Laporan wartawan Tribunnews.com, Fahdi Fahlevi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Tahun 2024 diwarnai dengan polemik penyelenggaraan ibadah haji yang dilaksanakan oleh Pemerintah melalui Kementerian Agama.
Sejumlah polemik terjadi pada penyelenggaraan haji 2024 yang mengusung tema “Haji Ramah Lansia”.
Tema ini dipilih karena jamaah haji lansia menjadi prioritas dalam proses pelaksanaan haji, mulai dari embarkasi, debarkasi, hingga di tanah suci.
Berdasarkan data Sistem Informasi dan Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat), jumlah jemaah haji lansia pada 2024 yang berangkat adalah sekitar 45.000 orang
Sejumlah permasalahan yang mencuat saat pelaksanaan haji 2024, mulai dari masalah pemberian kuota tambahan dari Arab Saudi, keterlambatan penerbangan, pemondokan jemaah, hingga puncaknya Pansus Haji DPR.
Keterlambatan Penerbangan Jemaah
Pada penyelenggaraan haji tahun 2024, jemaah Indonesia diangkut ke Tanah Suci menggunakan dua maskapai, yakni Garuda Indonesia dan Saudia Airlines. Jemaah dari sembilan embarkasi akan diangkut oleh Garuda Indonesia dan 5 embarkasi haji akan diangkut oleh Saudia Airlines.
Meski begitu, keterlambatan penerbangan kerap mewarnai pemberangkatan jemaah haji Indonesia. Pada fase pemberangkatan ke Tanah Suci, Kementerian Agama sempat mengeluhkan sejumlah keterlambatan maskapai Garuda Indonesia.
Saat itu, Juru Bicara Kemenag Anna Hasbie mengatakan, keterlambatan keberangkatan Garuda Indonesia mencapai 39,47 persen dari total penerbangan yang telah dilakukan.
Anna menyebutkan, catatan itu berbeda dengan Saudia Airlines yang menjadi maskapai kedua pengangkut jemaah haji Indonesia. Saudia hanya mengalami 11,85 persen keterlambatan dari total penerbangan yang telah dilakukan.
Keterlambatan paling parah dialami oleh jemaah haji kloter 42 Embarkasi Solo (SOC-42) akibat adanya kerusakan mesin pesawat yang memberangkatkan jemaah SOC-41.
Kloter tersebut merupakan kloter terakhir dari Embarkasi Donohudan yang berangkat pada gelombang pertama, mendarat di Bandara Amir Muhammad bin Abdul Aziz (AMAA) Madinah.
Keterlambatan SOC-42 juga berdampak pada perubahan jadwal SOC 43 yang bergeser hingga 17 jam dari rencana semula.
Selain itu, ada 13 kloter dengan keterlambatan Garuda Indonesia pada kisaran satu sampai dua jam, lalu ada tujuh kloter yang terlambat di atas dua jam.
Sementara untuk Saudia Airlines, keterlambatan terlama dialami kloter pertama Embakasi Jakarta-Bekasi atau JKS-01, sekitar 47 menit.
Pada fase pemulangan, masalah keterlambatan juga terjadi. Keterlambatan dialami jemaah haji kelompok terbang 9 Embarkasi Balikpapan (BPN-09) selama 28 jam.
Kemenag mencatat pada pekan pertama fase pemulangan jemaah haji, lebih 50 persen penerbangan mengalami keterlambatan. Dari 52 kloter, sebanyak 38 kloter terbang tidak sesuai jadwal karena mengalami keterlambatan.
Sementara pada pekan kedua pemulangan, total sudah ada 155 kloter jemaah haji Indonesia yang sudah diterbangkan Garuda Indonesia ke Tanah Air. Dari 155 kloter, ada 75 kloter yang mengalami keterlambatan atau 48,39%.
Masalah Pemondokan Jemaah
Permasalahan pemondokan jemaah terungkap oleh Tim Pengawas Haji DPR RI. Saat itu, Ketua Timwas Haji DPR RI, Muhaimin Iskandar mengungkapkan permasalahan tenda jemaah haji Indonesia yang melebihi kapasitas. Muhaimin mengatakan, tenda yang disediakan tidak mampu menampung jumlah jemaah haji yang ada.
Selain itu, tenda tersebut juga tidak dilengkapi dengan kasur yang memadai dan penempatan tenda yang tidak sesuai dengan maktab yang sudah ditentukan.
Masalah lain, adalah tenda yang melebihi kapasitas hingga jemaah yang tidur di lorong tenda juga menjadi temuan dari Timwas Haji 2024.
Timwas menemukan bagian dalam yang sempit dan melebihi kapasitas menjadi penyebab jemaah tidur di lorong tenda. Jemaah haji Indonesia banyak yang berada di lorong antar-tenda karena kapasitas yang diberikan kurang dari satu meter per orang.
Anggota Tim Pengawas Haji DPR RI, Wisnu Wijaya Adiputra juga mengkritik fasilitas toilet yang menyebabkan antrean panjang jemaah haji. Jemaah haji di Mina, Arab Saudi harus rela mengantre untuk masuk ke dalam toilet hingga dua jam lamanya.
Masalah Pembagian Kuota Haji Tambahan
Masalah distribusi kuota haji menjadi permasalahan saat Indonesia mendapatkan tambajan kuota 20 ribu dari Arab Saudi. Saat itu, Kementerian Agama membagi 10 ribu haji reguler dan 10 ribu untuk haji khusus.
Penambahan kuota untuk haji khusus membuat jemaah dari khusus mendapatkan kuota lebih dari 8 persen. Penentuan pemberian kuota ini juga dipermasalahkan, karena tidak melibatkan DPR.
Pembahasan mengenai kuota haji ini dibahas dalam Pansus Angket Haji DPR. Anggota Timwas Haji DPR Ace Hasan Syadzily menilai perubahan kebijakan yang dilakukan Kementerian Agama (Kemenag) terkait pengalihan 10.000 kuota tambahan dari 20.000 kuota tambahan yang ada untuk haji khusus sudah menyalahi aturan.
Menurutnya, keputusan tersebut bertentangan dengan hasil Rapat Kerja Komisi VIII DPR RI dengan Menteri Agama RI serta Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 tahun 2024 tentang Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang sudah disepakati bersama pada 27 November 2023.
Perubahan kebijakan tersebut dilakukan secara sepihak tanpa mengadakan pembahasan lebih lanjut dengan DPR RI. Perubahan kebijakan ini berpengaruh pada asumsi jumlah jemaah dan penggunaan anggaran biaya haji yang berasal dari setoran jemaah dan nilai manfaat keuangan haji yang dikelola oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).
Pansus Angket Haji DPR
Puncak dari permasalahan haji pada tahun 2024, adalah pembentukan Panitia Khusus Hak Angket Haji 2024 atau Pansus Haji oleh DPR RI.
Salah satu penggagas pansus tersebut adalah Wakil Ketua DPR yang juga Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar. Pansus Haji DPR RI untuk penyelenggaraan ibadah haji 2024 dibentuk pada 10 Juli 2024 dan resmi bekerja pada 19 Agustus 2024.
Sejumlah pejabat Kementerian Agama dipanggil oleh Pansus Haji DPR. Bahkan Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) dan jemaah turut diperiksa oleh Pansus Haji DPR.
Dalam pendalaman masalah haji, Pansus juga sebenarnya memanggil Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas. Namun Yaqut selalu mangkir dengan alasan berbagai kegiatan, termasuk kunjungan ke luar negeri.
Pansus juga melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke Kantor Subdit Sistem Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat), Kementerian Agama (Kemenag) RI. Dalam sidak yang dipimpin Marwan Dasopang selaku Wakil Ketua Pansus Angket Haji, anggota DPR melontarkan beragam pertanyaan soal temuan Pansus Haji DPR RI terkait penyelenggaraan Haji 2024.
Akhirnya Pansus Haji DPR melaporkan sembilan temuan penyelidikan penyelenggaraan Haji 2024 dalam paripurna terakhir DPR periode 2019-2024 pada 30 September 2024.
Pertama terkait kelembagaan. Pansus menilai Kementerian Agama masih berperan ganda dalam penyelenggaraan ibadah haji, sebagai regulator maupun operator. Padahal Arab Saudi tidak lagi menggunakan pendekatan government to government dalam penyelenggaraan haji.
Kedua, soal kebijakan. Pansus Haji menemukan dugaan ketidakpatuhan terhadap Pasal 64 ayat 2 UU Nomor 8 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Khususnya, tentang alokasi kuota yang ditetapkan kuota haji khusus sebesar 8 persen dari kuota haji reguler.
Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah dianggap melakukan ketidakpatuhan dengan mengajukan pencairan nilai manfaat tanggal 10 Januari 2024 sebelum diterbitkannya KMA (Keputusan Menteri Agama) Nomor 130 Tahun 2024 tanggal 15 januari 2024 yang seharusnya menjadi basis penghitungan kuota.
Ketiga, soal distribusi kuota haji. Pengisian kuota haji reguler untuk jemaah yang membutuhkan pendamping penggabungan dan pelimpahan porsi masih ada celah atau kelemahan. Pendamping diisi jemaah haji reguler yang bukan mahramnya.
Kemenag juga dinilai masih belum mengupayakan maksimal menyelesaikan masalah 5.678 nomor porsi kuota ‘batu’, yaitu porsi haji reguler yang belum diketahui secara pasti di mana jemaah haji berada atau bertempat tinggal hingga 2024.
Ada ketidaksinkronan regulasi, khususnya, antara keputusan Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Nomor 118 tahun 2024 tertanggal 29 Januari 2024 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemenuhan Kuota Haji Khusus Tambahan dan Sisa Kuota Khusus Haji 1445 H dengan SE Dirjen Bina Haji Khusus tentang Penyampaian Daftar Haji Khusus, dan Pasal 65 ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah.
Kemudian, Inspektorat Jenderal Kemenag sebagai aparatur pengawasan internal pemerintah tidak menjadikan pembagian kuota Haji tambahan tahun 2024 sebagai objek pengawasan. Sementara, pembagian kuota haji tambahan 1445 Hijriah ada potensi tidak sesuai dengan UU Nomor 8 tahun 2019.
Keempat, Siskohat dan siskopatuh. Sistem komputerisasi haji terpadu dinilai tidak terjamin keamanannya karena tidak ada audit berkala terhadap sistem. Selain itu, terlalu banyak kepentingan yang dapat mengakses, seperti subdit siskohat, subdit pendaftaran haji, kantor wilayah, kantor Kemenag di kabupaten/kota, hingga bank penerima setoran penyelenggara haji khusus.
Kelima, soal pendaftaran. Keputusan Menteri Agama Nomor 226 Tahun 2023 tentang Biaya Perjalanan Ibadah Haji Khusus; Keputusan Menteri Agama Nomor 1063 Tahun 2023 tentang Setoran Pelunasan Biaya Perjalanan Ibadah Haji Khusus Tahun 1445 Hijriah/2024 Masehi, dan BAB III Poin B, Keputusan Direktur Jenderal PHU No. 118 Tahun 2024 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemenuhan Kuota Ibadah Haji Khusus.
Ketentuan tersebut mengakibatkan adanya praktik pemberangkatan 3.503 jemaah haji khusus dengan status tanpa antri, mendaftar tahun 2024 dan berangkat tahun 2024.
Keenam, nilai manfaat. Pansus menilai adanya ketidakadilan penggunaan nilai manfaat. Mereka yang belum berhak untuk berangkat menggunakan nilai manfaat tahun berjalan yang didapatkan dari jemaah haji lain yang berada pada daftar antrean.
Ketujuh, jemaah cadangan lunas tunda sebesar 30 persen dari kuota haji nasional harus berangkat lebih dulu. Namun, karena ada mekanisme penggabungan mahrom, jemaah lansia dan disabilitas, hak jemaah haji lunas tunda menjadi tidak pasti keberangkatannya.
Kedelapan, pelaporan dan pengawasan. Kemenag dianggap tak menjalankan Pasal 82 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Padahal, ketentuan itu mengatur tentang pelaporan pelaksanaan operasional Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus (PIHK) kepada Menteri.
Hal ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan kontrol Kementerian Agama terhadap jumlah keberangkatan dan kepulangan jemaah haji khusus oleh PIHK yang seharusnya dilaporkan kepada DPR RI setelah penyelenggaraan ibadah Haji.
Kesembilan, Pelayanan. Pelayanan di Arafah, Musdalifah, dan Mina dan selama pelaksanaan ibadah haji banyak ditemukan ketidaksesuaian dengan ketentuan, kontrak dan standar pelayanan.