Liputan6.com, Jakarta – Penerbitan Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) di kawasan pagar laut pesisir Kabupaten Tangerang, Banten, telah menuai polemik hukum. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2021 juncto Permen ATR Nomor 18 Tahun 2021, sertifikat semacam ini hanya dapat diterbitkan di wilayah daratan pesisir, bukan di atas perairan laut.
Fakta bahwa ratusan sertifikat telah diterbitkan di kawasan, yang jelas-jelas melanggar ketentuan hukum, menunjukkan adanya pelanggaran prosedur yang serius dalam tata kelola pertanahan. Menteri ATR/BPN Nusron Wahid–sebagaimana disiarkan pers- menegaskan bahwa sertifikat tersebut, yang dikeluarkan oleh pejabat terdahulu, cacat secara hukum dan batal demi hukum.
Dalam konteks hukum administrasi negara, istilah “cacat prosedur” mengacu pada pelanggaran aturan formal dalam proses penerbitan sertifikat. Sementara itu, “cacat material” merujuk pada ketidaksesuaian substansi keputusan dengan hukum yang berlaku. Dalam kasus ini, kedua jenis cacat terjadi secara bersamaan.
Prosedur penerbitan yang menyimpang dari aturan formal menandakan lemahnya pengawasan administratif. Maka kasus ini mencerminkan tantangan besar dalam tata kelola pertanahan di Indonesia, khususnya dalam menghadapi praktik penyimpangan administratif.
Pelanggaran ini tidak hanya melibatkan pihak internal birokrasi, tetapi juga membuka peluang bagi oknum untuk mengambil keuntungan dari kelemahan sistem.
Oleh karenanya kasus penerbitan sertifikat di atas laut ini menjadi cerminan dari permasalahan mendasar dalam sistem pertanahan nasional.
Tidak hanya soal pelanggaran hukum, kasus ini juga menunjukkan adanya kebutuhan mendesak untuk memperkuat mekanisme pengawasan dan akuntabilitas birokrasi. Jika dibiarkan tanpa penanganan serius, masalah ini berpotensi melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan menciptakan preseden buruk dalam tata kelola pertanahan.
Dampak Pembangunan Pagar Laut
Pembangunan pagar laut yang dimulai pada Juli 2024, kemudian menjadi perbincangan publik pada Januari 2025 setelah keluhan dari nelayan, mengungkapkan dampak sosial yang sangat serius. Nelayan yang sebelumnya menggantungkan hidup mereka pada hasil laut, kini kehilangan akses ke wilayah tangkap mereka.
Tidak hanya mengganggu mata pencaharian mereka, tetapi juga berpotensi memicu ketegangan sosial di antara masyarakat pesisir. Kehilangan akses terhadap sumber daya yang selama ini menjadi penopang kehidupan mereka, menciptakan ketidakpuasan dan keresahan yang bisa memperburuk hubungan sosial di wilayah pesisir.
Dampak sosial ini semakin diperburuk dengan potensi kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh pembangunan pagar laut. Ekosistem pesisir, yang merupakan habitat bagi berbagai spesies laut, kini terancam akibat perubahan aliran air dan sedimentasi yang terjadi sebagai dampak dari proyek tersebut.
Selain dampak sosial dan lingkungan, proyek pagar laut ini juga menimbulkan ketidakpastian hukum yang signifikan, terutama terkait dengan penerbitan sertifikat tanah. Penerbitan sertifikat tanah yang cacat hukum atau bahkan bodong (bermasalah) memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap tata kelola agraria di Indonesia.
Sertifikat yang tidak sah atau bermasalah dapat menciptakan ketidakjelasan status hukum tanah, terutama yang terlibat dalam proyek pembangunan pagar laut. Penerbitan sertifikat bodong semakin memperburuk ketidakpastian ini, karena masyarakat tidak lagi merasa aman dengan hak-hak mereka atas tanah atau sumber daya alam.
Praktik mafia tanah yang melibatkan penerbitan sertifikat bodong, yang tidak sah dan tidak sesuai hukum, karuan saja menciptakan ketegangan yang lebih besar di antara masyarakat dan pemerintah, karena hal ini mengarah pada ketidakadilan yang dapat berlanjut menjadi konflik yang lebih besar.
Ketidakpastian hukum yang disebabkan oleh penerbitan sertifikat tanah yang cacat hukum atau palsu dalam proyek pagar laut ini, sangat berbahaya, baik bagi masyarakat yang terlibat langsung maupun bagi masyarakat yang terpinggirkan.
Dari itu administrasi pertanahan tidak dilakukan dengan benar, terutama terkait dengan pengelolaan tanah pesisir atau kawasan laut, maka dampaknya bukan hanya pada ketidakadilan sosial, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum dan tata kelola agraria yang seharusnya menjadi jaminan hak atas tanah.
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5110488/original/031981500_1737966223-250127_Marcellus_Hakeng.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)