Kejamnya Sistem Ijon bagi Petani Kopi Bondowoso

Kejamnya Sistem Ijon bagi Petani Kopi Bondowoso

Bondowoso (beritajatim.com) – Sistem ijon masih menjadi luka lama yang belum terobati bagi petani kopi di Bondowoso.

Praktik jual beli kopi sebelum masa panen ini terus berlangsung hingga sekarang, membuat petani kecil kehilangan hak menikmati hasil kerja kerasnya.

Andi Wijaya, Ketua Poktan Java Ijen Coffee, mengungkapkan praktik ijon menekan harga kopi jauh di bawah nilai pasar.

“Petani sangat dirugikan. Misal tahun ini harga kopi basah per kilogram Rp18 ribu. Dua atau tiga bulan sebelum panen, mereka sudah kontrak ijon hanya Rp6 ribu–Rp8 ribu per kilogram,” kata Andi pada BeritaJatim.com.

Saat panen tiba, kopi petani langsung disetorkan dengan harga murah tersebut. “Petani tidak bisa merasakan hasilnya. Karena menjual separo dari harga pasar,” jelasnya.

Andi menyebut, petani kecil rata-rata hanya mengelola lahan dua hektar. Kondisi ini membuat mereka rawan terjebak ijon karena membutuhkan biaya hidup dan perawatan kebun sebelum masa panen.

Padahal, Bondowoso telah lama dikenal sebagai salah satu daerah penghasil kopi specialty. Pemerintah setempat pun telah mendeklarasikan sebagai Bondowoso Republik Kopi (BRK).

Seharusnya, kata Andi, optimalisasi industri kopi hulu ke hilir perlu dilakukan. Dari sisi permodalan misalnya, harus lebih tepat sasaran.

“Walaupun permodalan banyak disentuh Bank Jatim dan bank pemerintah lainnya, tapi perlu lebih tepat sasaran lagi. Harus benar-benar menyasar petani dan prosesor yang aktif di pasar lokal maupun internasional,” tegas Andi.

Selain itu, warga Desa Sukosari Lor, Kecamatan Sukosari ini mendorong agar pemerintah membentuk lembaga keuangan resmi, baik koperasi maupun badan usaha milik daerah.

“Untuk memberi solusi alternatif permodalan dan pembiayaan kebun. Dengan begitu, petani tidak lagi terjerat ijon yang merugikan,” harapnya. (awi/ian)