Kembali Fitrah dari Korupsi
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
RAMADHAN
, bulan suci yang oleh banyak orang dianggap sebagai waktu untuk membersihkan diri, menahan hawa nafsu, dan menyaring nurani.
Di saat jutaan orang menahan lapar dan dahaga sebagai bentuk pengendalian diri, sebagian pejabat negeri ini masih saja rakus, tega mencuri di meja makan rakyat.
Di ruang-ruang kekuasaan, puasa tak selalu berarti puasa dari kerakusan. Ia tak menghalangi tangan-tangan kotor untuk mencuri, menyogok, dan menjarah uang negara.
Kita menyaksikan ironi: di saat umat bersimpuh di masjid, ada pejabat yang justru menyusun strategi bancakan anggaran. Di saat masyarakat melafalkan doa dan menahan nafsu, ada pemimpin yang sibuk membagi jatah proyek.
Ramadhan, mestinya, menjadi ruang kontemplasi bersama: untuk melihat ke dalam, untuk bertanya tentang tanggung jawab kekuasaan, dan untuk kembali kepada fitrah sebagai manusia dan sebagai bangsa.
Namun, yang terjadi seringkali justru sebaliknya. Simbol-simbol kesalehan dipertontonkan, sementara substansi akhlak ditinggalkan.
Yang tinggal hanya kosmetik: buka puasa mewah dengan rekanan proyek, sedekah dibarengi pencitraan, dan doa dipakai untuk menutupi kejahatan.
Korupsi
, dalam konteks kebangsaan kita hari ini, bukan sekadar pelanggaran hukum. Ia adalah pengkhianatan terhadap kepercayaan rakyat.
Dan lebih dari itu, ia adalah tindakan yang mencederai fitrah kemanusiaan: bahwa manusia sejatinya diberi akal untuk menjaga, bukan merusak; diberi amanah untuk melayani, bukan menjarah.
Jika kita jujur, hampir tidak ada sektor yang bebas dari jeratan
korupsi
. Pendidikan, kesehatan, bantuan sosial, bahkan dana untuk rumah ibadah—semuanya pernah dijamah. Modusnya makin canggih, pelakunya makin lihai, dan hukum sering kali tertinggal jauh di belakang.
Yang lebih menyedihkan, korupsi tak lagi dipandang sebagai aib. Ia dianggap “wajar”, “risiko jabatan”, atau “bagian dari sistem”.
Kita hidup dalam realitas yang menyedihkan, di mana pejabat yang jujur dianggap aneh, sementara yang korup dielu-elukan karena “berbagi” kepada konstituen. Ini bukan sekadar krisis integritas, tapi krisis cara pandang.
Lihatlah bagaimana ironi demi ironi terus terjadi. Seorang pejabat yang tersandung korupsi, tampil tenang di depan kamera, tersenyum saat digiring petugas, dan dalam banyak kasus, tetap dihormati oleh lingkaran politiknya.
Di luar penjara, para pendukungnya menyanyikan lagu “kriminalisasi”, “dizalimi”, atau “korban politik”. Begitu mudahnya simpati dialihkan, begitu lancarnya ingatan kolektif dikaburkan.
Sementara itu, lembaga penegak hukum yang semestinya menjadi benteng terakhir, justru pelan-pelan kehilangan gigi.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dulu digdaya, kini tak ubahnya lembaga administratif. UU KPK yang direvisi pada 2019 menjadi tonggak pelemahan yang sistematis.
Penyidik-penyidik andal disingkirkan lewat tes yang absurd, dan kasus besar tak lagi digarap dengan daya dobrak seperti dulu.
Kasus demi kasus pun menguap, atau selesai dengan hukuman ringan. Yang mencuri uang rakyat miliaran rupiah bisa tetap menikmati fasilitas kelas atas.
Sementara rakyat kecil yang mencuri sandal atau handphone bisa berakhir dalam sel pengap dengan vonis bertahun-tahun. Di sinilah fitrah keadilan benar-benar dirusak.
Lalu, bagaimana kita kembali kepada fitrah dari korupsi? Jawabannya tidak mudah, tapi juga tidak mustahil.
Ia memerlukan tiga hal mendasar: pemimpin yang takut pada Tuhan dan hormat pada rakyat, sistem yang menutup celah bagi penyalahgunaan kekuasaan, dan masyarakat yang berani berkata tidak pada suap dan gratifikasi.
Pertama-tama, kita butuh pemimpin yang menjadikan jabatan sebagai amanah, bukan alat dagang.
Pemimpin yang tak menumpuk kekayaan selama menjabat. Yang tidak menjadikan proyek sebagai komoditas politik. Yang mengerti bahwa setiap rupiah dalam APBN adalah titipan penderitaan rakyat: petani yang membajak di bawah terik, buruh yang bekerja dari pagi hingga malam, pedagang kecil yang dihantam inflasi.
Kita juga butuh sistem yang kuat—bukan hanya dari segi regulasi, tapi juga dari segi implementasi.
Proyek digitalisasi, transparansi anggaran, pelaporan kekayaan pejabat, dan sistem meritokrasi harus dijalankan bukan karena donor asing, tapi karena kesadaran kolektif.
Kita tak butuh sistem yang sempurna, tapi butuh keberanian untuk menegakkan aturan yang sudah ada.
Dan yang paling penting: masyarakat harus aktif menjadi pengawas. Jangan diam saat melihat penyimpangan. Jangan ikut arus ketika diminta “uang pelicin”. Jangan bangga mengenal orang dalam.
Kembali ke fitrah berarti menolak normalisasi korupsi dalam kehidupan sehari-hari.
Kita perlu menyadari bahwa korupsi bukan hanya soal kerugian negara. Ia merusak sendi-sendi kehidupan.
Dana pendidikan yang dikorup membuat anak-anak putus sekolah. Dana kesehatan yang diselewengkan membuat warga tak mendapat layanan medis yang layak. Dana bansos yang dikorupsi berarti rakyat kelaparan di tengah pandemi.
Dan semua itu bermula dari satu hal: nafsu. Nafsu untuk cepat kaya. Nafsu untuk berkuasa terus-menerus. Nafsu untuk mengalahkan semua pesaing tanpa etika.
Ramadhan datang justru untuk mengajak kita melawan nafsu itu. Untuk mengingatkan bahwa kebahagiaan sejati tak lahir dari harta haram, tapi dari keberkahan yang diraih dengan jalan lurus.
Sayangnya, pesan ini sering hanya bertahan selama sebulan. Begitu
Idul Fitri
tiba, sebagian pejabat kembali sibuk dengan proyek, tender, dan lobi. Uang kembali jadi kompas, bukan nilai. Dan fitrah yang baru saja diraih, hilang dalam sekejap.
Kita, bangsa yang besar ini, sebenarnya memiliki semua syarat untuk bangkit. Kita punya agama yang kuat, budaya luhur, dan konstitusi yang menjunjung etika.
Namun semua itu tak berarti jika kita terus membiarkan korupsi merajalela. Jika kita membiarkan pelaku korupsi bebas melenggang, atau bahkan dipilih kembali dalam jabatan publik.
Ramadhan harus menjadi momentum untuk membersihkan negeri ini dari penyakit lama yang menahun. Bukan hanya bersih dalam makna spiritual, tapi juga bersih dalam praktik politik, birokrasi, dan hukum.
Kita tidak bisa berharap pada satu lembaga atau satu tokoh. Gerakan ini harus masif, menyentuh setiap sekolah, kantor pemerintahan, ruang sidang, hingga kampung-kampung.
Setiap warga adalah bagian dari sistem yang bisa dibersihkan—atau dikotori—oleh pilihan-pilihan kecil mereka.
Kembali fitrah dari korupsi adalah panggilan zaman. Ini bukan utopia, ini kebutuhan. Karena jika kita terus membiarkan korupsi menggerogoti sendi bangsa, maka cita-cita Indonesia Emas 2045 hanya akan menjadi angka di atas kertas.
Kita bisa kaya, tapi tidak adil. Kita bisa maju, tapi tidak bermartabat.
Saatnya kita bertanya dengan jujur: apakah kita masih punya rasa malu? Malu makan dari uang haram? Malu menyalahgunakan kekuasaan? Malu mencederai kepercayaan rakyat?
Jika kita masih punya rasa malu, maka kita masih punya harapan. Dan dari rasa malu itu, semoga lahir keberanian untuk bersikap. Menolak suap. Membongkar kejahatan. Mengawal kebijakan.
Dan memilih pemimpin yang tidak hanya tampan di baliho, tapi juga bersih di dompet dan hati.
Ramadhan akan berlalu. Namun pertarungan melawan korupsi tak boleh berakhir. Kembali ke fitrah bukan hanya soal kembali ke masjid, tapi kembali ke hati nurani.
Dan nurani yang bersih tahu bahwa mencuri uang rakyat, sekecil apapun, adalah kejahatan terhadap masa depan bangsa.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kembali Fitrah dari Korupsi Nasional 29 Maret 2025
/data/photo/2023/08/29/64ed9a4445bac.png?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)