Ke Mana Perginya Presisi Polri?

Ke Mana Perginya Presisi Polri?

Bisnis.com, JAKARTA — Ketika dipercaya menjadi Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo langsung tancap gas memperkenalkan Presisi sebagai landasan operasional Polri.

Presisi adalah akronim dari Prediktif, Responsibilitas, dan Transparansi Berkeadilan yang merupakan visi besar transformasi Polri dari era sebelumnya menuju polisi yang lebih humanis, melayani, akuntabel, dan mengedepankan keadilan restoratif.

Presisi bertujuan mendasari setiap tindakan kepolisian agar lebih proaktif dalam pencegahan, responsif terhadap kebutuhan masyarakat, serta transparan dan adil dalam pelaksanaan tugas.

Secara prediktif, Polri diarahkan untuk mampu mengantisipasi potensi gangguan keamanan melalui analisis data dan teknologi terkini. Dengan begitu, upaya menjaga ketertiban masyarakat tidak hanya mengandalkan penindakan reaktif, tetapi juga analisis komprehensif terhadap situasi lapangan agar bisa memitigasi konflik sejak dini.

Responsibilitas merujuk pada kesadaran dan akuntabilitas anggota Polri dalam bertugas, memastikan setiap tindakan memiliki standar profesional dan pertanggungjawaban jelas.

Sedangkan Transparansi Berkeadilan menuntut keterbukaan dalam proses penegakan hukum serta jaminan bahwa keadilan tidak diganggu oleh intervensi eksternal maupun kepentingan pribadi.

Implementasi Presisi di Lapangan

Seiring perubahan zaman dan tuntutan masyarakat yang semakin kritis, implementasi Presisi pun dilakukan secara stratejik dengan fokus perhatian pada simpul-simpul yang menjadi pilar Presisi itu sendiri.

Pilar pertama adalah sumber daya manusia (SDM) yang diwujudkan melalui penguatan kapasitas SDM Polri dengan penyelenggaraan pelatihan dan pendidikan berkelanjutan agar profesionalisme dan etika anggota Polri benar-benar terjamin.

Standar operasional prosedur (SOP) terus diperbarui dan penegakan disiplin diperkuat.

Pilar kedua adalah teknologi di mana pemanfaatannya antara lain berbentuk sistem manajemen kasus, analisis data kriminal, dan aplikasi pelayanan publik. Program Dumas Presisi adalah salah satu inovasi, memungkinkan masyarakat mengadukan kasus secara daring sehingga prosesnya lebih transparan dan terukur

Pilar ketiga adalah kemitraan dengan masyarakat yang melibatkan tokoh agama, akademisi, LSM, dan unsur masyarakat sebagai mitra dalam pengawasan dan kritisi kinerja Polri.

Di era digital seperti saat ini, dialog publik menjadi saluran penting bagi Polri untuk menerima umpan balik dan kritik membangun. Sesungguhnya ketiga pilar tersebut bermuara pada peningkatan kualitas pelayanan publik, pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas), serta penegakan hukum yang proporsional.

Dengan inovasi teknologi, diharapkan pelayanan semakin cepat, terintegrasi, dan mudah diakses masyarakat.

Tragedi Presisi

Namun ternyata fakta di lapangan tak selalu indah. Pada 28 Agustus 2025 seorang pengemudi ojol bernama Affan Kurniawan tewas ditabrak dan dilindas oleh kendaraan taktis jenis Barakuda milik Satuan Brimob Polda Metro Jaya pada saat terjadi unjuk rasa di sekitar Gedung DPR/MPR RI.

Peristiwa ini memunculkan pertanyaan besar tentang efektivitas Presisi sebagai landasan operasional Polri. Tak ada Prediktif karena seolah tak ada analisis data dan teknologi terkini untuk mengantisipasi potensi gangguan keamanan terkait unjuk rasa. Yang tampak justru tindakan frontal dan brutal tanpa pemikiran dan perhitungan yang matang.

Tak ada pula Responsibilitas karena jangankan kesadaran, kepedulian pun seperti hilang ditelan bumi. Anggota Satuan Brimob Polda Metro Jaya yang bertugas bertindak seolah tanpa standar profesional dan pertanggungjawaban yang jelas.

Mungkin masih ada secercah harapan tentang Transparansi Berkeadilan sejauh Polri mampu menjaga keterbukaan dalam proses penegakan hukum tujuh anggota Satuan Brimob Polda Metro Jaya yang menjadi penyebab tewasnya Affan, serta jaminan bahwa keadilan tak akan diintervensi oleh pihak manapun untuk kepentingan pribadi mereka.

Bagaimana dengan tiga pilarnya? Pilar pertama yang paling tampak goyah. Pelatihan dan pendidikan berkelanjutan seperti tak menghasilkan profesionalisme dan etika anggota Polri yang diharapkan. SOP yang ada ternyata tak dipatuhi, dan penegakan disiplin bukannya makin kuat, malah terkesan amburadul, terutama saat menghadapi massa.

Lalu, ke mana perginya pilar teknologi? Tak terlihat oleh kita penggunaan teknologi untuk menganalisis dan mengendalikan pendemo secara efektif dan efisien. Rantis harusnya dilengkapi dengan perangkat teknologi canggih, tapi nyatanya peringatan dini yang muncul dari perangkat tersebut tampak diabaikan sehingga jatuh korban meninggal dunia yang seharusnya bisa dihindari dan dicegah.

Memang, teknologi canggih boleh saja tersedia, namun semua kembali ke manusia yang menggunakannya.

Dalam situasi keterpurukan macam ini, pilar ketiga rasanya bisa menjadi penyelamat. Kemitraan dengan masyarakat yang telah dibangun dengan susah payah selama ini perlu didayagunakan seoptimal mungkin untuk membuka dialog serta menerima umpan balik dan kritik membangun saluran penting bagi Polri untuk menumbuhkan kembali kepercayaan yang mungkin telah porak poranda.

Kepercayaan ini menjadi kunci bagi Polri dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, memelihara keamanan dan ketertiban publik, serta menegakkan hukum secara adil.

Rasanya pilar teknologi dapat diberdayakan untuk mendukung upaya pemulihan kepercayaan masyarakat. Saluran-saluran media sosial perlu ditingkatkan intensitasnya, baik secara langsung maupun melalui para influencer.

Tuntutan dan Tantangan Presisi Ke Depan

Polri selalu dituntut konsisten dalam menjalankan prinsip Presisi, baik dalam urusan internal maupun pelayanan masyarakat. Konsistensi tersebut tak pandang bulu, apakah dalam situasi tenang dan damai, ataukah dalam situasi rusuh dan kacau.

Tuntutan masyarakat yang lain adalah Polri harus hadir sebagai pelindung, pengayom, dan penegak hukum yang benar-benar humanis dan responsif, serta tak memihak siapapun. Dua tuntutan yang praktis gagal dipenuhi sejalan dengan tewasnya Affan.

Oleh karena itu, jangan heran bila tantangan yang dihadapi menjadi sangat besar. Profesionalisme anggota Polri akan dan terus diuji oleh dinamika sosial-politik, tekanan massa, dan kondisi psikologis aparat di lapangan.

Pengawasan internal melalui fungsi propam dan eksternal melalui tokoh masyarakat sangat penting agar pelaksanaan Presisi tak sekadar menjadi jargon institusi. Responsibilitas dan Transparansi harus diwujudkan secara nyata, bukan sebatas administrasi atau laporan birokrasi.

Kasus Affan adalah lonceng peringatan yang nyaring bagi Polri bahwa evaluasi harus segera dilakukan. SOP pengamanan harus diperbaiki, pelatihan SDM terkait etika dan HAM harus diprioritaskan, serta inovasi teknologi dan pengawasan eksternal harus terus dioptimalkan.

Pelaksanaan Presisi tak cukup hanya sebatas program, namun harus didukung komitmen nyata dari anggota Polri, sistem manajemen internal yang transparan, serta sanksi tegas terhadap pelanggaran.

Kepercayaan masyarakat merupakan taruhan terbesar sekaligus modal utama Polri. Tanpa pengawasan publik dan konsistensi dalam pelaksanaan Presisi, berbagai upaya transformasi Polri hanya akan menjadi retorika tanpa substansi.

Tragedi ini mempertegas bahwa dialog terbuka, evaluasi berkelanjutan, serta komitmen penegakan hukum yang adil adalah syarat mutlak agar Polri menjadi institusi modern, dipercaya, dan benar-benar Presisi.

Masyarakat menuntut Polri untuk berbenah, belajar dari kasus nyata, dan mengaktualisasi Presisi tak hanya sebagai slogan, melainkan menjadi perilaku organisasi dan operasional sehari-hari.

Penegakan keadilan dan transparansi—khususnya dalam kasus-kasus yang menimpa korban sipil—harus dilaksanakan tanpa kompromi, demi menjaga marwah dan kepercayaan terhadap Polri sebagai garda terdepan hukum, keamanan, dan keadilan di Indonesia.