Jakarta, Beritasatu.com – Restoran Ayam Goreng Widuran, belakangan ramai diperbincangkan publik karena ternyata tidak halal. Tempat makan yang berdiri sejak 1973 itu diketahui menggunakan minyak babi dalam proses memasaknya.
Hal ini memicu reaksi netizen, terutama muslim, karena menyangkut prinsip syariat. Kasus ini kembali mengingatkan kita tentang kenapa babi haram dalam Islam dan apa saja alasan ilmiahnya.
Hukum Mengonsumsi Babi Menurut Syariat Islam
Larangan mengonsumsi babi dalam Islam ditegaskan secara eksplisit dalam beberapa ayat Al-Qur’an. Salah satunya adalah Surah Al-Baqarah ayat (173):
اِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ ۖ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Artinya: “Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah. Akan tetapi, siapa yang terpaksa (memakannya), bukan karena menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Al-Baqarah: 173).
Ayat ini menegaskan bahwa daging babi termasuk dalam kategori makanan yang haram tanpa syarat. Artinya, meskipun babi diternak dengan cara higienis atau divaksinasi hingga bebas penyakit, tetap saja dagingnya tidak boleh dikonsumsi oleh umat Islam.
Hal ini menunjukkan bahwa larangan tersebut bukan semata-mata karena faktor kesehatan, tetapi juga merupakan perintah langsung dari Allah Swt yang wajib dipatuhi.
Alasan Ilmiah Mengapa Babi Haram
Selain alasan syariat, berbagai penelitian dan data ilmiah juga mendukung alasan mengapa babi haram dikonsumsi. Berikut beberapa alasan ilmiah yang perlu diketahui:
1. Babi tidak berkeringat
Babi adalah hewan yang tidak memiliki kelenjar keringat. Racun dan zat-zat sisa dalam tubuhnya tidak bisa dikeluarkan melalui keringat, sehingga semua racun itu tertimbun di dalam daging. Kondisi ini membuat daging babi berisiko tinggi mengandung zat berbahaya jika dikonsumsi.
2. Potensi penyakit
Mengonsumsi daging babi dapat meningkatkan risiko terkena berbagai penyakit, seperti: Radang sendi, reumatik, peradangan lambung, infeksi selaput, dan gangguan pada kantong empedu.
3. Struktur DNA babi mirip manusia
Menurut Kementerian Agama Sumatra Barat, struktur DNA babi memiliki kemiripan tinggi dengan DNA manusia, baik secara internal maupun pada kulitnya. Karena itu, babi sering digunakan sebagai objek praktik dalam dunia kedokteran. Namun, kemiripan ini justru membuat daging babi sulit dicerna dan berisiko bagi metabolisme tubuh manusia.
Prof Rachman Noor M Rur dalam bukunya Rahasia dan Hikmah Pewarisan Sifat menjelaskan bahwa babi memiliki tingkat kesamaan elemen genetik SINE dan LINE yang sangat tinggi dengan manusia. Dalam pandangan ilmiah, memakan daging babi bahkan bisa disamakan dengan praktik kanibalisme karena kesamaan tersebut.
4. Kandungan kimia yang merugikan
Daging babi mengandung kadar asam urat tinggi dan memiliki sifat kimia yang tidak layak dikonsumsi. Lemak punggungnya (back fat) mudah mengalami oksidasi, yang dapat memicu racun dalam tubuh jika dikonsumsi.
Selain itu, air seni babi yang melimpah seringkali meresap ke jaringan tubuhnya, menyebabkan bau daging lebih amis dan kualitasnya buruk dibanding hewan ternak lain.
Sikap Umat Islam terhadap Konsumsi Daging Babi
Dalam Islam, mematuhi larangan Allah Swt adalah bagian dari ketaatan yang mendasar. Namun, Islam juga memberi kelonggaran dalam kondisi darurat. Jika seseorang tidak sengaja atau terpaksa memakan babi, maka tidak berdosa selama bukan karena kesengajaan atau melanggar batasan yang telah ditetapkan.
Kasus seperti yang terjadi pada Ayam Goreng Widuran menjadi pelajaran penting agar umat Muslim lebih berhati-hati dalam memilih makanan. Label halal dan transparansi dalam pengolahan makanan menjadi aspek penting untuk memastikan bahwa tidak ada unsur babi haram yang masuk ke dalam konsumsi sehari-hari.
Daging babi haram dikonsumsi oleh umat Islam karena alasan syariat yang jelas tertulis dalam Al-Qur’an serta diperkuat oleh bukti-bukti ilmiah mengenai risiko kesehatannya. Larangan ini tidak hanya soal spiritual, tetapi juga menyangkut keamanan fisik dan keturunan manusia.
