Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Kemendukbangga: Pemanfaatan Bonus Demografi Belum Dikonstruksikan Secara Holistik dan Integratif – Halaman all

Kemendukbangga: Pemanfaatan Bonus Demografi Belum Dikonstruksikan Secara Holistik dan Integratif – Halaman all

Laporan wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Sekretaris Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (Kemendukbangga) Prof. Budi Setiyono, S.Sos, M. Pol. Admin, Ph.D, membeberkan, pemanfaatan bonus demografi belum dikontruksikan secara holistik dan integratif.

Akibatnya, isu tentang bonus demografi kemungkinan tidak sesuai harapan.

Padahal, dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), Kemendukbangga)/BKKBN harus dapat mewujudkan Indonesia Emas  tahun 2045, dimana salah satu komponennya adalah pemanfaatan bonus demografi.

Karena itu pihaknya mendorong revisi Undang Undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Menurut Prof. Budi, bonus demografi harus bisa memanfaatkan surplus jumlah orang usia produktif sehingga menghasilkan kontribusi fiskal dari sektor pajak.

Artinya, mereka harus memiliki pekerjaan di mana mereka bisa membayar pajak agar  penerimaan negara menjadi optimal.

Dalam kerangka itu, dalam revisi tersebut perlu ada satu kerangka kebijakan kependudukan yang bersifat holistik, integratif dan komprehensif.

“Itu hanya bisa dilakukan kalau di dalam proses pengendalian penduduk, dalam konteks kebijakan demografi, dikendalikan sepenuhnya  oleh pemerintah pusat, tidak diserahkan secara otonom kepada pemerintah daerah,” ujar Prof. Budi di kantor Kemendukbangga/BKKBN, Jakarta, pada Kamis (16/1/2024).

Jika diserahkan secara otonom kepada pemerintah daerah, pemanfaatan bonus demografi tidak akan berjalan optimal.

Pasalnya, di dalam program kependudukan ada banyak hal, di antaranya distribusi penduduk, kepadatan penduduk, migrasi, urbanisasi, lanskeping terkait kebutuhan fasilitas umum, rumah sakit, tenaga kerja dan lainnya.

“Kalau hal itu diotonomkan sepenuhnya kepada daerah, maka tidak bisa dilakukan rekonsiliasi dan sinergitas,” ujar Prof. Budi.

Seperti kepadatan penduduk  di Jawa Barat dengan populasi 48 juta jiwa. Sementara ada provinsi yang jumlah penduduknya kurang dari 1 juta jiwa.

“Kalau di provinsi dengan jumlah penduduk sedikit tapi di situ ada kawasan industri yang membutuhkan tenaga kerja banyak, dan di sisi lain ada provinsi yang kelebihan tenaga kerja tetapi keterbatasan lowongan kerja, itu tidak bisa dilakukan rekonsiliasi dan sinergi,” jelasnya.

Prof. Budi mengatakan, pihaknya akan mencoba mengkonstruksi data kependudukan yang reliabel, bisa diandalkan.

Tidak hanya data makro saja, seperti pertumbuhan jumlah angkatan kerja baru, tetapi juga harus memuat data tentang lowongan pekerjaan yang tersedia. Sehingga semua angkatan kerja bisa terserap di lowongan pekerjaan.

Data kependudukan juga sangat dibutuhkan dunia pendidikan.

Prof. Budi juga membeberkan data di saat bangsa ini sedang menuju (akhir) bonus demografi di 2030, di mana saat ini terdapat 190-an juta penduduk usia produktif. Ironisnya, jumlah kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP),  sebelum ada pemaduan NPWP dan  Nomor Induk Kependudukan (NIK), ada sekitar 61 juta penduduk.

Data itu menunjukkan  penduduk usia produktif masih menanggung sebagian besar penduduk tidak produktif.

Hal ini terjadi, karena pembangunan yang dijalankan belum  memiliki data kependudukan yang komprehensif dan kebijakan yang belum berwawasan kependudukan, serta tidak ada persiapan perencanaan awal yang reliabel.

Tentu ini menjadi beban bagi upaya menggapai bonus demografi menuju Indonesia Emas 2045.

Merangkum Semua Peristiwa