Kasus: stunting

  • Mendagri: MBG bidik pemenuhan gizi dan hidupkan ekonomi daerah 3T

    Mendagri: MBG bidik pemenuhan gizi dan hidupkan ekonomi daerah 3T

    Jakarta (ANTARA) – Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menyampaikan program Makan Bergizi Gratis (MBG) membidik pemenuhan gizi untuk menekan stunting dan menghidupkan ekonomi daerah di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).

    “Daerah 3T menjadi prioritas karena layanan gizi di wilayah ini sangat mendesak. Program MBG penting untuk menekan stunting, membuka lapangan kerja, sekaligus memperkuat rantai pasok lokal,” kata Tito dalam keterangan di Jakarta, Senin.

    Oleh karena itu, sebanyak 141 satuan tugas (satgas) dibentuk untuk mempercepat pembangunan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di daerah 3T. Saat ini sudah ada 806 titik yang memenuhi syarat untuk pembangunan dapur MBG di daerah 3T. Dari jumlah tersebut, 264 dapur akan dibangun Kementerian Pekerjaan Umum (PU), lalu 542 sisanya ditangani Badan Gizi Nasional (BGN).

    Menteri PU Dody Hanggodo menambahkan, program MBG bukan sekadar bantuan sosial, tetapi juga bagian dari strategi pembangunan nasional.

    Program ini mendukung target PU608 untuk menurunkan kemiskinan, memperbaiki rasio investasi (ICOR), serta mendorong pertumbuhan ekonomi.

    “Fokus percepatan pembangunan SPPG diarahkan pada wilayah 3T serta kawasan PLBN, mengingat kebutuhan layanan gizi yang sangat mendesak dan pentingnya kehadiran negara di lokasi tersebut,” kata Dody.

    Menanggapi hal itu, Guru Besar Ilmu Gizi IPB University Prof. Hardinsyah menilai kehadiran SPPG di daerah 3T bisa menjadi pusat ekonomi baru, karena komoditas pertanian, perikanan, dan perkebunan yang sebelumnya kurang terserap akan dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan harian dapur MBG.

    “Kalau di satu kecamatan ada lima SPPG, maka enam bulan sebelum berdiri, petani, peternak, dan nelayan harus mulai menyiapkan produksi sesuai kebutuhan. Dengan begitu, rantai pasok pangan lokal bisa diperkuat,” ujarnya.

    Hardinsyah menekankan pentingnya koordinasi lintas level. Menurutnya, pengelolaan SPPG tidak hanya berhenti pada pemerintah pusat, tetapi juga harus diperkuat di tingkat kabupaten, kecamatan, hingga desa agar program ini benar-benar berdampak bagi masyarakat sekitar.

    Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
    Editor: Edy M Yakub
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Warga di 32 kelurahan Jakbar sudah tak buang air besar sembarangan

    Warga di 32 kelurahan Jakbar sudah tak buang air besar sembarangan

    masih ada warga di 24 kelurahan, yang belum ODF

    Jakarta (ANTARA) – Sebanyak 32 dari 56 kelurahan di Jakarta Barat (Jakbar) hingga saat ini, warganya tercatat sudah tidak buang air besar sembarangan (open defecation free/ODF).

    “Dengan deklarasi ODF di Kelurahan Kembangan Utara dan Kembangan Selatan kemarin, sudah ada 32 kelurahan di Jakarta Barat atau sekitar 57 persen yang ODF,” kata Kepala Suku Dinas Kesehatan Jakarta Barat, Erizon Safari di Jakarta, Senin.

    Menurut dia, jumlah tersebut terus meningkat sejak 2023 karena saat itu baru 13 kelurahan yang sudah deklarasi ODF dan pada 2024 meningkat jadi 23 kelurahan.

    Dengan demikian, kata Erizon, masih ada warga di 24 kelurahan, yang belum ODF.

    “Kami berharap dukungan Unit Kerja Perangkat Daerah (UKPD) terkait agar seluruh penduduknya stop buang air besar sembarangan. Targetnya pada 2026, Jakarta Barat siap mengikuti lomba kabupaten/kota sehat,” tambah Erizon.

    Sebelumnya, Kelurahan Kembangan Selatan dan Kembangan Utara di Kecamatan Kembangan, Jakarta Barat melaksanakan deklarasi Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM), Rabu (17/9).

    Deklarasi STBM dua kelurahan tersebut diisi dengan penandatangan komitmen bersama dan penyerahan piagam yang diberikan Asisten Administrasi Kesejahteraan Rakyat (Adkesra) Setko Jakarta Barat, Amien Haji.

    “Deklarasi STBM tidak hanya sekadar slogan, tapi merupakan upaya nyata untuk mendukung penurunan angka kasus stunting, mencegah penyakit menular serta meningkatkan kualitas kesehatan keluarga,” kata Amien Haji.

    Amien pun meminta agar Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait, seperti Sudin SDA, Bina Marga, Lingkungan Hidup, untuk ikut berkontribusi memastikan optimalisasi pelaksanaan STBM ini sesuai dengan tugas dan fungsinya.

    “STBM bukan hanya menjadi tanggung jawab kewilayahan dan puskesmas, tapi tanggung jawab bersama sesuai Instruksi Wali Kota Jakbar Nomor e-0005 Tahun 2025 tentang Percepatan Stop Buang Air Besar Sembarangan di Jakbar,” kata dia.

    Pewarta: Redemptus Elyonai Risky Syukur
    Editor: Edy Sujatmiko
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • 10
                    
                        Keracunan Massal MBG Berulang: Segera Moratorium, Evaluasi, dan Investigasi
                        Nasional

    10 Keracunan Massal MBG Berulang: Segera Moratorium, Evaluasi, dan Investigasi Nasional

    Keracunan Massal MBG Berulang: Segera Moratorium, Evaluasi, dan Investigasi
    Pemerhati masalah politik, pertahanan-keamanan, dan hubungan internasional. Dosen Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Komputer Indonesia (UNIKOM), Bandung.
    PROGRAM
    Makan Bergizi Gratis (MBG) sejatinya dirancang sebagai ikon politik sekaligus kebijakan unggulan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
    Saat kampanye, program ini digadang-gadang sebagai jawaban atas problem klasik gizi buruk, stunting, serta ketidakmerataan akses pangan di kalangan anak sekolah.
    Namun, beberapa bulan setelah implementasi, alih-alih menjadi kebanggaan, MBG justru berubah menjadi sumber krisis nasional.
    Tagar
    #MakanBeracunGratis
    yang viral di media sosial menjadi simbol runtuhnya kepercayaan publik terhadap program ini.
    Tidak ada yang meragukan besarnya skala dan niat baik program MBG. Dengan alokasi anggaran mencapai Rp 71 triliun, pemerintah berupaya memastikan jutaan pelajar Indonesia mendapat asupan gizi layak setiap hari.
    Namun, fakta di lapangan menunjukkan kontras yang tajam, di mana lebih dari 5.360 anak menjadi korban keracunan hingga September 2025. Beberapa kasus mencatat angka korban yang mencengangkan, seperti 569 pelajar di Garut dan 277 pelajar di Banggai Kepulauan.
    Jika program dengan dana raksasa justru menghasilkan derita massal, pertanyaan mendasar harus diajukan; di mana letak kesalahannya?
    Apakah pada strategi desain kebijakan, lemahnya implementasi, atau ada faktor sabotase yang sengaja dimainkan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab?
    Analisis data menunjukkan bahwa akar persoalan dalam Program MBG bukan sekadar insiden teknis, melainkan kegagalan sistemik yang menyentuh hampir seluruh aspek tata kelola.
    Kegagalan ini bisa dilihat dari empat dimensi utama yang saling berkaitan, yaitu kecepatan pelaksanaan, integritas kelembagaan, manajemen rantai pasok, serta krisis kepercayaan publik.
    Pertama, pelaksanaan program dilakukan secara tergesa-gesa dalam skala nasional tanpa infrastruktur pengawasan memadai.
    Orientasi pemerintah tampaknya lebih berat pada aspek kuantitas, seperti hanya menghitung berapa banyak dapur yang dibangun, dan berapa banyak anak yang terlayani.
    Sementara dimensi kualitas pangan dan keamanan konsumsi terabaikan. Akibatnya, makanan yang seharusnya menjadi penopang gizi justru berulang kali memicu keracunan massal pada anak-anak, kelompok yang seharusnya paling dilindungi.
    Kedua, terdapat masalah serius terkait dapur fiktif dan dugaan korupsi. DPR mengungkapkan adanya sekitar 5.000 dapur MBG yang ternyata tidak benar-benar ada.
    Fakta ini membuka indikasi kuat bahwa sebagian dana program menguap tanpa manfaat nyata bagi masyarakat.
    Jika temuan ini benar, maka persoalannya bukan sekadar kelalaian administratif, melainkan praktik korupsi terstruktur yang merampas hak anak-anak Indonesia untuk memperoleh makanan bergizi dengan aman.
    Ketiga, kelemahan juga tampak dalam rantai pasok dan sistem logistik. Kasus keracunan massal akibat pergantian pemasok ikan menegaskan bahwa mekanisme verifikasi dan kontrol kualitas sangat rapuh.
    Tidak hanya itu, laporan tentang makanan basi, menu berbelatung, hingga kontroversi penggunaan wadah makanan (
    food tray
    ) yang dituding mengandung minyak babi memperburuk citra program di mata publik.
    Masalah-masalah ini menunjukkan bahwa aspek teknis – mulai dari penyimpanan, distribusi, hingga standar kebersihan – tidak dikelola secara profesional.
    Keempat, krisis semakin dalam akibat defisit kepercayaan publik. Alih-alih mengakui kesalahan dan membuka ruang transparansi, pemerintah justru menerbitkan surat pernyataan yang meminta orangtua murid untuk tidak menuntut apabila terjadi keracunan.
    Langkah ini bukan hanya gagal meredakan keresahan, melainkan semakin memperkuat persepsi bahwa negara berupaya lepas dari tanggung jawab moral dan hukum.
    Akibatnya, kepercayaan masyarakat terhadap program MBG kian merosot, bahkan berpotensi bergeser menjadi penolakan terbuka.
    Dengan demikian, jelas bahwa masalah MBG tidak berhenti pada level teknis, melainkan mencerminkan cacat desain kebijakan dan lemahnya tata kelola.
    Jika tidak segera diperbaiki melalui evaluasi menyeluruh dan investigasi transparan, program yang semula digadang-gadang sebagai ikon kepedulian sosial justru berisiko tercatat sebagai kegagalan monumental dalam sejarah kebijakan publik Indonesia.
    Tidak sedikit yang menduga adanya unsur sabotase terhadap MBG. Dugaan ini muncul karena banyaknya insiden terjadi serentak di berbagai daerah dengan pola mirip, seperti keracunan massal, pasokan bahan pangan rusak, hingga isu sensitif soal halal.
    Namun, tanpa bukti empiris yang kuat, asumsi ini masih spekulatif.
    Yang lebih nyata adalah indikasi inkompetensi dan tata kelola yang buruk. Jika Badan Gizi Nasional (BGN) gagal memverifikasi dapur, mengawasi rantai pasok, serta menjaga standar kebersihan, maka tanggung jawab utama tetap berada di pundak pemerintah.
    Sabotase mungkin ada, tetapi kelemahan sistem yang membuka celah terjadinya sabotase itu.
    Persoalannya, dampak krisis MBG melampaui aspek kesehatan. Ia kini menjelma menjadi liabilitas politik bagi pemerintahan Prabowo-Gibran.
    Kegagalan dalam mengelola program unggulan bisa menjadi preseden buruk, yakni rakyat kehilangan kepercayaan pada janji-janji politik.
    Situasi semakin sensitif karena korbannya adalah pelajar sekolah, mayoritas Generasi Z, kelompok yang sangat aktif di media sosial dan memiliki kemampuan mobilisasi opini.
    Jika pemerintah tidak segera melakukan evaluasi fundamental, isu MBG bisa bergulir menjadi gerakan massa yang lebih besar, apalagi di tengah polarisasi politik pasca-pemilu.
    Dalam situasi krisis seperti saat ini, langkah paling rasional yang dapat ditempuh pemerintah adalah moratorium sementara terhadap Program MBG, khususnya di daerah-daerah yang mencatat kasus keracunan massal dengan korban terbanyak.
    Moratorium bukan berarti membatalkan niat mulia untuk memberi makan anak bangsa, melainkan langkah darurat untuk menghentikan jatuhnya korban baru sambil melakukan evaluasi mendalam.
    Setelah moratorium, yang diperlukan adalah investigasi independen yang transparan. Tim investigasi ini idealnya melibatkan berbagai pihak, seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Kementerian Kesehatan, akademisi, organisasi masyarakat sipil, serta perwakilan orangtua murid.
    Dengan komposisi lintas sektor, investigasi diharapkan mampu menyentuh akar persoalan, bukan sekadar menutup permukaan masalah.
    Fokus utama harus mencakup verifikasi ulang terhadap lebih dari 8.000 dapur MBG untuk memastikan apakah benar-benar ada atau fiktif; audit forensik alur anggaran guna mencegah kebocoran dana; uji laboratorium acak terhadap menu yang disajikan di sekolah; serta pemeriksaan menyeluruh atas rantai pasok bahan makanan, mulai dari pemasok hingga distribusi terakhir.
    Langkah berikutnya adalah desain ulang mekanisme program. Pengalaman menunjukkan bahwa model yang terlalu sentralistik sangat rentan menimbulkan masalah.
    Karena itu, desentralisasi menjadi pilihan logis dengan memberdayakan kantin sekolah dan UMKM katering lokal yang sudah terverifikasi.
    Dengan memotong rantai distribusi, risiko makanan basi, rusak, atau terkontaminasi bisa ditekan secara signifikan.
    Di sisi lain, desentralisasi juga membuka peluang pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal sehingga manfaat program terasa lebih luas.
    Pengawasan terhadap program pun perlu ditransformasikan secara partisipatif dan berbasis digital. Orangtua murid bisa dilibatkan melalui komite sekolah untuk memastikan kualitas makanan, sementara data distribusi, hasil uji sampel, serta laporan keluhan harus dipublikasikan secara transparan dalam
    dashboard
    daring
    real-time
    .
    Dengan mekanisme ini, pengawasan publik tidak hanya menjadi formalitas, melainkan benar-benar hidup dan responsif.
    Namun, semua reformasi itu akan kehilangan makna bila pemerintah kembali terjebak pada pola komunikasi lama yang defensif dan tertutup. Komunikasi krisis yang beradab menjadi kunci.
    Membungkam keluhan publik atau menggulirkan narasi propagandis hanya akan memperburuk luka kepercayaan masyarakat. Sebaliknya, yang dibutuhkan adalah komunikasi yang jujur, terbuka, dan empatik.
    Presiden Prabowo harus tampil di depan publik, tidak sekadar menyampaikan permintaan maaf, tetapi juga menunjukkan rencana konkret perbaikan dengan langkah yang terukur.
    Dengan cara itu, kepercayaan masyarakat dapat dipulihkan, dan program MBG bisa kembali menempati posisi semula sebagai kebijakan pro-rakyat yang membanggakan.
    Program MBG adalah kebijakan dengan niat luhur, tetapi implementasi yang buruk telah mengubahnya menjadi bencana politik dan sosial.
    Oleh karena itu, dibutuhkan langkah drastis, yaitu moratorium, evaluasi menyeluruh, dan investigasi independen.
    Jika reformasi dilakukan dengan transparan, MBG masih bisa diselamatkan sebagai program strategis yang membanggakan.
    Namun, jika pemerintah memilih jalan pintas dengan retorika kosong dan perbaikan kosmetik, MBG berpotensi tercatat sebagai kegagalan monumental dalam sejarah kebijakan sosial Indonesia.
    Dan bagi Presiden Prabowo, kegagalan ini bisa berbalik menjadi bom waktu politik yang merusak legitimasi kepemimpinannya sejak tahun pertama berkuasa.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Mendagri Tito Karnavian Ajak KAHMI jadi Motor Perubahan Menuju Indonesia Emas 2045 – Page 3

    Mendagri Tito Karnavian Ajak KAHMI jadi Motor Perubahan Menuju Indonesia Emas 2045 – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian mengajak Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) untuk terus berkontribusi membangun bangsa, khususnya dalam menyongsong cita-cita Indonesia Emas 2045.

    Menurutnya, KAHMI memiliki potensi besar karena menghimpun para kader dan alumni HMI yang telah tersebar di berbagai lini, termasuk pemerintahan, parlemen, maupun lembaga strategis.

    Ia menegaskan, visi KAHMI sejak awal bukan hanya untuk kepentingan Islam, melainkan lebih luas yakni berkontribusi bagi kemajuan bangsa yang plural.

    “Itu artinya KAHMI mengakui pluralisme meskipun bernapaskan mesyiarkan nilai-nilai Islam,” ujar Mendagri Tito Karnavian saat menghadiri Pertemuan Regional KAHMI se-Sumatera di Swiss-Belhotel Harbour Bay Batam, Kepulauan Riau (Kepri), Sabtu 20 September 2025.

    Dalam sambutannya, Mendagri Tito juga menyampaikan optimismenya terhadap proyeksi Indonesia menjadi salah satu kekuatan ekonomi terbesar dunia pada 2045.

    Hal itu mengacu pada kajian lembaga internasional seperti Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF) yang memperkirakan Indonesia berpeluang menjadi negara dengan ekonomi besar.

    Namun, Tito menekankan peluang itu hanya bisa tercapai apabila Indonesia mampu mengelola sumber daya manusia (SDM) dan sumber daya alam (SDA) secara tepat.

    “Persoalan kita adalah bagaimana how to manage SDM kita supaya mereka terdidik, terlatih, sehat, sehingga menjadi tenaga kerja yang produktif makanya kita memerangi stunting, memerangi TBC (tuberkulosis), [membuat] program MBG (Makan Bergizi Gratis),” ucap dia.

     

    Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian tidak berkomentar ketika tiba di Bandara Yogyakarta International Airport untuk menuju lokasi retret Akmil Magelang.

  • 5.360 Siswa Keracunan MBG, Siapa yang Bertanggung Jawab?
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        20 September 2025

    5.360 Siswa Keracunan MBG, Siapa yang Bertanggung Jawab? Nasional 20 September 2025

    5.360 Siswa Keracunan MBG, Siapa yang Bertanggung Jawab?
    Dosen, Penulis dan Peneliti Universitas Dharma Andalas, Padang
    PROGRAM
    Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintahan Prabowo Subianto sejatinya berangkat dari niat luhur: menyehatkan anak bangsa, mengurangi angka stunting, sekaligus membangun sumber daya manusia yang lebih kuat. Namun, niat baik itu kini tercoreng.
    Berdasarkan catatan lembaga pemantau pendidikan, hingga pertengahan September 2025, tercatat 5.360 siswa menjadi korban keracunan makanan akibat program ini.
    Angka itu bukan sekadar statistik, melainkan potret nyata dari lemahnya pengawasan negara terhadap kualitas gizi dan keamanan pangan anak-anak sekolah.
    Pertanyaan yang kemudian menyeruak: masih maukah pemerintah tetap melanjutkan program ini dalam kondisi seperti ini, Pak Presiden?
    Di atas kertas, program MBG menawarkan harapan besar. Jutaan siswa sekolah dasar dan menengah di seluruh Indonesia dijanjikan asupan gizi seimbang setiap hari.
    Pemerintah berulang kali menyebut MBG sebagai jawaban atas tantangan gizi buruk dan ketimpangan nutrisi.
    Namun, kenyataan di lapangan sungguh berbeda. Ratusan kasus keracunan muncul di berbagai daerah.
    Mulai dari Jawa Tengah, Jawa Barat, hingga Kalimantan, anak-anak dilarikan ke rumah sakit dengan gejala mual, pusing, hingga muntah-muntah.
    Para orangtua resah, tenaga kesehatan kewalahan, dan sekolah-sekolah kelimpungan menghadapi krisis yang semestinya tidak perlu terjadi. Bukankah gizi mestinya menyehatkan, bukan meracuni?
    Akar masalah program MBG bukan semata pada ide besar yang salah arah, melainkan pada pelaksanaan yang sembrono. Dari hulu hingga hilir, rantai distribusi makanan memperlihatkan banyak celah.
    Bahan baku yang tidak terjamin, pengolahan tanpa standar higienis, distribusi tanpa rantai dingin memadai, hingga penyajian di sekolah yang serba terburu-buru.
    Semua ini terjadi karena pemerintah terburu-buru menggelontorkan program tanpa memastikan infrastruktur pendukungnya siap.
    Di daerah terpencil, dapur umum masih minim fasilitas. Di kota besar, vendor penyedia makanan sering kali dipilih berdasarkan kedekatan politik, bukan kompetensi. Akibatnya, kualitas makanan jatuh di bawah standar yang seharusnya dipatuhi.
    Pertanyaan penting lainnya: siapa yang bertanggung jawab? Apakah kementerian pendidikan, kementerian kesehatan, pemerintah daerah, atau vendor swasta?
    Setiap kali kasus keracunan mencuat, jawaban yang muncul selalu sama: saling lempar tanggung jawab. Transparansi publik pun minim.
    Padahal, dalam perspektif hukum administrasi dan hukum perlindungan konsumen, pemerintah sebagai penyelenggara program wajib bertanggung jawab atas keselamatan penerima manfaat.
    Anak-anak sekolah bukanlah obyek percobaan kebijakan, melainkan subyek yang haknya atas kesehatan dilindungi konstitusi.
    Setiap kali anak-anak keracunan, bukan hanya kesehatan mereka yang terganggu, tetapi juga kepercayaan orangtua terhadap sekolah dan negara terkikis.
    Trauma psikologis muncul: bagaimana mungkin orangtua bisa tenang melepas anaknya ke sekolah jika makan siang gratis justru berujung rawat inap?
    Jika dibiarkan, program MBG akan kehilangan legitimasi sosial. Dan tanpa legitimasi, program sebesar apa pun akan gagal.
    Apakah program MBG harus dihentikan? Tidak serta-merta. Namun, program ini wajib dievaluasi secara menyeluruh sebelum dilanjutkan lebih jauh.
    Ada beberapa syarat minimal yang harus segera dipenuhi. Pertama, audit independen atas seluruh rantai pasok, mulai dari vendor hingga distribusi.
    Kedua, standarisasi ketat berupa sertifikasi keamanan pangan (HACCP atau setara) bagi semua penyedia.
    Ketiga, pengawasan lokal dengan melibatkan dinas kesehatan dan dinas pendidikan di tingkat kabupaten/kota.
    Keempat, transparansi publik, dengan laporan terbuka terkait hasil uji laboratorium makanan serta penanganan kasus keracunan.
    Kelima, penerapan bertahap, dimulai dari daerah dengan infrastruktur siap, sebelum diperluas ke seluruh Indonesia.
    Pak Prabowo, rakyat tidak menolak program makan bergizi gratis. Sebaliknya, mereka mendukung sepenuh hati jika memang benar-benar menghadirkan manfaat.
    Namun, ketika korban keracunan sudah menembus ribuan, pertanyaan mendasar harus dijawab dengan jujur: apakah gizi yang kita berikan kepada anak-anak ini benar-benar bergizi, atau justru berubah menjadi racun?
    Melanjutkan program MBG tanpa perbaikan berarti mempertaruhkan kesehatan dan masa depan anak bangsa.
    Menundanya demi evaluasi menyeluruh bukanlah tanda kegagalan, melainkan keberanian untuk mengutamakan keselamatan publik.
    Karena dalam politik, banyak hal bisa dinegosiasikan. Namun, untuk kesehatan anak-anak kita, tak ada kompromi yang bisa diterima.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Diinisiasi Wali Kota Agustina, Program Keluarga Cemara Diapresiasi Para Ibu
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        19 September 2025

    Diinisiasi Wali Kota Agustina, Program Keluarga Cemara Diapresiasi Para Ibu Regional 19 September 2025

    Diinisiasi Wali Kota Agustina, Program Keluarga Cemara Diapresiasi Para Ibu
    Penulis
    KOMPAS.com
    – Inovasi “Keluarga Cemara” yang dicetuskan oleh Wali Kota Semarang Agustina Wilujeng, mendapat apresiasi hangat dari para ibu hamil dan ibu yang memiliki balita di Kelurahan Krobokan, Kecamatan Semarang Barat.
    Salah seorang ibu hamil, Hesti (42), mengungkapkan rasa syukur atas program percepatan pencegahan dan penurunan
    stunting
    yang dilakukan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang tersebut.
    “Saya sangat berterima kasih dengan adanya program ini sebab sangat membantu kehamilan saya yang sudah memasuki bulan ke tujuh,” katanya.
    Sejak adanya program Keluarga Cemara, Hesti mengaku lebih bersemangat datang ke Posyandu karena mendapatkan perhatian langsung dari tenaga kesehatan.
    “Saya merasa diperhatikan dan diingatkan melalui WA (WhatsApp) untuk tidak lupa datang, untuk tidak lupa cek kesehatan,” katanya usai mengikuti kegiatan Keluarga Cemara di Puskesmas Krobokan pada Jumat (19/9/2025).
    Lebih lanjut, ibu yang tengah mengandung buah hati ke empat ini menuturkan, selain mendapatkan informasi kesehatan, dirinya mengaku bahagia bisa mengikuti senam ibu hamil sebagai bekal mempersiapkan diri untuk proses persalinan.
    “Menyenangkan sekali sebab bisa bekumpul dengan ibu-ibu yang lain, serta membantu meningkatkan kesehatan saya selama kehamilan dan calon jabang bayi saya,” imbuhnya.
    Hal senada juga disampaikan Rita (35). Ibu satu anak berusia tiga tahun ini menyambut baik kegiatan Keluarga Cemara yang berkaitan dengan pemantauan tumbuh kembang balita maupun layanan gizi dan kesehatan yang berkelanjutan.
    “Sebagai ibu satu anak, saya merasa senang sekali ada kegiatan ini. Senoga anak-anak khususnya di RW 12 (Kelurahan Krobokan) bisa terbebas dari
    stunting
    ,” ucapnya.
    Sementara itu, Wali Kota Semarang, Agustina Wilujeng, dalam kesempatan tersebut menyatakan, program Keluarga Cemara hadir sebagai salah satu cara menyehatkan keluarga-keluarga di Kota Semarang.
    Caranya adalah dengan berfokus pada percepatan penurunan
    stunting
    , mengingat pencegahan
    stunting
    mesti dilakukan sejak dini agar melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas.
    “Keluarga Cemara ini hadir agar ibu-ibu sehat semua, bisa konsultasi langsung dengan tenaga kesehatan, jadi jika ada indikasi kurang ini atau terlalu gemuk (misalnya), bisa langsung tertangani,” ujar Agustina saat menyampaikan motivasi di tengah-tengah para ibu hamil dan ibu yang memiliki balita.
    Wali Kota menambahkan bahwa segala layanan dasar kesehatan dan gizi pada Keluarga Cemara di Posyandu, khususnya kepada ibu dan anak, tidak dipungut biaya.

    Kabeh
    gratis buat ibu dan anak. Untuk itu saya minta yang rajin ke Posyandu, yang rutin datang, ikuti program kegiatannya, biar ibu dan anak sehat semua,” tuturnya.
    Sebagai informasi, Keluarga Cemara atau Keluarga Khusus untuk Cegah Stunting dan Masalah Gizi Terintegrasi merupakan inovasi program untuk mempercepat pencegahan dan penurunan angka
    stunting
    di Kota Semarang.
    Program Keluarga Cemara juga sekaligus menjadi bagian dari komitmen Pemkot Semarang dalam menciptakan generasi unggul yang sehat dan bebas dari stunting.
    Sebagai program inisiatif, promotif, dan preventif, Keluarga Cemara berfokus pada peningkatan pengetahuan serta kesadaran masyarakat terhadap kesehatan gizi.
    Program ini menyasar tiga kelompok utama yang memiliki peran krusial dalam siklus kehidupan, yaitu remaja, ibu hamil, dan ibu yang memiliki balita.
    Diluncurkan pada Rabu (10/9/2025), program Keluarga Cemara memiliki berbagai kegiatan menarik dan interaktif, seperti kelas edukasi interaktif, pemeriksaan kesehatan, pemberian suplemen gizi, hingga kegiatan kreatif dan edukatif.
    Melalui pendekatan yang holistik dan menyenangkan, Keluarga Cemara diharapkan dapat meningkatkan partisipasi aktif masyarakat dan mengubah perilaku menjadi lebih sehat secara berkelanjutan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • CKG Ungkap Deretan Masalah Kesehatan di RI, Terbanyak Risiko Stroke dan Kurang Gerak

    CKG Ungkap Deretan Masalah Kesehatan di RI, Terbanyak Risiko Stroke dan Kurang Gerak

    Jakarta

    Program Cek Kesehatan Gratis (CKG) yang diluncurkan Kemenkes RI pada Februari 2025 saat ini telah menjangkau 32 juta orang. CKG telah memperlihatkan banyak temuan penting seputar kondisi kesehatan masyarakat. Dua masalah yang paling menonjol adalah risiko stroke dan kurangnya aktivitas fisik.

    Direktur Jenderal Kesehatan Primer dan Komunitas Kemenkes, Maria Endang Sumiwi mengatakan per 17 September 2025, setidaknya sudah 29,8 juta pendaftar CKG yang telah diperiksa. Angka ini akan terus bertambah setiap hernia.

    “Laju kita sekitar 600 ribu (pemeriksaan) per hari sekarang,” kata Maria Endang di Kantor Badan Komunikasi Pemerintahan, Jakarta Pusat, Kamis (18/9/2025).

    Temuan Penyakit Terbanyak Berdasarkan Usia

    Saat ini, CKG bisa dinikmati di 10.226 Puskesmas di Indonesia. Kemenkes menyebut masih ada sekitar 60 Puskesmas yang belum melaksanakan CKG karena berada di daerah terpencil dan sosialisasi ke masyarakat setempat belum sampai.

    Berikut adalah daftar penyakit yang paling banyak ditemukan melalui program CKG hingga 17 September 2025 berdasarkan kategori usia.

    1. Bayi Baru Lahir

    Berat lahir rendah (9.307 kasus)Kelainan saluran empedu (7.928 kasus)Penyakit jantung bawaan kritis (6.972 kasus)Hipotiroid kongenital (1.015 kasus)Defisiensi enzim G6PD (250 kasus)

    2. Balita dan Anak Prasekolah

    Gigi – Karies (264.360 kasus)Stunting (39.999 kasus)Gizi kurang (25.323 kasus)Perkembangan tidak normal (7.156 kasus)Anemia (1.482)

    3. Dewasa

    Tingkat aktivitas fisik kurang (10.800.770 kasus)Obesitas sentral (4.116.343 kasus)Gigi-Karies (3.289.903 kasus)Obesitas/overweight (3.024.952 kasus)Hipertensi (1.993.578 kasus)Pemeriksaan Lanjutan pada Dewasa Berisiko

    Orang dengan usia 40 tahun atau lebih dengan hipertensi atau diabetes melitus (DM).

    Risiko kanker usus (337.645 kasus)Risiko stroke – dislipidemia (286.346 kasus)Anemia pada catin perempuan (11.367 kasus)

    4. LansiaAktivitas fisik kurang (2.094.260 kasus)Hipertensi (953.134 kasus)Karies (813.266 kasus)Obesitas sentral (800.976 kasus)Gangguan kognitif (253.221 kasus)Pemeriksaan Lanjutan Lansia

    Orang usia 40 tahun atau lebih dengan hipertensi/DM, hepatitis B, hepatitis C, dislipidemia, dan obesitas sentral.

    Risiko stroke dislipidemia (159.924 kasus)Fungsi ginjal abnormal (13.257 kasus)Risiko fibrosis/sirosis (4.622 kasus)

    Daerah dengan Peserta CKG Terbanyak dan Tersedikit

    Endang menambahkan bahwa saat ini Provinsi Jawa masih menjadi wilayah dengan pendaftar paling banyak. Pendaftar juga didominasi oleh perempuan, dengan perbandingan 2:3.

    “51 persen dari 29,8 juta (pendaftar CKG) adalah penduduk Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Tentu kami bisa mengerti karena jumlah populasi yang sangat besar di provinsi-provinsi tersebut,” kata Endang.

    “Tapi tentu kami menginginkan supaya provinsi lain itu juga segera mengejar rate yang sama,” lanjutnya.

    Sementara itu, pendaftar CKG terendah ada di Provinsi Papua, Papua Barat, dan Papua Pegunungan.

    “Ini karena masih awal ya, kami baru mulai Februari jadi pendekatannya masih umum, mengajaknya masih umum, belum berupa pesan-pesan yang mungkin pakai bahasa daerah dan seterusnya,” kata Endang.

    “Jadi pendekatan khusus itu masih kami kembangkan. Kedua juga ada masalah link internet untuk memasukkan data,” sambungnya.

    Halaman 2 dari 4

    (dpy/up)

  • Sosialisasi Program MBG di Surabaya, Dorong Penurunan Stunting dan Perkuat Ekonomi Desa

    Sosialisasi Program MBG di Surabaya, Dorong Penurunan Stunting dan Perkuat Ekonomi Desa

    Surabaya (beritajatim.com) – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali disosialisasikan bersama mitra kerja Badan Gizi Nasional (BGN) di Jawa Timur. Sosialisasi ini bertujuan untuk mengatasi permasalahan gizi buruk di masyarakat dan menciptakan generasi yang lebih sehat dan produktif.

    Bertempat di Kebon Kota Tropical Garden Restaurant & Hall, Surabaya, kegiatan ini mengusung tema “Bersama Mewujudkan Generasi Sehat Indonesia”.

    Acara tersebut dihadiri oleh anggota Komisi IX DPR RI, Indah Kurniawati, perwakilan BGN Kol. Inf Erin Andriyanto, serta tokoh masyarakat setempat.

    Dalam kesempatan itu, Indah Kurniawati menekankan pentingnya program MBG dalam menurunkan angka stunting, yang saat ini masih berada di angka 21%. Ia berharap prevalensi stunting bisa turun menjadi 14% pada 2029, mengingat kualitas gizi anak-anak hari ini akan menentukan kesiapan Indonesia dalam menghadapi bonus demografi pada tahun 2045.

    “Program MBG ini bukan hanya tentang makanan, tetapi tentang masa depan bangsa. Dengan pemerataan gizi, kita ingin melahirkan generasi yang lebih cerdas, sehat, dan siap bersaing secara global,” ujar Indah Kurniawati, Kamis (18/9/2025).

    Lebih jauh, Indah juga menyoroti dampak ekonomi yang dihasilkan oleh program MBG. Bahan pangan yang digunakan dalam program ini sebagian besar berasal dari produksi petani, peternak, nelayan, hingga UMKM desa. Hal ini diharapkan dapat membuka pasar baru, menumbuhkan lapangan kerja, serta memperkuat ketahanan ekonomi keluarga di tingkat desa.

    Sementara itu, Kol. Inf Erin Andriyanto dari BGN menambahkan bahwa program MBG tidak hanya menyasar peserta didik, tetapi juga mencakup balita, ibu menyusui, dan ibu melahirkan. Ia juga mengingatkan masyarakat untuk berhati-hati terhadap oknum yang memanfaatkan program ini untuk meminta pungutan tertentu.

    “Pendaftaran mitra MBG sepenuhnya gratis sesuai arahan Presiden. Targetnya, program ini menjangkau 82,9 juta penerima manfaat di seluruh Indonesia,” jelas Erin.

    DPR RI dan BGN mengajak seluruh elemen masyarakat, mulai dari tokoh masyarakat, akademisi, hingga pelaku usaha, untuk bersama-sama mengawal program MBG agar dapat berjalan dengan baik, transparan, dan memberikan manfaat besar bagi kesehatan serta perekonomian bangsa.

    Badan Gizi Nasional (BGN), sebagai lembaga negara non-Kementerian yang berdedikasi pada pemenuhan gizi nasional, berkomitmen mendukung penuh program MBG untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat di seluruh Indonesia. [tok/suf]

  • Cek Kesehatan Gratis Sudah Menjangkau Hampir 30 Juta Penerima Manfaat

    Cek Kesehatan Gratis Sudah Menjangkau Hampir 30 Juta Penerima Manfaat

    Bisnis.com, JAKARTA – Hingga pertengahan September 2025, layanan Cek Kesehatan Gratis (CKG) sudah menjangkau hampir 30 juta orang. CKG merupakan program Hasil Terbaik Cepat (PHTC) Presiden Prabowo Subianto dalam upaya membangun sistem kesehatan yang adil, menyeluruh, dan fokus pada pencegahan.

    “Program Cek Kesehatan Gratis ini sudah menjangkau sebanyak 29,8 juta penerima manfaat,” ujar Dirjen Kesehatan Primer dan Komunitas Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Maria Endang Sumiwi, dalam konferensi pers di Kantor Badan Komunikasi Pemerintah, Jakarta, Rabu (18/9).

    Masyarakat yang sudah mendaftar CKG tercatat sebanyak 32,3 juta orang yang tersebar di 10.226 puskesmas di seluruh Tanah Air. Presiden Prabowo Subianto meluncurkan Program CKG pada 10 Februari 2025 sebagai bagian dari strategi nasional membangun sistem kesehatan yang adil. Selain pelaksanaan nyata dari PHTC, program ini juga bagian dari Asta Cita untuk mewujudkan rakyat Indonesia yang sehat, produktif, dan terlindungi sejak dini. Layanan ini diberikan gratis minimal satu kali dalam setahun.

    Tahun ini pemerintah menargetkan 60 juta penerima manfaat dan cakupan penuh secara bertahap untuk seluruh rakyat Indonesia. CKG melibatkan puskesmas, posyandu, sekolah, klinik BPJS, kantor, dan komunitas.

    Endang menjelaskan, dari 29,8 juta masyarakat yang sudah mendapatkan layanan kesehatan gratis, 5,9 juta di antaranya adalah peserta didik yang berasal dari 91.184 sekolah. Mulai dari jenjang SD hingga SMA, termasuk pesantren di 38 provinsi.

    Endang mengatakan, sebaran dari masyarakat peserta cek kesehatan gratis meliputi perempuan dengan total 17.176.524 orang dan laki-laki sebanyak 12.688.214 orang. Peserta terbanyak berasal dari Jawa Tengah, disusul Jawa Timur, dan Jawa Barat.

    “Tentu kita bisa mengerti karena jumlah populasi yang sangat besar di provinsi-provinsi tersebut. Tapi tentu kita juga menginginkan supaya provinsi-provinsi lain segera juga mengejar dengan rate yang sama,” ujarnya.

    Provinsi yang jumlah peserta CKG masih kecil, kata Endang, adalah Provinsi Papua, Papua Barat, dan Papua Pegunungan. Untuk mengejar target 60 juta penerima manfaat tahun ini, Endang mengatakan pemerintah akan terus mengoptimalkan tren pendaftar dan kehadiran periode 10 Februari hingga 17 September 2025, yakni 603.059 pendaftar dan 491.597 orang setiap hari, baik di puskesmas maupun di sekolah.

    Data penyakit yang terdeteksi

    Terkait hasil pemeriksaan kesehatannya, Endang memaparkan, untuk bayi baru lahir didapati lima masalah kesehatan tertinggi. Meliputi kelainan saluran empedu, berat lahir rendah, penyakit jantung bawaan kritis, hipotiroid kongenital, dan defisiensi enzim G6PD (kelainan yang menyebabkan tubuh kekurangan enzim pelindung sel darah merah).

    Sementara, pada anak balita adalah gigi karies, anemia, stunting, gizi kurang, dan perkembangan tidak normal. Dan untuk hasil pemeriksaan masyarakat dewasa, top lima masalah kesehatan tertinggi adalah kurangnya tingkat aktivitas fisik, karies gigi (gigi berlubang), obesitas sentral, kelebihan berat badan (overweight) & obesitas, serta hipertensi.

    “Jadi pesan kami, pertama tolong CKG ini dimanfaatkan. Sekolah-sekolah juga dikunjungi dan orang tua mengizinkan anak-anaknya untuk cek kesehatan gratis,” kata Endang. Pesan kedua, Endang meminta masyarakat mengubah gaya hidup dengan lebih banyak berolahraga dan mengurangi makanan minuman manis, asin, dan berlemak.

    “Ketiga, kalau sudah diketahui hasilnya dan harus diobati, obatnya harus diminum untuk mencegah penyakit yang lebih berat,” tutup Endang.

  • BKKBN Respons Kasus Viral Balita Muntah Cacing, Ada Larva di Paru-paru

    BKKBN Respons Kasus Viral Balita Muntah Cacing, Ada Larva di Paru-paru

    Jakarta

    Belum lama ini kembali viral balita yang terkena infeksi cacing, menyusul laporan kasus sebelumnya di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Kali ini menimpa anak 1 tahun 8 bulan di Kabupaten Seluma, Bengkulu.

    Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan bersama Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/BKKBN, ‘turun tangan’ memberikan bantuan nutrisi sejak awal September melalui program Genting (Gerakan Orang Tua Asuh Cegah Stunting).

    Dalam kunjungan lapangan Rabu (17/9/2024), anak tersebut dilaporkan berisiko stunting, dengan kondisi rumah tidak layak huni. Walhasil, rumah akan dibangun ulang dengan memperbaiki struktur rumah agar lebih sehat dan nyaman.

    Pemerintah juga disebut akan menyediakan jamban sesuai standar kesehatan untuk memastikan kebersihan lingkungan.

    “Kasus cacingan seperti ini harus segera diintervensi, karena berdampak langsung pada status gizi anak. Dengan nutrisi yang tepat, rumah yang sehat, serta fasilitas sanitasi memadai, diharapkan anak-anak Seluma dapat tumbuh optimal dan terhindar dari risiko stunting,” beber Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi Bengkulu, Zamhari, SH, MH, dalam keterangan tertulis, Kamis (18/9/2025).

    Program Genting sudah berjalan dan menyasar keluarga berisiko stunting di berbagai wilayah. Intervensi mencakup pemberian bantuan nutrisi, edukasi gizi, pendampingan keluarga, serta peningkatan kualitas lingkungan tempat tinggal.

    Pemerintah menegaskan komitmennya untuk terus hadir dalam upaya percepatan penurunan stunting di Bengkulu, khususnya di Kabupaten Seluma.

    (naf/kna)