Jakarta –
Nilai tukar rupiah mengalami pelemahan 0,7% ke level Rp 16.578 per US$ pada Jumat pekan lalu, menyentuh titik terendah sejak April 2020. Pelemahan ini terjadi di tengah kebijakan tarif impor dari Kanada dan Meksiko yang mulai berlaku awal pekan ini.
Menanggapi kondisi ini, Bank Indonesia (BI) melakukan intervensi pasar guna menjaga keseimbangan pasokan dan permintaan valuta asing serta menjaga kepercayaan pasar. Direktur Eksekutif Pengelolaan Moneter BI, Edi Susianto, menyatakan bahwa langkah ini bertujuan untuk memastikan stabilitas Rupiah tetap terjaga di tengah ketidakpastian global yang meningkat.
Saat ini, mayoritas mata uang Asia juga menghadapi tekanan akibat kebijakan perdagangan AS serta ketidakpastian terkait arah kebijakan moneter The Federal Reserve (The Fed). Faktor domestik, termasuk kebijakan ekonomi terbaru, turut meningkatkan sentimen negatif di kalangan investor, yang tercermin dari arus keluar modal sebesar Rp10,33 triliun dalam sepekan terakhir.
Penolakan China terhadap HBA Baru Berpotensi Menghambat Ekspor Batu Bara
Berdasarkan riset PT KISI Asset Management, dalam perkembangan sektor energi, beberapa pembeli batu bara asal China menolak implementasi Harga Batubara Acuan (HBA) yang baru. Eksportir batu bara Indonesia pun meminta masa transisi selama enam bulan untuk mengakomodasi perubahan ini, mengingat sosialisasi dan implementasi kebijakan dinilai terlalu cepat.
Penetapan HBA bertujuan untuk memberikan Indonesia kontrol lebih besar atas harga ekspor batu bara serta menjaga stabilitas harga domestik. Namun, kebijakan ini berpotensi menghambat permintaan dari China, dengan kemungkinan adanya pembatalan atau renegosiasi kontrak oleh pembeli.
“Jika hal ini terjadi, maka dampaknya dapat berujung pada penurunan volume ekspor dan pendapatan dari sektor batu bara Indonesia,” tulis Ekonom KISI AM Arfian Prasetya Aji.
BI Sediakan Rp 130 Triliun untuk Program Perumahan Terjangkau
Bank Indonesia menyetujui dukungannya terhadap program perumahan terjangkau yang dicanangkan oleh Presiden Prabowo dengan menyediakan likuiditas sebesar Rp130 triliun. BI menegaskan bahwa dukungan ini sejalan dengan kebijakan makroekonomi yang bertujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, serta kesejahteraan masyarakat melalui sektor perumahan.
BI juga menegaskan tiga bentuk dukungan terhadap program perumahan:
1. Memastikan program Asta Cita berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan stabil.
2. Menyediakan insentif likuiditas bagi bank-bank yang menyalurkan kredit ke sektor prioritas, termasuk perumahan.
3. Mendukung pendanaan program perumahan dengan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder.
Peningkatan likuiditas di sektor perbankan diharapkan mampu mempercepat penyaluran kredit ke sektor perumahan, yang memiliki efek berantai terhadap berbagai industri seperti semen, baja, bahan bangunan, serta tenaga kerja konstruksi.
Namun, kebijakan ini juga memunculkan perdebatan mengenai independensi Bank Indonesia. Beberapa investor menilai bahwa keterlibatan BI yang terlalu dalam dalam kebijakan pemerintah dapat mengurangi kredibilitasnya sebagai otoritas moneter yang independen.
“Jika kekhawatiran ini berlanjut, maka potensi arus modal keluar bisa meningkat, yang pada akhirnya dapat berdampak pada stabilitas sektor keuangan Indonesia,” jelas Arfian.
(fdl/fdl)