Keracunan, Calo, dan Masa Depan Makan Bergizi Gratis
Aktivis dan peneliti; Magister Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, IPB University.
PRESIDEN
Prabowo Subianto mengusung Makan Bergizi Gratis (MBG) sebagai program andalan pemerintahannya.
Tujuan program ini jelas, yakni memberikan makanan sehat kepada anak-anak dan kelompok rentan agar tidak kekurangan gizi, menekan angka stunting, serta membentuk generasi masa depan yang lebih sehat dan produktif.
Gagasan ini bukan sekadar janji politik, melainkan investasi strategis negara yang selaras dengan agenda pembangunan jangka panjang.
Negara maju telah membuktikan bahwa pembangunan sumber daya manusia melalui perbaikan gizi jauh lebih murah daripada menanggung biaya kesehatan dan kerugian ekonomi di kemudian hari.
Namun, kenyataan di lapangan tidak sesederhana niat baik. Belakangan publik diramaikan laporan kasus keracunan massal dari program MBG.
Data pemantauan CISDI yang dihimpun dari pemberitaan media mencatat lonjakan kasus signifikan: Januari 99 kasus, April 1.226, Agustus 1.285, dan September bahkan mencapai 1.726 kasus.
Ribuan anak jatuh sakit akibat makanan yang seharusnya menjadi sarana perbaikan gizi. Fakta ini menjadi alarm keras bagi pemerintah bahwa ada persoalan serius dalam implementasi di lapangan.
Menurut Badan Gizi Nasional (BGN), program MBG saat ini telah mnjangkau 29,8 juta penerima manfaat melalui 8.018 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang beroperasi di seluruh Indonesia.
Angka ini mencerminkan jangkauan yang luas. Namun, jangkauan semata tidak cukup sebagai tolok ukur keberhasilan. Mutu makanan dan dampak nyata pada gizi masyarakat adalah ukuran sesungguhnya.
Kasus keracunan tidak bisa dianggap sebagai kecelakaan teknis belaka. Masalah ini harus dilihat sebagai sinyal bahwa sistem pengawasan, keamanan pangan, dan kualitas pelayanan dapur MBG belum berjalan dengan baik.
Persoalan keracunan massal tidak dapat dipandang sebagai kegagalan teknis dapur semata. Ombudsman RI secara terbuka menyebut adanya “calo-calo yayasan” yang bergentayangan dalam pelaksanaan MBG, berperan sebagai perantara dalam penunjukan mitra dapur.
Praktik ini membuka ruang biaya tambahan yang seharusnya tidak ada. Kepala BGN sendiri mengakui telah menerima laporan tentang SPPG “nakal” yang diduga menyunat anggaran atau melakukan pemotongan tak resmi, dan menegaskan akan meminta pengembalian dana jika terbukti.
Fakta ini menunjukkan bahwa isu calo bukan sekadar rumor, melainkan kenyataan yang telah diamati oleh lembaga pengawas dan diakui oleh pejabat terkait.
Konsekuensinya jelas: margin keuntungan mitra dapur tergerus sebelum kegiatan dimulai. Untuk menutup kerugian, penyedia terpaksa menurunkan kualitas bahan makanan, mengabaikan standar higienitas, atau memangkas pelatihan tenaga masak.
Hasilnya, makanan yang seharusnya meningkatkan gizi justru menjadi sumber penyakit. Keracunan massal adalah wajah nyata dari tata kelola yang rapuh.
Di sisi lain, praktik percaloan juga berpengaruh pada serapan anggaran. Proses penunjukan mitra menjadi lambat karena adanya “deal” tidak resmi.
Inilah salah satu alasan mengapa serapan anggaran MBG tahun 2025 hingga awal September baru sekitar Rp 13 triliun dari pagu Rp 71 triliun, atau hanya 18,3 persen. Anggaran jumbo yang seharusnya segera memberi manfaat justru tersendat oleh permainan rente.
Dalam APBN 2026 yang baru saja disahkan, pemerintah telah menetapkan alokasi sebesar Rp 335 triliun untuk program Makan Bergizi Gratis, menjadikannya salah satu pos terbesar dalam delapan agenda prioritas pembangunan nasional.
Angka jumbo ini memperlihatkan betapa strategisnya MBG bagi pemerintahan saat ini.
Namun pertanyaannya, apakah lonjakan anggaran sebesar itu akan benar-benar sebanding dengan peningkatan kualitas layanan?
Tanpa tata kelola yang transparan, alokasi besar justru berisiko menjadi ladang rente dan membuka ruang praktik korupsi sistemik.
Menilai MBG secara keseluruhan memang masih terlalu dini. Manfaat jangka panjang seperti perbaikan gizi kolektif dan kualitas sumber daya manusia baru akan terlihat beberapa tahun ke depan.
Namun, evaluasi berjalan sangat penting agar tujuan mulia program ini tidak menyimpang.
Dalam literatur evaluasi, Ralph Tyler, seorang pendidik Amerika yang banyak berkarya di bidang asesmen dan evaluasi, menekankan pentingnya pendekatan berorientasi tujuan.
Tujuan utama program Makan Bergizi Gratis adalah meningkatkan status gizi masyarakat, terutama anak-anak, ibu hamil, dan ibu menyusui, untuk menekan stunting dan malnutrisi, sekaligus mempersiapkan generasi Indonesia yang sehat, cerdas, dan kuat menyongsong Indonesia Emas 2045.
Sementara itu, model CIPP (Context, Input, Process, Product) yang diperkenalkan Daniel Stufflebeam, salah satu tokoh penting dalam bidang evaluasi, menawarkan kerangka kerja komprehensif untuk menilai relevansi program dengan kebutuhan masyarakat, kualitas input yang digunakan, proses implementasi, hingga hasil yang dicapai.
Evaluasi proses dapat memantau kegiatan operasional harian, mulai dari standar kebersihan dapur, rantai pasok, hingga distribusi makanan.
Adapun evaluasi dampak berfokus pada hasil jangka panjang, seperti penurunan prevalensi stunting dan peningkatan status kesehatan anak.
Indikator terukur yang perlu digunakan meliputi prevalensi stunting secara periodik, kasus keracunan sebagai indikator mutu implementasi, efisiensi penggunaan anggaran, kualitas dapur dan tenaga kerja SPPG, distribusi ke daerah dengan prevalensi stunting tinggi, serta transparansi publik mengenai mitra dan kontrak.
Dengan indikator ini, pemerintah dapat mendeteksi gangguan lebih dini dan melakukan koreksi tanpa menghentikan program.
Untuk memastikan MBG benar-benar menjadi instrumen transformasi gizi bangsa, pemerintah harus segera menerbitkan regulasi khusus yang mempertegas mandat, standar gizi, serta mekanisme koordinasi lintas lembaga.
Transparansi anggaran wajib diperkuat, termasuk daftar mitra, kontrak pengadaan, dan audit publik.
Peran pemerintah daerah, ahli gizi, dan masyarakat sipil dalam pengawasan harus diperluas. Praktik percaloan dan pungutan liar perlu diberantas melalui audit independen dan sanksi tegas.
Selain itu, prioritas harus diberikan pada daerah dengan angka stunting tertinggi, terutama di kawasan timur Indonesia. Tidak boleh ada kesenjangan geografis dalam program sebesar ini.
Data terbaru tentang 29,8 juta penerima manfaat melalui 8.018 SPPG adalah capaian awal yang signifikan. Namun, jumlah semata bukan ukuran keberhasilan.
Mutu layanan, keamanan pangan, dan dampaknya pada kesehatan masyarakat adalah ujian sebenarnya.
Kasus keracunan massal harus menjadi momentum refleksi dan perbaikan, bukan sekadar catatan buruk. Dengan evaluasi berjalan yang serius, pemerintah bisa melakukan koreksi tanpa mematikan program.
Jika koreksi tidak dilakukan, maka MBG akan terus dibayangi ironi: makanan yang dimaksudkan untuk menyehatkan justru membuat anak-anak sakit, dan dana besar negara bocor ke tangan calo.
Presiden Prabowo masih memiliki kesempatan untuk mengubah arah. Dengan perbaikan regulasi, transparansi, dan pengawasan, MBG dapat menjadi warisan emas bangsa.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Keracunan, Calo, dan Masa Depan Makan Bergizi Gratis Nasional 28 September 2025
/data/photo/2025/09/27/68d718d18422b.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)