Aspek paling krusial dari optimalisasi perdagangan karbon ini adlah dampaknya keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat lokal.
Selama ini, proyek-proyek kehutanan seringkali meminggirkan masyarakat adat dan komunitas lokal yang tinggal di dalam dan sekitar hutan.
Kemenhut di bawah arahan baru ini berkomitmen untuk mengubah narasi tersebut. Perdagangan karbon tidak boleh hanya menguntungkan korporasi besar atau pialang di Jakarta, tetapi harus mengalir deras ke masyarakat di tingkat tapak yang menjadi garda terdepan penjaga hutan.
Mekanisme pembagian manfaat menjadi instrument kebijakan yang vital dalam skema ini. Pemerintah sedang Menyusun dan menyempurnakan regulasi yang memastikan bahwa setiap dolar yang dihasilkan dari penjualan kredit karbon memiliki presentasi yang signifikan untuk disalurkan Kembali ke komunitas desa.
Dana ini tidak hanya berupa uang tunai, tetapi juga program pemberdayaan, infrastruktur desa, dan akses Pendidikan, sehingga hutan yang lestari Secara langsung berkorelasi dengan peningkatan kualiats hidup warga sekitarnya.
“Masyarakat di sekitar hutan harus merasakan manfaatnya. Perdagangan karbon ini harus menyejahterakan mereka, bukan meminggirkan mereka,” kata Sulistya.
Sulistya menegaskan bahwa keberhasilan proyek karbon sangat bergantung pada dukungan sosial.
Tanpa perlibatan masyarakat, resiko konflik lahan dan perambahan hutan akan tetap tinggi, yang pada Akhirnya akan menggagalkan proyek karbon itu sendiri.
Dengan pendekan inklusif ini, Indonesia berharap dapat menciptakan model ekonomi hijau yang tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga adil Secara sosial.
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5101252/original/076431000_1737355440-20250120-Peluncuran_Perdagangan_Karbon-AFP_5.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)