Bisnis.com, JAKARTA — Rencana penerapan kebijakan bahan bakar bensin campur etanol 10% (E10) dinilai sebagai langkah tepat yang tidak akan merugikan. Kebijakan ini justru diyakini mampu menekan impor BBM dan meningkatkan kesejahteraan petani.
Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) Sofyano Zakaria mengatakan, program mandatory etanol akan memberi banyak manfaat bagi ekonomi nasional.
“Ini jelas bisa mengurangi impor BBM kita dan sekaligus meningkatkan pendapatan petani, seperti petani singkong dan tebu,” kata Sofyano kepada Bisnis, Selasa (21/10/2025).
Menurut dia, selama ini singkong hanya dimanfaatkan untuk bahan pangan seperti tapioka. Dengan adanya program etanol, singkong dan tebu dapat menjadi sumber energi baru yang membuka peluang pendapatan tambahan bagi petani.
Sofyano menjelaskan, bahan baku etanol dapat berasal dari berbagai sumber lokal seperti tebu, singkong, hingga umbi-umbian. Indonesia juga memiliki potensi besar dari tetes tebu yang mencapai 1,6 juta ton per tahun.
“Dari jumlah itu, baru sekitar 1,1 juta ton yang terserap. Artinya, masih ada sekitar 500.000 ton yang bisa dimanfaatkan untuk produksi bioetanol, terutama untuk campuran bensin,” ujarnya.
Dia menepis anggapan bahwa penggunaan bensin campur etanol akan membuat kendaraan lebih boros. Menurut dia, hal tersebut dapat diatur secara teknis agar tidak menimbulkan masalah.
“Buktinya, penggunaan B40 juga tidak menimbulkan keluhan serupa. Jadi anggapan boros itu kurang tepat,” katanya.
Sofyano menambahkan, tantangan yang terjadi sebelumnya hanya bersifat teknis antara pemerintah dan SPBU swasta, bukan masalah kualitas bahan bakar. Dia menegaskan, di banyak negara lain, etanol telah lama digunakan sebagai campuran bahan bakar kendaraan.
Dengan potensi 500.000 ton tetes tebu yang belum dimanfaatkan, Sofyano memperkirakan jumlah tersebut bisa diolah menjadi sekitar 130.000 kl etanol.
“Kalau kita buat E5 [campuran 5%], hasilnya bisa mencapai sekitar 500.000 kiloliter, bahkan mungkin mendekati 1 juta kl etanol,” jelasnya.
Dia pun menilai langkah menuju mandatory E10 tidak hanya realistis, tetapi juga strategis untuk memperkuat kemandirian energi nasional tanpa menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
Sebelumnya, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyebut, kebijakan mandatory E10 kemungkinan akan berlaku pada 2027 atau 2028. Namun, kecenderungan saat ini mengarah pada target awal 2027.
“Sekarang lagi dilakukan kajian apakah mandatory ini dilakukan di 2027 atau 2028. Tapi menurut saya, paling lama 2027 ini sudah bisa jalan,” tegasnya.
Kebijakan E10, kata Bahlil, merupakan bagian dari upaya pemerintah menekan ketergantungan terhadap impor bahan bakar.
“E10 adalah bagian dari strategi pemerintah untuk mengurangi impor bensin. Sebab, impor bensin kita masih banyak, 27 juta ton per tahun,” ungkapnya.
