dilihat dari perspektif hukum internasional.
Konvensi Hak Anak (CRC) 1989, melalui Keppres No. 36 Tahun 1990, mewajibkan negara menjamin hak hidup dan standar kesehatan tertinggi bagi anak sebagaimana tertuang dalam Pasal 6 dan 24. Demikian pula, Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR), yang telah diaksesi dengan UU No. 11 Tahun 2005, mengikat Indonesia untuk menjamin hak atas standar hidup layak, termasuk pangan yang aman dan bergizi (Pasal 11), serta hak atas kesehatan (Pasal 12).
Prinsip
non-retrogression
dalam ICESCR secara tegas melarang negara mengambil kebijakan yang menyebabkan kemunduran dalam pemenuhan hak-hak tersebut. Keracunan massal akibat MBG dengan sendirinya merupakan bentuk regresi yang serius, sebab program yang ditujukan untuk meningkatkan gizi anak justru menurunkan kualitas kesehatan mereka secara signifikan.
Maka, tragedi MBG bukan hanya kesalahan teknis dalam tata kelola distribusi makanan, melainkan kegagalan struktural negara dalam memenuhi kewajiban
to respect, to protect, and to fulfill
hak asasi manusia, khususnya hak-hak anak. Negara tidak hanya lalai dalam menyediakan makanan yang aman, tetapi juga gagal melindungi anak-anak dari bahaya yang dihasilkan oleh programnya sendiri.
Situasi ini mencerminkan pelanggaran serius terhadap konstitusi, undang-undang nasional, maupun instrumen HAM internasional yang telah menjadi bagian dari hukum positif Indonesia.
Alih-alih menjadi solusi atas masalah gizi anak, program Makan Bergizi Gratis (MBG) kini justru dijuluki sinis sebagai “Makan Beracun Gratis” oleh sebagian masyarakat. Julukan ini bukanlah sekadar ekspresi emosional, melainkan cerminan dari krisis kepercayaan publik akibat berulangnya insiden keracunan massal.
Program yang di atas kertas diproyeksikan untuk meningkatkan status gizi dan kualitas hidup anak-anak, dalam praktiknya berubah menjadi sumber ketakutan baru: apakah makanan yang dikonsumsi anak di sekolah benar-benar aman?
Dalam kerangka teori legitimasi kebijakan publik, suatu program hanya dapat dipertahankan ketika tujuan normatifnya selaras dengan hasil empiris yang dirasakan masyarakat (Suchman, 1995). MBG dirancang sebagai instrumen keadilan sosial, namun kegagalan memastikan aspek keamanan pangan membuatnya kehilangan legitimasi.
Ketika masyarakat menyebutnya “beracun”, hal itu menandakan hilangnya kepercayaan sosial (
social trust
) terhadap negara sebagai penyelenggara layanan dasar. Kritik ini pun dapat dibaca melalui konsep “banalitas keburukan” (
banality of evil
) ala Arendt. Bahaya bukan hanya muncul dari niat jahat, tetapi juga dari kelalaian sistemik yang dinormalisasi.
Ketika keracunan ribuan anak direduksi menjadi “hanya sebagian kecil” atau dianggap
acceptable risk
dari sebuah program nasional, negara sedang melakukan banalitas terhadap penderitaan manusia—membiarkan pelanggaran hak anak berlangsung di bawah retorika keberhasilan statistik.
Istilah “Makan Beracun Gratis” merupakan simbol perlawanan moral, yang menyuarakan bahwa setiap nyawa anak tidak boleh ditukar dengan klaim administratif tentang distribusi gizi. Negara tidak bisa menjustifikasi keracunan ribuan anak dengan narasi pencapaian angka, sebab dalam hukum hak asasi manusia, satu nyawa yang terabaikan saja sudah terlalu banyak.
Tragedi berulang yang menimpa ribuan anak menunjukkan bahwa program MBG tidak dapat lagi dipertahankan dengan logika tambal sulam. Evaluasi parsial terhadap dapur atau sekadar pemberhentian sementara penyedia layanan tidak akan cukup. Yang dibutuhkan adalah evaluasi total terhadap desain, tata kelola, dan mekanisme implementasi program MBG.
Hal ini sejalan dengan prinsip kehati-hatian (
precautionary principle
) dalam layanan publik: ketika suatu kebijakan berisiko besar menimbulkan bahaya, negara wajib menghentikan atau mengubah kebijakan tersebut hingga dapat dipastikan aman bagi penerima manfaat.
Salah satu opsi reformasi yang patut dipertimbangkan adalah desentralisasi mekanisme penyediaan makanan, misalnya dengan mengalihkan sebagian besar anggaran MBG ke sekolah dan orang tua melalui skema yang lebih transparan dan partisipatif.
Model distribusi terpusat yang bergantung pada ribuan dapur SPPG terbukti rawan salah kelola, tidak efisien dalam logistik, serta berulang kali menimbulkan insiden keracunan massal. Alternatifnya, dana bisa disalurkan untuk memperkuat kantin sekolah berbasis lokal atau langsung diberikan kepada keluarga dalam bentuk bantuan gizi, sehingga ada kontrol kualitas yang lebih dekat dan sesuai kebutuhan anak.
Pun, evaluasi total juga harus mencakup aspek akuntabilitas dan transparansi. Negara perlu membuka kanal pelaporan publik, melibatkan lembaga independen seperti Komnas HAM dan Ombudsman, serta memastikan adanya mekanisme pengaduan yang cepat dan efektif bagi korban.
Tanpa langkah ini, MBG akan terus menjadi sumber ancaman, bukan pelindungan. Intinya, program yang semula digadang sebagai simbol kepedulian negara terhadap gizi anak telah kehilangan legitimasi moral dan hukum akibat kegagalannya menjamin keamanan.
Jika pemerintah sungguh ingin menjaga masa depan generasi, maka moratorium MBG untuk evaluasi total adalah keharusan, bukan pilihan. Reformasi mekanisme, partisipasi masyarakat, dan pengawasan independen harus menjadi fondasi baru agar tragedi keracunan massal tidak lagi berulang pada masa depan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Keracunan Massal MBG dan Pelanggaran HAM Negara Nasional 27 September 2025
/data/photo/2025/09/27/68d71a8fc1973.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)