Kasus: stunting

  • OTT Gubernur Riau, Marwah Melayu, dan Jalan Kebudayaan Melawan Korupsi

    OTT Gubernur Riau, Marwah Melayu, dan Jalan Kebudayaan Melawan Korupsi

    OTT Gubernur Riau, Marwah Melayu, dan Jalan Kebudayaan Melawan Korupsi
    Alumnus Sekolah Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta. Anggota Dewan Pembina Wahana Aksi Kritis Nusantara (WASKITA), Anggota Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI). Saat ini aktif melakukan kajian dan praktik pendidikan orang dewasa dengan perspektif ekonomi-politik yang berkaitan dengan aspek sustainable livelihood untuk isu-isu pertanian dan perikanan berkelanjutan, mitigasi stunting, dan perubahan iklim di berbagai daerah.
    LAGI
    dan lagi, pejabat daerah ditangkap karena korupsi. Kali ini, publik dikejutkan tertangkapnya Gubernur Riau Abdul Wahid dalam operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi.
    Mengikuti pendahulunya, Saleh Djasit, Rusli Zainal, dan Annas Maamun, Wahid menorehkan namanya dalam rapor merah Gubernur Riau sejak era otonomi daerah yang berhadapan dengan hukum akibat kasus rasuah.
    Sebagai orang yang pernah tinggal lama dan tumbuh berkembang di daerah itu, penulis merasa malu dengan rentetan praktik korupsi yang tak kunjung hilang.
    Provinsi yang dikenal kaya minyak itu kembali menjadi sorotan nasional. Bukan karena prestasi pembangunan, melainkan karena keberhasilannya mempertahankan reputasi sebagai daerah dengan kepala daerah terbanyak yang ditangkap KPK.
    Prestasi ini melampaui Sumatea Utara yang sebelumnya bersaing ketat dalam urusan “maling uang rakyat”.
    Khusus untuk daerah Riau, praktik ini bukan hanya domain tingkat provinsi. Di kabupaten dan kota, cerita serupa berulang: belasan atau bahkan lebih dari dua puluh bupati, wali kota, dan wakilnya di Riau terseret kasus korupsi sejak otonomi daerah diberlakukan.
    Korupsi di Indonesia bukan hal alamiah. Ia tumbuh sebagai bagian dari struktur kekuasaan yang panjang dan berlapis.
    Pada masa kolonial Belanda, praktik
    culturstelsel
    dan sistem pajak tanah melahirkan lapisan pejabat pribumi yang disebut pangreh praja (projo). Mereka diberi kewenangan untuk menarik pajak dan mengatur rakyat, tetapi minim pengawasan.
    Di banyak catatan kolonial, penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat lokal dianggap biasa, bahkan dilegalkan sepanjang setoran ke pusat tetap mengalir. Inilah akar awal dari relasi kekuasaan dan rente yang terus membekas hingga era negara modern.
    Pasca-kemerdekaan, Presiden Soekarno memang menolak praktik korupsi. Dalam pidatonya, Soekarno bahkan mengakui adanya “mental korupsi”.
    Namun, lemahnya institusi dan konflik politik menjadikan praktik tersebut terbiarkan, terlebih lagi para penyintas dapat juga membantu eksistensi kekuasannya.
    Korupsi mencapai tingkat paling sistematik ketika Soeharto berkuasa selama lebih dari tiga dekade.
    Orde Baru menciptakan apa yang disebut Richard Robison dan Vedi Hadiz (2004) sebagai
    state corporatism
    , yakni negara yang bekerja sama dengan perusahaan dan militer untuk menguasai sumber daya ekonomi. Korupsi dalam rezim ini bersifat tersentralisasi.
    Soeharto dan keluarganya mengendalikan konsesi hutan, migas, hingga monopoli perdagangan melalui kroni-kroni dekatnya dan kaum konglomerat.
    Birokrasi dan aparat daerah ikut menikmati remah kekuasaan itu melalui sistem setoran vertikal. Korupsi menjadi hierarkis: ada tarif untuk mengamankan jabatan camat, bupati, gubernur hingga menteri; semua berjalan dalam logika patron-klien.
    Samuel P. Huntington dalam
    Political Order in Changing Societies
    (1968) mengingatkan bahwa korupsi sering kali bukan sekadar degradasi moral, tetapi tanda bahwa lembaga politik tidak berkembang secepat mobilisasi sosial.
    Indonesia kala itu mengalami gejala itu: modernisasi ekonomi berjalan cepat, tetapi institusi pengawasan tetap lemah dan personalistik.
    Pada 1998, Orde Baru runtuh. Publik berharap reformasi akan memutus mata rantai kekuasaan dan korupsi.
    Salah satu jawaban politis terhadap krisis legitimasi adalah mengubah struktur negara dari sentralistik menjadi desentralistik.
    Maka lahirlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
    Semangatnya sederhana: kekuasaan dan anggaran harus turun ke daerah agar kesejahteraan lebih merata, dan rakyat lebih dekat dengan penguasa sehingga lebih mudah mengawasi.
    Namun, harapan itu berbelok arah. Kekuasaan memang diturunkan, tetapi tidak disertai pengawasan yang kuat.
    Bupati, wali kota, dan gubernur diberi kewenangan mengelola Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Bagi Hasil (DBH), dan perizinan investasi, tetapi mekanisme etik, hukum, dan politik lokal belum siap mengawasi. Desentralisasi membentuk apa yang disebut banyak ilmuwan sebagai “raja-raja kecil”.
    Namun, desentralisasi itu melahirkan ironi. Kekuasaan memang berpindah, tetapi pengawasan tidak ikut menguat.
    Banyak kepala daerah justru berubah menjadi raja kecil (
    little kings
    ). Fenomena ini dikaji tajam oleh Vedi R. Hadiz dalam bukunya
    Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia
    (2010).
    Hadiz menyimpulkan bahwa desentralisasi tidak membongkar oligarki Orde Baru; ia hanya “memindahkannya” dari Jakarta ke daerah-daerah.
    Oligarki lama menemukan wajah baru: gubernur, bupati, wali kota, DPRD, dan jaringan bisnis lokal. Korupsi tidak menghilang, hanya berganti alamat.
    Penelitian Edward Aspinall dan Mietzner (2010) menunjukkan bahwa biaya politik untuk mencalonkan diri sebagai bupati atau gubernur meningkat drastis pascapilkada langsung yang dimulai tahun 2005 (UU No. 32/2004).
    Untuk memenangkan pilkada, kandidat harus mengeluarkan puluhan hingga ratusan miliar rupiah. Setelah menang, mereka “memulihkan modal” lewat proyek APBD, pendapatan asli daerah, hingga jual beli jabatan.
    Robert Klitgaard (1988), memberi rumus klasik korupsi:
    corruption
    =
    monopoly
    +
    discretion

    accountability
    . Kepala daerah memiliki monopoli kewenangan atas anggaran dan perizinan, bebas menentukan keputusan (diskresi), dan minim pengawasan karena DPRD sering ikut bermain.
    Nordholt dan Gerry van Klinken (2007) menyebut ini sebagai “demokrasi kriminal”, di mana pemilu berjalan, tetapi tujuannya bukan untuk menyejahterakan rakyat, melainkan untuk mengakses rente.
    Otonomi daerah yang dulu diharapkan menjadi jalan keluar, justru melahirkan jalan buntu. Transparansi tidak tumbuh secepat kekuasaan. Demokrasi berjalan, tetapi substansinya kosong. Negara mengalami desentralisasi, tetapi korupsi juga ikut serta.
    Perang melawan korupsi tidak dapat semata-mata mengandalkan operasi tangkap tangan. Tindakan hukum memang penting, tetapi ia hanya menyentuh permukaan persoalan.
    Korupsi adalah penyakit struktural dan kultural sekaligus. Karena itu, melawannya membutuhkan dua kekuatan: reformasi sistem politik, dan penguatan nilai budaya. 
    Di tanah Melayu nilai itu dikenal dengan istilah marwah. Budayawan Melayu asal Riau, Tenas Effendy (1994) mendefinisikan marwah sebagai “harga diri dan kehormatan yang tak boleh dijual, meski dengan emas segunung.”
    Marwah bukan sekadar kebanggaan etnis, tetapi kesadaran moral, martabat, dan tanggung jawab sosial.
    Dalam adat Melayu, kekuasaan bukan dipandang sebagai kepemilikan, melainkan amanah. Karena itu, pepatah lama menegaskan: “Raja adil raja disembah, raja zalim raja disanggah.”
    Pepatah ini tidak muncul dari ruang kosong, tetapi tercatat dalam naskah hukum Undang-Undang Melaka (abad ke-15, disusun kembali 1520-an) dan diwariskan melalui tambo dan hikayat kerajaan Melayu.
    Sikap tersebut tercermin pula dalam literatur klasik seperti “Hikayat Hang Tuah” (ditulis sekitar abad ke-17, diterbitkan kembali oleh Kassim Ahmad, 1964).
    Dalam hikayat itu, Hang Tuah — laksamana Melaka, bukan hanya simbol keberanian, tetapi perwujudan manusia Melayu yang menjunjung marwah, taat pada keadilan, bukan pada kekuasaan yang lalim.
    Sumpahnya yang termasyhur, “Takkan Melayu hilang di bumi,” sering dipahami sekadar sebagai pernyataan kebangsaan. Padahal makna terdalamnya adalah: selama marwah dijaga, selama keadilan ditegakkan, orang Melayu tidak akan runtuh martabatnya.
    Ungkapan lain mempertegas etos resistensi itu: “Saat layar terkembang, tak surut biduk ke pantai; esa hilang dua terbilang”. Ini menandakan keteguhan moral: jika perjuangan telah dimulai demi kebenaran, mundur adalah bentuk pengkhianatan.
    Karena itu, budaya Melayu tidak pernah mengajarkan korupsi. Budaya ini mengajarkan wibawa dan rasa malu (malu kepada adat, malu kepada Tuhan, malu kepada anak cucu).
    Korupsi adalah antitesis dari marwah. Seorang pejabat yang mencuri uang rakyat tidak hanya melanggar hukum negara, tetapi sekaligus mempermalukan adat dan mencoreng kehormatan leluhur.
    Di masa lalu, menurut William R. Roff dalam “The Origins of Malay Nationalism” (1967), pemimpin dalam masyarakat Melayu dihormati bukan karena kekayaan atau jabatan, tetapi karena budi, amanah, dan takzim.
    Kekuasaan yang tidak adil dianggap mencederai marwah, dan karenanya boleh dikritik, bahkan dilawan.
    Maka pemberantasan korupsi di Riau dan tanah Melayu tidak bisa berhenti pada ranah hukum. Ia harus menjadi gerakan kebudayaan untuk memulihkan marwah.
    Surau, balai adat, sekolah, kampus, dan ruang publik perlu menjadi tempat tumbuhnya kembali etika ini. Generasi muda Melayu harus mewarisi bukan hanya syair dan pantun, tetapi keberanian moral untuk mengatakan tidak terhadap kekuasaan yang mengkhianati rakyat.
    Kasus Abdul Wahid hanyalah satu bab dalam cerita panjang relasi antara kekuasaan, uang, dan lemahnya tanggung jawab publik.
    Namun, ia juga adalah alarm, menandakan bahwa otonomi daerah tanpa marwah hanya melahirkan tirani baru. Jika sistem politik tidak diperbaiki dan nilai budaya tidak dihidupkan kembali, maka sejarah akan terus berulang.
    Namun, bila hukum ditegakkan, politik dibersihkan dari transaksi, dan budaya Melayu dikembalikan pada martabatnya, maka sumpah Hang Tuah akan menjadi nyata: Melayu tak akan hilang, juga tak akan tunduk pada korupsi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Wali Kota Surabaya Tolak Pengunduran Diri Admin Medsos, Apresiasi Keberanian Anak Muda

    Wali Kota Surabaya Tolak Pengunduran Diri Admin Medsos, Apresiasi Keberanian Anak Muda

    Surabaya (beritajatim.com) — Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, menegaskan tidak menerima surat pengunduran diri dari Hening, salah satu admin muda media sosial pribadinya.

    Ia menilai kesalahan Hening saat jeda siaran langsung di akun Instagram @ericahyadi_ bukanlah hal yang pantas membuat anak muda “mundur” dari tugas dan tanggung jawab.

    “Jadi tadi ketika saya disampaikan oleh Kadiskominfo, Sekda, terkait surat pengunduran diri (Hening) saya katakan tidak. Biarkan dia berusaha dulu untuk memperbaiki diri. Karena dia hanya merasa beban ketika yang terjadi itu, akhirnya dampaknya ke wali kota,” kata Eri Cahyadi di Balai Kota Surabaya, Senin (3/11/2025).

    Menurut Eri, Hening telah menunjukkan sikap dewasa dengan meminta maaf secara terbuka. Ia menilai sikap tersebut adalah wujud tanggung jawab yang jarang ditemukan di era media sosial saat ini. Karena itu, Pemkot mendukung pemulihan mental bagi Hening yang kini menghadapi tekanan komentar dari publik.

    “Dia insyaallah menenangkan diri. Tapi saya sudah sampaikan, (harus tetap) masuk. Mungkin menenangkan diri butuh beberapa hari, dia juga izin mau umroh katanya, menenangkan diri (dengan) ditinggal ibadah,” tambahnya.

    Kekeliruan Adalah Awal Keberanian Anak Muda

    Lebih jauh, Eri menilai kesalahan yang dilakukan anak muda tidak seharusnya dijadikan alat untuk menjatuhkan. Sebaliknya, anak muda harus didukung karena kesalahan adalah proses tumbuh dan belajar.

    “Saya tidak akan pernah membiarkan anak-anak muda yang punya potensi mati hanya karena politik. Dan saya tidak pernah membiarkan anak-anak muda yang punya potensi mati gara-gara kepentingan popularitas, persaingan untuk mencari popularitas, itu tidak akan pernah saya biarkan terjadi di Surabaya,” tegasnya.

    Eri Cerita Satu Periode “Puasa Medsos”

    Eri juga menuturkan, pada periode pertama kepemimpinannya (2021-2024), ia tidak pernah aktif mengelola konten media sosial. Namun memasuki periode berikutnya, ia menyadari pentingnya ranah digital sebagai media edukasi publik. Meski demikian, ia juga tidak menutup mata bahwa media sosial sangat rawan disalahartikan.

    “Selalu saya bilang, saya selalu mengajarkan bukan popularitas yang dicari, bukan terlihat kerja yang dicari. Coba lihat, ada yang nggak pernah kerja, tapi membuat di medsos kayak (seolah-olah) kerja. Padahal kamu cek di lokasi yang ada, ia nggak pernah ada,” ujarnya.

    Eri juga mengingatkan publik bahwa banyak program strategis Pemkot selama ini berjalan tanpa gembar-gembor digital, seperti ribuan beasiswa, rutilahu, penurunan kemiskinan, hingga penanganan stunting.

    “Tapi kenapa ketika ada beasiswa 24.000, lalu program rutilahu dilakukan, ya tidak ada yang menghantam? Tapi ketika ada kesalahan sedikit, langsung seperti itu, admin saya dihajar begitu,” tanya Eri.

    Eri Cahyadi Sampaikan Maaf

    Menutup penjelasannya, Eri menyampaikan permintaan maaf kepada masyarakat atas insiden ini. Ia berharap kasus ini menjadi pembelajaran bersama untuk melahirkan ekosistem yang lebih sehat bagi anak muda Surabaya.

    “Semoga ini juga menjadi pembelajaran buat diri saya dan seluruhnya, untuk kerendahan hati kita bersama, luasnya pengampunan. Gusti Allah ‘nge-i pangapuro’ (maha pengampun), masak kita ini tidak akan mengasih ampun (memaafkan),” tutupnya. (rma/ted)

  • Tambang Bisa Menunggu, Pendidikan Tidak: Gubernur Sulbar Suhardi Duka Melawan Arus
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        3 November 2025

    Tambang Bisa Menunggu, Pendidikan Tidak: Gubernur Sulbar Suhardi Duka Melawan Arus Regional 3 November 2025

    Tambang Bisa Menunggu, Pendidikan Tidak: Gubernur Sulbar Suhardi Duka Melawan Arus
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Di saat banyak daerah berlomba-lomba menaikkan pendapatan daerahnya lewat mendatangkan investasi, tidak dengan Gubernur Sulawesi Barat Suhardi Duka.
    Ia memilih mendahulukan kepentingan ekonomi dan pendidikan masyarakat yang ia pimpin dibandingkan mendapatkan banyak pemasukan lewat “menjual” kekayaan alam daerahnya.
    “Saya mungkin beda dengan gubernur yang lain ya. Saya lebih suka bergerak perlahan tapi pasti plek plek (cepat) tapi tidak bermanfaat,” katanya saat berkunjung ke kantor
    Kompas.com
    di Palmerah Selatan, Senin (3/11/2025).
    Suhardi menyebutkan ada banyak potensi tambang di wilayahnya. Ia menyebutkan antara lain, emas, batubara, dan tambang LTJ (logam tanah jarang) yang cukup langka ditemukan di wilayah Indonesia.
    Namun, ia mengatakan, tidak mau berorientasi ke situ hanya demi meningkatkan angka di APBD.
    “Saya lebih orientasi ke sektor perkebunan, pertanian, karena ini ekonomi real masyarakat,” tuturnya.
    Ia mengakui, akibat pilihannya itu, pertumbuhan ekonomi provinsi Sulawesi Barat berjalan lambat. Namun, katanya, apa artinya pertumbuhan melejit cepat jika akhirnya ada deflasi yang mengikuti?
    Suhardi ingin semua hasil kekayaan alamnya kembali dinikmati rakyat. Kalaupun ada yang ingin masuk, katanya, ia mensyaratkan ketentuan yang tidak merugikan daerahnya.
    “Apa bagian daerah saya? Gimana cara untuk memitigasi lingkungan? Kalau tidak ada, ya nggak boleh (menambang),” katanya.
    “Sementara baru batu bara, dia mau lewat di jalan yang saya bikin. Tidak bisa, silakan bikin jalan sendiri. Jalan itu saya aspal untuk rayat saya, terus dia terus yang mau pakai, ya rusak. Sekarang sudah stop dia, karena saya tidak kasih jalan,” tuturnya menggebu-gebu.
    Mengimbangi keputusannya di bidang ekonomi, Suhardi meningkatkan juga kapasitas masyarakat Sulawesi Barat lewat program literasi: wajib membaca 20 buku sebagai syarat kelulusan SMA.
    Tidak hanya siswa, para guru juga diwajibkan dan bahkan menjadi salah satu komponen jam belajar
    (learning hours)
    guru.
    Kebijakan ini ia ambil setelah melihat data tentang kemiskinan, stunting, dan pendidikan yang menunjukkan kalau indeks literasi masyarakat Sulbar masih rendah.
    “Linear dengan peningkatan SDM kita, maka saya ambil kebijakan itu. Sudah diterapkan menjadi pergub (peraturan gubernur),” katanya.
    Kini, programnya tersebut banyak diminati penerbit-penerbit buku. Banyak buku hibah yang dikirimkan ke perpustakaan di wilayah Sulbar.
    “Mereka merasa, ‘oh kebijakan ini penting didukung’,” katanya.
    Dari puluhan buku, ada 2 buku yang ia wajibkan untuk dibaca murid dan guru: buku tentang pahlawan wanita Sulawesi Barat Andi Depu dan pendekar hukum asal Sulbar Baharuddin Lopa.
    Baharuddin Lopa, katanya, belum ada integritas sosok lain yang menyamainya kecuali Polisi Hoegeng.
    “Kalau di kejaksaan Lopa, kalau di polisi Hoegeng. Belum ada yang menyamakan integritasnya sampai saat ini,” katanya.
    “Artinya orang Sulbar jangan minder. Ada pejuang nasionalnya, ada pendekar hukumnya,” katanya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • DPRD Surabaya: Insiden Admin Medsos Tak Patut Dikaitkan dengan Kinerja Wali Kota

    DPRD Surabaya: Insiden Admin Medsos Tak Patut Dikaitkan dengan Kinerja Wali Kota

    Surabaya (beritajatim.com) – Ketua Komisi C DPRD Kota Surabaya, Eri Irawan, menanggapi insiden candaan admin media sosial Wali Kota Surabaya yang sempat viral. Dia menilai kesalahan tersebut adalah kelalaian individu dan tidak ada hubungannya dengan karakter maupun kinerja Wali Kota Eri Cahyadi di lapangan.

    “Rasanya kok tidak adil jika ada kesalahan individu admin medsos yang di luar koordinasi dengan wali kota kemudian kita menyebut wali kota hanya pencitraan,” ujar Eri Irawan, Minggu (2/11/2025).

    Menurut dia, perdebatan publik muncul karena potongan video itu menimbulkan kesan seolah kegiatan lapangan hanya untuk konten. Padahal, saat percakapan itu terjadi, Wali Kota Eri tengah berada di lapangan menjalankan tugas.

    “Kepentingan politik mungkin menghasilkan debat dan framing tentang insiden itu, tapi hasil kerja yang dirasakan rakyat tak bisa menampik fakta bahwa kinerja Pemkot Surabaya sudah di jalur yang tepat, mulai dari penurunan kemiskinan, stunting, dan sebagainya,” kata dia.

    Eri juga menyebut sosok Eri Cahyadi selama ini lebih fokus pada pekerjaan teknis daripada tampil di kamera. Menurutnya, mandat politik dua periode menunjukkan kepercayaan kuat dari warga Surabaya.

    “Lagipula sebenarnya banyak orang tahu, Pak Eri Cahyadi ini malah cenderung kerjanya teknokratis tanpa banyak sorotan kamera. Buat apa pencitraan, wong sudah dua periode jadi wali kota dengan kepercayaan rakyat yang tinggi,” ujarnya.

    Terkait admin medsos yang sudah meminta maaf dan mundur, Eri menilai sikap tersebut patut diapresiasi. Dia berharap publik memberi ruang pembelajaran.

    “Terlepas dari itu semua, sikap anak muda admin medsos itu yang mau meminta maaf dan mengakui kesalahan adalah hal yang baik. Tinggal bagaimana kita dewasa menyikapinya dengan memberi maaf ke yang bersangkutan,” ucapnya.

    Eri kemudian menyinggung capaian nyata Pemkot Surabaya dalam beberapa tahun terakhir. Salah satunya program perbaikan rumah warga miskin melalui Dandan Omah.

    “Sejak diluncurkan pada 2021, program ini telah memperbaiki 9.500 rumah. Tahun 2025 memperbaiki 2.069 rumah dan 2026 dinaikkan menjadi 2.300 rumah,” jelasnya.

    Selain itu, Eri menilai penataan infrastruktur kota juga berjalan bertahap dan terarah. Upaya pengendalian banjir disebut semakin menunjukkan hasil.

    “Titik-titik genangan sudah berkurang signifikan dari sekitar 400 titik pada 2021 kini menjadi sekitar 190 titik,” tutupnya.[asg/but]

  • DPRD Surabaya: Insiden Admin Medsos Tak Patut Dikaitkan dengan Kinerja Wali Kota

    DPRD Surabaya: Insiden Admin Medsos Tak Patut Dikaitkan dengan Kinerja Wali Kota

    Surabaya (beritajatim.com) – Ketua Komisi C DPRD Kota Surabaya, Eri Irawan, menanggapi insiden candaan admin media sosial Wali Kota Surabaya yang sempat viral. Dia menilai kesalahan tersebut adalah kelalaian individu dan tidak ada hubungannya dengan karakter maupun kinerja Wali Kota Eri Cahyadi di lapangan.

    “Rasanya kok tidak adil jika ada kesalahan individu admin medsos yang di luar koordinasi dengan wali kota kemudian kita menyebut wali kota hanya pencitraan,” ujar Eri Irawan, Minggu (2/11/2025).

    Menurut dia, perdebatan publik muncul karena potongan video itu menimbulkan kesan seolah kegiatan lapangan hanya untuk konten. Padahal, saat percakapan itu terjadi, Wali Kota Eri tengah berada di lapangan menjalankan tugas.

    “Kepentingan politik mungkin menghasilkan debat dan framing tentang insiden itu, tapi hasil kerja yang dirasakan rakyat tak bisa menampik fakta bahwa kinerja Pemkot Surabaya sudah di jalur yang tepat, mulai dari penurunan kemiskinan, stunting, dan sebagainya,” kata dia.

    Eri juga menyebut sosok Eri Cahyadi selama ini lebih fokus pada pekerjaan teknis daripada tampil di kamera. Menurutnya, mandat politik dua periode menunjukkan kepercayaan kuat dari warga Surabaya.

    “Lagipula sebenarnya banyak orang tahu, Pak Eri Cahyadi ini malah cenderung kerjanya teknokratis tanpa banyak sorotan kamera. Buat apa pencitraan, wong sudah dua periode jadi wali kota dengan kepercayaan rakyat yang tinggi,” ujarnya.

    Terkait admin medsos yang sudah meminta maaf dan mundur, Eri menilai sikap tersebut patut diapresiasi. Dia berharap publik memberi ruang pembelajaran.

    “Terlepas dari itu semua, sikap anak muda admin medsos itu yang mau meminta maaf dan mengakui kesalahan adalah hal yang baik. Tinggal bagaimana kita dewasa menyikapinya dengan memberi maaf ke yang bersangkutan,” ucapnya.

    Eri kemudian menyinggung capaian nyata Pemkot Surabaya dalam beberapa tahun terakhir. Salah satunya program perbaikan rumah warga miskin melalui Dandan Omah.

    “Sejak diluncurkan pada 2021, program ini telah memperbaiki 9.500 rumah. Tahun 2025 memperbaiki 2.069 rumah dan 2026 dinaikkan menjadi 2.300 rumah,” jelasnya.

    Selain itu, Eri menilai penataan infrastruktur kota juga berjalan bertahap dan terarah. Upaya pengendalian banjir disebut semakin menunjukkan hasil.

    “Titik-titik genangan sudah berkurang signifikan dari sekitar 400 titik pada 2021 kini menjadi sekitar 190 titik,” tutupnya.[asg/but]

  • MBG di Papua Untuk Percepatan Perbaikan Gizi Anak

    MBG di Papua Untuk Percepatan Perbaikan Gizi Anak

    JAYAPURA – Program Makan Bergizi (MBG) di berbagai daerah di Papua menjadi langkah nyata pemerintah dalam mempercepat perbaikan gizi anak yang diwujudkan melalui kolaborasi lintas sektor antara pemerintah daerah, lembaga pendidikan, dan masyarakat. Semua itu merupakan upaya mewujudkan generasi emas Indonesia dari Papua pada 2045.

    Pemerintah menempatkan Papua sebagai salah satu daerah prioritas karena tantangan gizi yang dihadapi relatif berat dibandingkan wilayah lain.

    Berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, prevalensi stunting di Papua di angka 28,6 persen, lebih tinggi dibanding rata-rata nasional sebesar 21,5 persen.

    Angka tersebut menunjukkan bahwa sekitar tiga dari 10 anak di Papua mengalami gangguan pertumbuhan akibat kekurangan gizi kronis. Karena itu, langkah perbaikan gizi di daerah ini harus dilakukan secara menyeluruh dan berkelanjutan.

    Oleh sebab itu pemerintah memandang isu gizi tidak sekadar soal pangan, tetapi menyangkut masa depan generasi yang kelak menjadi penopang pembangunan bangsa.

    “Persoalan gizi di Papua bersifat kompleks dan masalah tersebut bukan hanya akibat kurang makan, tapi juga karena pola asuh, penyakit, dan kondisi lingkungan. Karena itu pendekatannya harus terpadu dan lintas sektor,” kata Wakil Gubernur Papua Aryoko Rumaropen.

    Untuk itu penguatan-penguatan kapasitas perlu dilakukan agar standar keamanan pangan, penyusunan menu seimbang, dan pemantauan tumbuh kembang anak menjadi satu hal yang dapat diperhatikan bersama.

    Selain di sekolah, pendekatan berbasis komunitas juga dijalankan melalui dapur Pemberian Makanan Tambahan (PMT) Dapur dari pemerintah daerah yang dikelola oleh kader masyarakat dan difokuskan untuk melayani ibu hamil serta balita.

    Program itu menekankan bahan makanan diambil dari hasil kebun dan laut setempat agar, sehingga menumbuhkan sikap mandiri dan berkelanjutan.

    Menu-menu MBG dan PMT Dapur yang biasa disajikan berupa ikan kuah kuning, yang biasanya disajikan menggunakan nasi ataupun umbi-umbian, seperti singkong, serta dengan tambahan lauk tahu atau tempe.

    Kemudian untuk sayur yang disajikan berupa sayur lilim atau kangkung, bunga pepaya, sedangkan untuk anak-anak di sekolah disajikan sayur tumis kangkung.

    Selain itu menu yang sering disajikan juga ada ikan asar yang diolah menjadi ikan suir. Ikan tersebut diolah menjadi ikan suir manis, atau manis pedas serta ikan suir pedas. Biasanya disajikan dengan sayur kelor capur jagung muda.

    Menu lainnya yang disediakan oleh SPPG adalah ikan mujair goreng yang dipadu dengan singkong (kasbi) atau petatas (ubi jalar) serta sayur labu siam.

    Hasil

    Program itu, kini sudah mulai menampakkan hasil, seperti di Kota Jayapura, sesuai data dinas kesehatan yang mencatat penurunan angka stunting dari 21,3 persen pada 2023 menjadi 15,15 persen pada September 2025.

    Meski masih terdapat wilayah dengan prevalensi tinggi, seperti Jayapura Utara dan Hamadi, tren positif tersebut menjadi bukti bahwa intervensi gizi berbasis sekolah dan komunitas mulai efektif.

    Dengan potensi alam yang besar dan masyarakat yang kaya nilai budaya, Papua memiliki modal kuat untuk melahirkan generasi unggul, terutama ketika pemerintah menghadirkan MBG sebagai investasi sosial yang penting untuk mencetak generasi muda yang sehat, cerdas, dan tangguh menghadapi perubahan global.

    Meskipun demikian, sejumlah tantangan masih perlu dihadapi, mulai dari akses geografis ke daerah pedalaman yang masih perlu dicarikan jalan keluar dalam upaya distribusi bahan pangan segar. Selain itu, kekurangan tenaga gizi profesional di puskesmas untuk pemantauan tumbuh kembang anak.

    Semua tantangan itu tidak boleh kita pandang sebagai hambatan, melainkan menjadi penyemangat bagi semua pemangku kepentingan untuk kreatif dan inovatif, sehingga semua persoalan pasti ada jalan keluarnya.

    Kolaborasi

    Permasalahan gizi di Papua bersifat kompleks, karena hal ini bukan hanya masalah kemiskinan atau kekurangan makanan, tetapi juga berkaitan dengan pola asuh dan kondisi kesehatan lingkungan.

    Kepala Dinas Kesehatan Kota Jayapura Juliana Napitupulu menegaskan bahwa program ini memerlukan pendekatan lintas sektor sebagai kunci utama, termasuk menghadirkan MBG ini, sesuai dengan karakter lokal dan ketersediaan bahan pangan setempat agar lebih berkelanjutan.

    Pemerintah daerah, dalam menyukseskan program pemenuhan gizi anak-anak ini, berupaya menyajikan menu-menu, baik di MBG maupun di PMT Dapur, dengan memanfaatkan bahan pangan lokal, seperti ikan laut, sayur kelor, kacang hijau, dan umbi-umbian yang mudah dijangkau masyarakat setempat.

    Lembaga Persatuan Bangsa-bangsa di bidang perlindungan anak menilai program MBG di daerah paling timur Indonesia yang telah berjalan dengan kolaborasi berbagai pihak ini berpeluang menjadi contoh nasional implementasi program gizi sekolah.

    Banyak studi yang membuktikan bahwa pemberian makan bergizi di sekolah dapat meningkatkan kehadiran siswa dan prestasi akademik meningkat. Papua bisa menjadi percontohan bila sinergi semua pihak ini terus dijaga dengan baik dan berkelanjutan.

    Oleh karena itu pemerintah daerah menargetkan seluruh sekolah dasar dan menengah di Papua telah menerapkan standar pelayanan gizi dan keamanan pangan siap saji dalam lima tahun mendatang.

    Bersamaan dengan itu, Badan Gizi Nasional (BGN) telah menyiapkan sistem pemantauan terpadu berbasis digital yang dapat memantau capaian program MBG hingga tingkat kampung.

    Program pemerintah ini juga memberi dampak meningkatnya kepedulian, sekaligus semangat bahwa tanggung jawab membangun masa depan Papua tidak hanya berada di tangan pemerintah, tetapi juga di sekolah, keluarga, dan komunitas.

    Setiap piring makanan bergizi yang tersaji di meja makan sekolah maupun pada ibu hamil adalah simbol harapan bahwa perubahan besar bisa dimulai dari langkah kecil, dari sepiring nasi sehat, dari senyum anak yang tumbuh penuh semangat.

    Untuk jangka panjang, MBG menjadi sarana strategis menanamkan kebiasaan makan sehat bagi anak-anak Papua. MBG tidak sekadar memberi makanan, tetapi membangun budaya sehat dan saling peduli.

  • Fraksi Golkar Kritik RAPBD Sidoarjo 2026: Anggaran Pendidikan Turun Drastis, Banjir Masih Mengancam

    Fraksi Golkar Kritik RAPBD Sidoarjo 2026: Anggaran Pendidikan Turun Drastis, Banjir Masih Mengancam

    Sidoarjo (beritajatim.com) – Ketimpangan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) Tahun Anggaran 2026, menjadi sorotan pandangan umum (PU) Fraksi Partai Golongan Karya (Golkar) DPRD Kabupaten Sidoarjo, di rapat paripurna, Sabtu (1/11/2025).

    Fraksi Golkar menilai arah kebijakan fiskal yang disusun pemerintah daerah belum sepenuhnya mencerminkan semangat efisiensi dan keberpihakan pada masyarakat.

    Dalam PU Fraksi Golkar yang dibacakan oleh Wahyu Lumaksono, menyampaikan bahwa total belanja daerah dalam RAPBD 2026 mengalami penurunan signifikan, dari sebesar Rp 5,94 triliun pada 2025 menjadi Rp 5,13 triliun atau turun 13,7 persen. Kontraksi tersebut, menurut Fraksi Golkar, harus diimbangi dengan pengelolaan anggaran yang cermat dan prioritas pada kebutuhan dasar publik.

    “Kami mencatat ketimpangan struktural dalam komposisi belanja. Misalnya, anggaran untuk rapat koordinasi mencapai Rp 11 miliar, sementara untuk BLUD Air Limbah Domestik yang menyangkut layanan dasar masyarakat hanya Rp 1,1 miliar,” katanya.

    Pendidikan Merosot 37 Persen, Langgar Amanat Konstitusi
    Dalam bidang pendidikan, Fraksi Golkar menyoroti penurunan anggaran yang sangat signifikan dari Rp 1,53 triliun pada 2025 menjadi Rp 954 miliar pada 2026 atau turun 37,7 persen. Akibatnya, porsi belanja pendidikan hanya mencapai 18,6 persen dari total APBD, di bawah amanat Pasal 31 UUD 1945 yang menetapkan minimal 20 persen.

    “Penurunan ini merupakan kemunduran dalam pembangunan sumber daya manusia. Kami mendesak agar alokasi dikembalikan sesuai ketentuan konstitusional,” tandas Sekretaris DPD Partai Golkar Sidoarjo ini.

    Penanganan Banjir, Kesehatan, dan Lingkungan Jadi Sorotan
    Untuk bidang infrastruktur, Golkar menilai penanganan banjir belum menyentuh akar persoalan. Data BPBD 2024 menunjukkan 9.121 keluarga di enam kecamatan terdampak banjir, namun program pembangunan drainase sepanjang 20 kilometer senilai Rp 58 miliar dinilai belum cukup.

    Fraksi Golkar meminta Pemkab Sidoarjo menyusun Grand Design penanganan banjir terpadu, berkoordinasi dengan BP DAS Brantas, dan menerapkan skema Insentif Kinerja Ekologi (IKE) seperti diatur dalam Permendagri Nomor 14 Tahun 2025.

    Bidang kesehatan, penurunan alokasi juga terjadi di beberapa sektor kunci:
    Dinas Kesehatan turun 6,8 persen menjadi Rp 574,5 miliar. RSUD Sidoarjo Barat turun 17,2 persen menjadi Rp 95,6 miliar. Puskesmas turun 11,5 persen menjadi Rp 118,3 miliar. “Pemangkasan ini berpotensi menurunkan kualitas layanan dasar dan percepatan penanganan stunting,” tegas dia.

    Pendapatan Daerah Dinilai Kurang Realistis
    Fraksi Golkar juga menilai bahwa target Pendapatan Asli Daerah (PAD) 2026 pada sejumlah pos pajak justru lebih rendah dari realisasi tahun-tahun sebelumnya. Beberapa data menunjukkan anomali perencanaan, antara lain:

    Pajak Jasa Perhotelan realisasi 2024 sebesar Rp 24,06 miliar, tetapi target 2026 hanya Rp 20 miliar. Pajak Jasa Parkir realisasi 2024 sebesar Rp 12,84 miliar, target 2026 turun menjadi Rp 9,5 miliar.
    Pajak Air Tanah realisasi 2024 mencapai Rp 7,42 miliar, namun target 2026 hanya Rp 6,78 miliar. Sementara itu, total PAD yang diusulkan dalam RAPBD 2026 tercatat Rp 1,318 triliun, lebih rendah dibandingkan realisasi PAD 2024 yang mencapai Rp 1,407 triliun.

    Target yang tidak konsisten ini menunjukkan lemahnya perencanaan pendapatan. Kami mendesak agar pemerintah daerah merevisi target PAD dengan basis kinerja dan proyeksi pertumbuhan ekonomi yang riil.

    “Di sektor retribusi, Fraksi Golkar mencatat hal serupa. Target retribusi pasar tahun 2026 ditetapkan Rp 16,93 miliar, padahal realisasi 2024 mencapai Rp 18,47 miliar. Sebaliknya, hanya retribusi jasa tertentu yang menunjukkan kenaikan signifikan, dari realisasi 2024 sebesar Rp 26,14 miliar menjadi target Rp 28,67 miliar pada 2026,” urai Wahyu Lumaksono.

    Komitmen untuk APBD yang Berkeadilan
    Wahyu Lumaksono menegaskan, jika Fraksi Golkar akan mengawal pembahasan RAPBD 2026 agar setiap rupiah yang dialokasikan benar-benar berpihak kepada rakyat.

    “Efisiensi bukan berarti memangkas pelayanan publik, tetapi mengalihkan sumber daya dari yang tidak produktif ke sektor strategis. Golkar berharap RAPBD 2026 menjadi instrumen keuangan daerah yang adil, produktif, dan berorientasi pada kesejahteraan masyarakat Sidoarjo,” tegasnya.

    Di kesempatan sama, snggota Fraksi Golkar lainnya, Muhammad Dian Felani menilai di Bidang lingkungan hidup juga mengalami kontraksi. Anggaran Dinas Lingkungan Hidup berkurang 33,7 persen, dari Rp 127,3 miliar menjadi Rp 84,3 miliar. Padahal, data DLHK Jawa Timur menunjukkan Indeks Kualitas Udara (AQI) di Kecamatan Krian telah mencapai 167, atau kategori tidak sehat.

    “Fraksi meminta agar pemerintah segera memperkuat sistem pemantauan udara real-time, menyesuaikan target Indeks Kualitas Udara Daerah (IKUD) dengan standar nasional, serta mengadopsi skema insentif lingkungan bagi desa/kelurahan yang berkomitmen pada pengelolaan lingkungan hidup,” pinta mantan Ketya BPC HIPMI Kab. Sidoarjo ini. (isa/kun)

  • Dapat Anggaran Rp3 M untuk Mobil Dinas, Wawali Blitar Pilih Sumbangkan Jadi Armada Bumil

    Dapat Anggaran Rp3 M untuk Mobil Dinas, Wawali Blitar Pilih Sumbangkan Jadi Armada Bumil

    Blitar (beritajatim.com) – Sebuah gebrakan humanis dilakukan oleh Wakil Wali Kota (Wawali) Blitar, Elim Tyu Samba. Alih-alih menikmati fasilitas mobil dinas mewah terbaru, Elim justru memilih untuk menyumbangkan mobil dinas Toyota Pajero Sport barunya menjadi armada siaga 24 jam khusus bagi ibu hamil (bumil) dan melahirkan.

    Mobil anyar bernomor polisi AG 2 KP yang sejatinya diperuntukkan bagi mobilisasi Wawali Blitar tersebut, kini disulap menjadi mobil siaga bumil. Inisiatif ini sontak mendapat pujian karena dianggap mencerminkan semangat pengabdian dan efisiensi anggaran.

    Wawali Elim Tyu Samba, yang akrab disapa “Mbak Waw”, menjelaskan alasan di balik keputusan uniknya ini. “Layanan mobil AG 2 siaga bumil ini merupakan inisiasi saya pribadi. Saya sebagai perempuan juga harus memberikan pelayanan terbaik untuk kaum perempuan, khususnya bumil,” ungkap Elim pada Sabtu (1/10/2025).

    Mobil dinas Pajero Sport tersebut merupakan hasil pengadaan Pemerintah Kota (Pemkot) Blitar tahun ini. Namun, Wawali Elim Tyu Samba tak ingin fasilitas baru ini justru menimbulkan kesan yang kurang baik di mata publik.

    Sehingga Elim memilih untuk tidak menggunakan mobil dinas baru tersebut dan menyumbangkannya untuk program ibu hamil dan persalinan. Kini mobil AG 2 KP tersebut bisa dimanfaatkan oleh ibu hamil dan melahirkan.

    “Ini mobil juga dibeli dari hasil uang rakyat. Jadi, saya ingin mobil dinas ini juga bermanfaat untuk masyarakat. Apalagi, di tengah efisiensi anggaran seperti ini, saya tidak ingin ada kesan kurang baik dengan menikmati mobil baru tersebut,” tegasnya.

    Layanan ini diberi nama program “Mbak Waw Peduli Bumil”. Tujuannya sangat jelas, yakni mempermudah akses bumil dalam pemeriksaan kandungan ke fasilitas kesehatan (faskes), serta mempercepat proses persalinan agar lebih aman. Secara luas, inisiatif ini juga ditujukan untuk mengurangi kasus stunting serta menekan angka kematian ibu dan anak di Kota Blitar.

    Masyarakat yang berada di dalam Kota Blitar kini dapat memanfaatkan mobil AG 2 siaga bumil ini dalam kondisi darurat. Cara Akses Layanan:

    Hubungi call center 0856-0665-0786.
    Petugas siaga selama 24 jam penuh.
    Layanan berlaku khusus dalam Kota Blitar.

    “Semoga layanan ini bisa dirasakan manfaatnya dengan baik demi mengurangi angka kematian bumil dan bayi,” pungkas Elim Tyu Samba.

    Sebelumnya Pemkot Blitar memang menganggarkan mobil dinas baru untuk Wali Kota Blitar dan Wakil Wali Kota Blitar. Dampak adanya penganggaran mobil dinas tersebut, alokasi anggaran di Bagian Umum Setda Kota Blitar naik Rp3 miliar lebih. [owi/beq]

  • Dikumpulkan Megawati di Blitar, Ini ‘Titah’ untuk Wali Kota Surabaya, Bupati Kediri, dan Ngawi

    Dikumpulkan Megawati di Blitar, Ini ‘Titah’ untuk Wali Kota Surabaya, Bupati Kediri, dan Ngawi

    Blitar (beritajatim.com) – Pertemuan penting digelar di Pendopo Ronggo Hadi Negoro (RHN) Blitar, tempat bersejarah yang telah berusia lebih dari 150 tahun, Jumat (31/10/2025).

    Presiden ke-5 Republik Indonesia sekaligus Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Megawati Soekarnoputri, mengumpulkan seluruh kepala daerah dari PDIP se-Jawa Timur untuk rapat tertutup yang berlangsung sekitar empat jam.

    Suasana yang sangat eksklusif ini tentu saja memunculkan spekulasi tentang agenda yang dibahas. Selama pertemuan tersebut, Megawati juga mengundang seluruh ketua DPC dan DPD Jawa Timur untuk jamuan makan bersama. Meski demikian, topik utama yang dibahas baru terungkap setelah pertemuan usai melalui bocoran dari beberapa kepala daerah yang hadir.

    Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, menjelaskan bahwa fokus utama Megawati adalah pada isu sosial yang langsung menyentuh kehidupan masyarakat. “Ibu (Megawati) hanya meminta kepada kami agar kemiskinan turun, bagaimana stunting turun, bagaimana angka kematian ibu dan anak turun. Ini harus kerja ikhlas kita berikan yang terbaik,” ujar Eri.

    Pesan tersebut, menurutnya, menjadi panggilan untuk para kader PDIP agar bekerja untuk kepentingan rakyat, terutama mereka yang sudah berjuang untuk kemerdekaan Indonesia.

    Selain itu, Bupati Ngawi, Ony Anwar Harsono, mengungkapkan bahwa Megawati juga menekankan pentingnya ketahanan pangan. “Tadi Ibu ada arahan khusus terkait ketahanan pangan. Alhamdulillah di Kabupaten Ngawi sudah melakukan kegiatan pertanian berkelanjutan, itu harus dikuatkan kembali. Bukan hanya kuat saja, tapi harus berdaulat,” ungkap Ony.

    Tak ketinggalan, Bupati Kediri, Hanindhito Himawan Pramana, atau yang akrab disapa Mas Dhito, juga membocorkan pesan Megawati yang sarat makna historis. Menurut Mas Dhito, Megawati mengingatkan para kepala daerah akan pentingnya menjaga hubungan dengan masyarakat yang telah memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

    “Prinsipnya kami para kepala daerah itu punya hutang budi kepada 10,6 juta orang yang dulu memperjuangkan republik ini,” ungkap Mas Dhito.

    Dalam pertemuan ini, Megawati tidak hanya memberikan arahan strategis, tetapi juga menekankan tanggung jawab besar yang ada di pundak para kepala daerah. Hal ini menjadi pengingat bagi para pemimpin daerah untuk terus mengabdi kepada rakyat dan menjalankan amanah dengan penuh dedikasi. [owi/suf]

  • Hadi Setiawan Terpilih Aklamasi sebagai Ketua Golkar Kabupaten Kediri, Siap Perkuat Soliditas dan Sinergi Politik

    Hadi Setiawan Terpilih Aklamasi sebagai Ketua Golkar Kabupaten Kediri, Siap Perkuat Soliditas dan Sinergi Politik

    Kediri (beritajatim.com) – M. Hadi Setiawan resmi terpilih sebagai Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Golkar Kabupaten Kediri melalui Musyawarah Daerah (Musda) XI yang digelar di Kota Kediri pada Kamis malam (30/10/2025).

    Pemilihan berlangsung secara aklamasi setelah Hadi menjadi satu-satunya calon yang mendapat dukungan penuh dari seluruh pimpinan kecamatan (PK) se-Kabupaten Kediri.

    Ketua DPD Partai Golkar Provinsi Jawa Timur, Ali Mufthi, yang hadir membuka Musda XI menyampaikan optimisme bahwa kepemimpinan baru di Kabupaten Kediri akan membawa semangat baru untuk memperkuat peran Golkar dalam pembangunan daerah.

    “Golkar harus membuat posisi yang tepat agar bisa landing dengan baik. Hal ini senada dengan semangat Suara Golkar, Suara Rakyat, bahwa kita berpartai untuk mengabdikan hidup kepada masyarakat, bangsa, dan negara,” tegas Ali.

    Ali juga menekankan pentingnya kader Golkar berperan aktif dalam mendukung program strategis pemerintah, seperti ketahanan pangan, penurunan angka stunting, dan peningkatan mutu pendidikan, demi mewujudkan Indonesia Emas 2045.

    “Tidak boleh ada rakyat Indonesia yang tidak pintar. Itu janji para pendiri bangsa. Mari terus evaluasi diri dan jaga kejayaan Partai Golkar,” tambahnya.

    Sementara itu, Ketua DPD Partai Golkar Kabupaten Kediri terpilih, M. Hadi Setiawan, menyampaikan rasa terima kasih atas kepercayaan yang diberikan kepadanya. Ia berkomitmen memperkuat soliditas internal partai dengan menjembatani kolaborasi antara kader senior dan generasi muda.

    M. Hadi Setiawan resmi terpilih sebagai Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Golkar Kabupaten Kediri

    “Harapannya dengan amanah ini, ke depan Golkar semakin solid, terutama dalam menjaga kekompakan antara senior dan yunior. Semua harus bersatu demi memperkuat partai dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” ujarnya.

    Hadi juga menegaskan pentingnya sinergi antara Partai Golkar dan pemerintah daerah sebagai bagian dari upaya memperjuangkan aspirasi rakyat. Menurutnya, hubungan baik dengan berbagai pihak selama ini menjadi modal penting bagi partai dalam menjaga stabilitas politik dan memperkuat basis dukungan.

    “Musda malam ini menjadi bukti bahwa komunikasi politik kami berjalan baik. Kehadiran Bupati Kediri Mas Dhito, Wakil Bupati Mbak Dewi, serta Wali Kota Kediri Mbak Vinanda menjadi simbol kuatnya silaturahmi antara Golkar dan pemerintah daerah,” ungkap Hadi.

    Dalam kesempatan yang sama, Bupati Kediri Hanindhito Himawan Pramana atau Mas Dhito memberikan apresiasi kepada Partai Golkar yang dinilai konsisten mendukung pembangunan daerah dengan sikap politik yang matang dan konstruktif.

    “Bagi saya, Partai Golkar ini luar biasa. Dukungan dan sinergi yang dibangun selama ini menunjukkan kedewasaan politik yang patut dicontoh. Maka, kalau Bupati Kediri diundang dan tidak hadir, itu rasanya seperti kualat,” ujar Mas Dhito disambut tawa peserta Musda.

    Dengan terpilihnya M. Hadi Setiawan sebagai ketua baru, Partai Golkar Kabupaten Kediri menatap masa depan politik dengan optimisme. Konsolidasi internal dan penguatan basis kader diyakini menjadi langkah strategis menuju kemenangan dalam Pemilu 2029. [nm/suf]