Kebijakan B50 Belum Layak, Analis: Berisiko ‘Bakar’ Harga Minyak Sawit

Kebijakan B50 Belum Layak, Analis: Berisiko ‘Bakar’ Harga Minyak Sawit

Bisnis.com, BADUNG — Analis pasar minyak nabati global menilai kebijakan biodiesel B50 Indonesia belum layak diterapkan dalam waktu dekat karena berpotensi memicu lonjakan harga minyak sawit di pasar dunia maupun domestik.

Executive Director, ISTA Mielke Gmbh (Oil World) Thomas Mielke menilai implementasi kebijakan B50 berisiko besar memicu kenaikan harga minyak sawit secara drastis karena produksi nasional belum mencukupi kebutuhan tambahan bahan baku biodiesel.

Meski secara konsep B50 merupakan kebijakan yang baik, Mielke menilai keberhasilan kebijakan tersebut bergantung pada ketersediaan pasokan minyak sawit yang memadai.

“Jadi, Anda membutuhkan sekitar 2,2 juta ton minyak sawit, mungkin sedikit lebih banyak untuk B50, yang pada saat ini tidak sesuai dengan volume produksi Indonesia,” kata Mielke dalam konferensi pers 21st Indonesian Palm Oil Conference and 2026 Price Outlook (IPOC) di BICC, The Westin Resort Nusa Dua, Bali, Jumat (14/11/2025). 

Dia menilai, kebijakan tersebut idealnya diterapkan setelah pemerintah memastikan peningkatan produksi, baik melalui penambahan area tanam maupun peningkatan produktivitas. Sebab, sambung dia, penerapan B50 secara tergesa-gesa justru dapat memberikan dampak besar terhadap pasar global.

“Jika B50 diterapkan, misalnya pada paruh kedua 2026, kebijakan tersebut akan memberikan dampak bullish yang sangat kuat terhadap harga minyak sawit di pasar dunia, yang kemudian juga akan menular ke pasar domestik,” ujarnya.

Lebih jauh, Mielke menilai dampak kenaikan harga minyak sawit global akan merembet ke pasar domestik. Alhasil, pemerintah tidak akan mampu menahan lonjakan harga tersebut. Kondisi ini diperkirakan akan menghambat upaya pemerintah dalam menjaga harga minyak sawit dan produk turunannya tetap wajar bagi konsumen.

Di sisi lain, kenaikan harga dalam negeri tidak akan bisa sepenuhnya dikendalikan pemerintah. “Ini akan menghambat rencana pemerintah untuk menjaga harga domestik pada tingkat yang wajar bagi konsumen,” imbuhnya.

Selain itu, Mielke menyebut produksi sawit Indonesia justru berpotensi menurun pada 2026—2027 akibat berbagai intervensi pemerintah dan faktor-faktor produksi.

Dia memperkirakan produksi minyak sawit di Indonesia akan lebih rendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya imbas penggunaan pupuk dan input pertanian lainnya dikurangi, dan dampak dari pengurangan ini baru terlihat secara bertahap.

Padahal, sambung dia, Indonesia memegang peran kunci sebagai pemasok minyak nabati terbesar di pasar global, sehingga setiap pengurangan signifikan dalam ekspor dapat mengganggu keseimbangan pasokan dan permintaan dunia.

Dengan demikian, dia menyampaikan penerapan B50 secara paksa dalam kondisi saat ini diperkirakan akan mendorong lonjakan harga yang tajam, menciptakan konflik kepentingan antara kebijakan energi dan perlindungan konsumen.

“Harga akan melonjak dan konsumen akan dirugikan, konsumen pangan di negara-negara pengimpor maupun di Indonesia,” pungkasnya.