HASIL survei antara satu lembaga dan lembaga yang lain bisa berbeda-beda. Itu boleh dan sah-sah saja. Semuanya bergantung pada metodologi yang digunakan, teknik pengambilan sampel yang diterapkan, waktu dan tempat pelaksanaan survei, serta berbagai faktor lain.
Namun, ketika hasil yang dirilis bertentangan satu sama lain padahal waktu pelaksanaan surveinya sangat berdekatan, hal itu bakal menimbulkan tanda tanya besar di masyarakat. Sulit bagi publik menerima bila perbedaan hasil survei sejumlah lembaga terlalu mencolok, jomplang, ibarat langit dan bumi.
Masyarakat pantas curiga dan bertanya-tanya manakala ketidaksesuaian itu terjadi begitu ekstrem. Jangan-jangan ada lembaga yang mengabaikan metode ilmiah dalam mengumpulkan data yang akurat dan menganalisis tren opini publik.
Merebaknya kecurigaan tentu akan merugikan kredibilitas lembaga survei yang keberadaannya makin lazim di era demokrasi. Oleh karena itu, langkah Dewan Etik Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) untuk meredam kegaduhan di masyarakat sudah amat tepat.
Dewan Etik Persepi yang diketuai Asep Saefuddin menginvestigasi prosedur pelaksanaan survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan Poltracking Indonesia. Sebelumnya, kedua institusi itu berbeda hasil soal calon yang unggul di Pilkada DKI Jakarta 2024.
Kedua survei dilakukan setelah debat perdana calon Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta. Survei LSI dilaksanakan pada 10-17 Oktober 2024. Survei Poltracking digelar pada 10-16 Oktober 2024. Pengumuman hasil survei juga disampaikan hanya berselang sehari.
Hasil survei LSI yang diumumkan Rabu (23/10) memotret elektabilitas tiga pasangan calon kepala daerah, yaitu Ridwan Kamil-Suswono (37,4%), Dharma Pongrekun-Kun Wardhana (6,6%), dan Pramono Anung-Rano Karno (41,6%). Pram-Rano tertinggi di Pilkada Jakarta 2024 versi survei LSI itu.
Sebaliknya, Poltracking mengumumkan keunggulan Ridwan-Suswono mencapai 51,6%, sedangkan Pramono-Rano menempati urutan kedua dengan 36,4% dan Dharma-Kun meraih 3,9%. Walaupun sama-sama menempatkan Dharma-Kun sebagai pasangan di posisi paling buncit, kedua lembaga berbeda dalam hal pemilik elektabilitas paling tinggi. Poltracking bahkan mengindikasikan Ridwan-Suswono berpotensi menang satu putaran.
Setelah prosedur panjang dilakukan, Dewan Etik Persepi akhirnya menjatuhkan sanksi kepada Poltracking Indonesia. Lembaga yang dikelola oleh Masduri Amrawi itu tidak diizinkan memublikasikan hasil survei tanpa mendapatkan persetujuan dan pemeriksaan data oleh Dewan Etik.
Dewan Etik menyatakan tidak bisa menilai apakah pelaksanaan survei oleh Poltracking sudah dilaksanakan sesuai dengan SOP survei opini publik. Terutama karena tidak adanya kepastian data mana yang harus dijadikan dasar penilaian dari dua dataset berbeda yang telah dikirimkan oleh Poltracking Indonesia.
Dalam alam demokrasi yang sehat, keakuratan informasi dan kredibilitas lembaga survei sudah menjadi harga mati, pantang ditawar, tidak boleh dikompromikan. Survei memang harus menjadi spiegel (cermin) bagi masyarakat, bukan malah pendistorsi opini publik.
Akan tetapi, harapan itu sulit terealisasi jika lembaga survei memilih menjadi konsultan politik. Pihak yang seharusnya duduk manis di tribune penonton untuk mencermati dan menganalisis jalannya pertandingan, malah turun ke lapangan dan mengacak-acak permainan.
Itu sebabnya publik mengapresiasi lahirnya sanksi yang dikeluarkan Dewan Etik Persepi. Namun, Poltracking Indonesia malah menyulut pergolakan. Mereka melawan, tidak terima dengan sanksi, dan menyatakan keluar dari Persepi. Walaupun Poltracking berhak meninggalkan Persepi, perlawanan itu berpotensi menambah ketidakpastian tentang survei sebagai metode ilmiah yang objektif dan bisa dipercaya.
Publik berharap, ketegangan antara Poltracking Indonesia dan Persepi jangan sampai menjadi polemik berkepanjangan. Kita juga mendorong agar ekosistem survei yang tengah memanas bisa kembali teduh. Muruah survei mesti kembali pulih demi sehatnya demokrasi.
HASIL survei antara satu lembaga dan lembaga yang lain bisa berbeda-beda. Itu boleh dan sah-sah saja. Semuanya bergantung pada metodologi yang digunakan, teknik pengambilan sampel yang diterapkan, waktu dan tempat pelaksanaan survei, serta berbagai faktor lain.
Namun, ketika hasil yang dirilis bertentangan satu sama lain padahal waktu pelaksanaan surveinya sangat berdekatan, hal itu bakal menimbulkan tanda tanya besar di masyarakat. Sulit bagi publik menerima bila perbedaan hasil survei sejumlah lembaga terlalu mencolok, jomplang, ibarat langit dan bumi.
Masyarakat pantas curiga dan bertanya-tanya manakala ketidaksesuaian itu terjadi begitu ekstrem. Jangan-jangan ada lembaga yang mengabaikan metode ilmiah dalam mengumpulkan data yang akurat dan menganalisis tren opini publik.
Merebaknya kecurigaan tentu akan merugikan kredibilitas lembaga survei yang keberadaannya makin lazim di era demokrasi. Oleh karena itu, langkah Dewan Etik Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) untuk meredam kegaduhan di masyarakat sudah amat tepat.
Dewan Etik Persepi yang diketuai Asep Saefuddin menginvestigasi prosedur pelaksanaan survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan Poltracking Indonesia. Sebelumnya, kedua institusi itu berbeda hasil soal calon yang unggul di Pilkada DKI Jakarta 2024.
Kedua survei dilakukan setelah debat perdana calon Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta. Survei LSI dilaksanakan pada 10-17 Oktober 2024. Survei Poltracking digelar pada 10-16 Oktober 2024. Pengumuman hasil survei juga disampaikan hanya berselang sehari.
Hasil survei LSI yang diumumkan Rabu (23/10) memotret elektabilitas tiga pasangan calon kepala daerah, yaitu Ridwan Kamil-Suswono (37,4%), Dharma Pongrekun-Kun Wardhana (6,6%), dan Pramono Anung-Rano Karno (41,6%). Pram-Rano tertinggi di Pilkada Jakarta 2024 versi survei LSI itu.
Sebaliknya, Poltracking mengumumkan keunggulan Ridwan-Suswono mencapai 51,6%, sedangkan Pramono-Rano menempati urutan kedua dengan 36,4% dan Dharma-Kun meraih 3,9%. Walaupun sama-sama menempatkan Dharma-Kun sebagai pasangan di posisi paling buncit, kedua lembaga berbeda dalam hal pemilik elektabilitas paling tinggi. Poltracking bahkan mengindikasikan Ridwan-Suswono berpotensi menang satu putaran.
Setelah prosedur panjang dilakukan, Dewan Etik Persepi akhirnya menjatuhkan sanksi kepada Poltracking Indonesia. Lembaga yang dikelola oleh Masduri Amrawi itu tidak diizinkan memublikasikan hasil survei tanpa mendapatkan persetujuan dan pemeriksaan data oleh Dewan Etik.
Dewan Etik menyatakan tidak bisa menilai apakah pelaksanaan survei oleh Poltracking sudah dilaksanakan sesuai dengan SOP survei opini publik. Terutama karena tidak adanya kepastian data mana yang harus dijadikan dasar penilaian dari dua dataset berbeda yang telah dikirimkan oleh Poltracking Indonesia.
Dalam alam demokrasi yang sehat, keakuratan informasi dan kredibilitas lembaga survei sudah menjadi harga mati, pantang ditawar, tidak boleh dikompromikan. Survei memang harus menjadi spiegel (cermin) bagi masyarakat, bukan malah pendistorsi opini publik.
Akan tetapi, harapan itu sulit terealisasi jika lembaga survei memilih menjadi konsultan politik. Pihak yang seharusnya duduk manis di tribune penonton untuk mencermati dan menganalisis jalannya pertandingan, malah turun ke lapangan dan mengacak-acak permainan.
Itu sebabnya publik mengapresiasi lahirnya sanksi yang dikeluarkan Dewan Etik Persepi. Namun, Poltracking Indonesia malah menyulut pergolakan. Mereka melawan, tidak terima dengan sanksi, dan menyatakan keluar dari Persepi. Walaupun Poltracking berhak meninggalkan Persepi, perlawanan itu berpotensi menambah ketidakpastian tentang survei sebagai metode ilmiah yang objektif dan bisa dipercaya.
Publik berharap, ketegangan antara Poltracking Indonesia dan Persepi jangan sampai menjadi polemik berkepanjangan. Kita juga mendorong agar ekosistem survei yang tengah memanas bisa kembali teduh. Muruah survei mesti kembali pulih demi sehatnya demokrasi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
dan follow Channel WhatsApp Medcom.id
(ADN)