Keanggunan Politik Perempuan Mengubah Konstelasi Global

11 September 2023, 23:37

Prof. Dr. Budiharjo, M.Si

Politik | Monday, 11 Sep 2023, 22:48 WIB

Seiring perkembangan zaman, peran perempuan dalam kepemimpinan tidak bisa dinafikan.

Pada awalnya, politik identik dengan laki-laki karena banyak negara di dunia yang mengadopsi sistem kepemimpinan secara patriarki. Hal ini tidak lepas dari anggapan bahwa pria memiliki kekuasaan yang lebih besar dibanding perempuan. Laki-laki dinilai dari sikap dominan dan ketegasan yang sangat jelas.
Namun, seiring perkembangan zaman, peran perempuan dalam kepemimpinan tidak bisa dinafikan. Sosok perempuan hadir karena mereka dianggap lebih cerdik dan terstruktur dalam menjalankan kepercayaan kekuasaan. Kepemimpinan laki-laki dianggap tidak efektif dan efisien karena sejarah mengungkap betapa perang, pembunuhan dan aneka kekerasan dapat dikalahkan dengan keanggunan diplomasi.

Ada beberapa sejarah yang bisa diambil betapa perempuan dan politik bisa sangat erat. Pertama, sejarah Dinasti Han di Tiongkok di tahun 188 ketika permaisuri Lu Zhi berhasil mempersatukan Tiongkok akibat perang saudara yang berlangsung cukup lama. Berkat kecerdikannya, Lu Zhi bermain cantik dan mampu mengatasi pergolakan di lingkunan istana yang memicu perang saudara.

Lu Zhi pun menjadi simbol bagi perempuan Tiongkok untuk lebih aktif dalam politik dan penyelenggaraan negara. Sepeninggalnya, ada Wu Zetian yang menjadi kaisar perempuan di era Dinasti Tang, ibu suri Cixi di penghujung Dinasti Qing, Soon Ching Ling yang merupakan istri Generalisimo Chiang Kai Shek di Republik Tiongkong dan Jiang Qing yang menjadi istri Mao Zedong.

Kedua, Ratu Seondeok dari Korea yang populer sebagai pemimpin Kerajaan Silla pada tahun 623. Dia memimpin kerajaannya selama 15 tahun di tengah banyak pihak yang tidak mengakui kepemimpinannya karena statusnya sebagai perempuan. Meski begitu, Seondeok mampu bertahan dan mendirikan Pagoda Hwangyongsa yang masih berdiri hingga kini. Meski, pada tahun 1238 pagoda itu dibakar oleh invasi Mongolia.
Ratu Seondeok wafat karena sakit yang dideritanya, ditambah pengkhianatan yang dilakukan anak buahnya. Tekanan politik dari banyak kerajaan membuat kesehatannya terus menurun.
Ketiga, di tengah patriarki kerajaan Mongol, ternyata ada sosok perempuan yang sangat dihormati. Dia adalah Sorgaghtani Bekhi, menantu Gengkhis Khan yang lahir pada tahun 1190. Bekhi berhasil membangun reputasi dan penilaian positif dari berbagai kalangan. Sebagai seorang ratu, Bekhi tampil sebagai ibu yang welas asih. Hal itu ditunjukkannya dengan gemar memberi perhatian dan kasih sayang kepada siapapun. Tentu, ini menarik karena corak pasukan Mongol yang terkenal bengis dan kejam.
Dia menolak tradisi saling bunuh antar saudara untuk mendapatkan kekuasaan (fratisida). Selain pendekatan nurani, Bekhi juga dikenal mampu memengaruhi orang melalui orasinya. Dia dicintai anak-anaknya dan seluruh rakyat Mongol. Kepiawaiannya dalam berdiplomasi menjadikan Bekhi sebagai pemimpin berpengaruh dalam sejarah Mongol.
Keempat, dari Indonesia banyak sosok perempuan yang menjadi pemimpin di saat kondisi perang. Malahayati adalah salah satunya. Terlahir dengan nama Keumalahayati, menjadi sosok legendaris karena di saat penjajah Belanda menginjakkan kakinya di Aceh, dia memimpin 2.000 Inong Balee (janda pahlawan) menyerang kapal dan benteng Belanda pada 11 September 1599. Dia berhasil membunuh Cornelis de Houtman dalam pertempuran satu lawan satu. Atas keberaniannya itu, dia dinobatkan sebagai pahlawan nasional dengan gelar Laksamana.
Kelima, masih dari Aceh yakni dari keluarga bangsawan Cut Nyak Dien. Dia lahir pada 1848 di tengah kehidupan glamor kesultanan Aceh pada saat itu. Namun, kedatangan Belanda mengubah semuanya dan dia pun memilih berperang menghadapi negara penjajah. Dia sendiri mengomandani pasukannya untuk secara gagah berani berhadapan dengan musuh.
Itu adalah segelintir dari banyaknya perempuan yang terlibat dalam kepemimpinan dan politik suatu bangsa. Ini tentu menjadi relevan ketika banyak kalangan mendesak agar porsi keterlibatan perempuan dalam politik ditingkatkan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

“).attr({
type: ‘text/javascript’,
src: ‘https://platform.twitter.com/widgets.js’
}).prependTo(“head”);
if ($(“.instagram-media”).length > 0)
$(“

Partai

Institusi

K / L

BUMN

NGO

Organisasi

Perusahaan

Kab/Kota

Provinsi

Topik

Kasus

Agama

Brand

Club Sports

Event

Grup Musik

Hewan

Tanaman

Produk

Statement

Fasum

Transportasi