Saat menjabat perdana menteri Estonia, Kaja Kallas mewakili 1,3 juta penduduk di negara kecil yang diapit antara Rusia dan Laut Baltik itu. Sejak menjabat sebagai kepala urusan luar negeri Uni Eropa pada akhir tahun 2024, perempuan berusia 47 tahun itu kini berbicara untuk sekitar 450 juta orang yang tersebar di 27 negara.
Tetapi satu hal yang tidak berubah, Kallas tetap fokus pada Rusia.
“Jelas upaya sabotase sedang meningkat di Eropa,” kata Kallas kepada Alexandra von Nahmen dari DW ketika ditanya tentang serangkaian dugaan serangan hibrida, yang terbaru melibatkan kabel laut dalam di zona ekonomi Swedia di Baltik.
“Kita seharusnya tidak melihat peristiwa ini secara terpisah, tetapi sebagai bagian dari gambaran yang lebih besar. Dan memahami bahwa niat Rusia niat terhadap Eropa dan arsitektur keamanan Eropa tidak berubah,” kata Kallas dalam wawancara eksklusif DW di kantor pusat Layanan Aksi Eksternal Eropa UE di Brussels hari Kamis (30/1).
Sebagai seseorang yang lahir di Estonia yang dulu diduduki Uni Soviet, tidak mengherankan bahwa Kallas mendapat reputasi sebagai salah satu musuh Moskow dan sekaligus pendukung Ukraina yang paling gigih.
Kallas tegaskan AS dan UE ‘masih berteman’
Ucapannya itu mengisyaratkan kerja sama erat dengan pemerintahan Presiden AS Donald Trump, yang dipenuhi tokoh radikal sayap kanan.
AS dan Uni Eropa telah menyalurkan senjata dan bantuan ke Ukraina selama tiga tahun terakhir. Namun, dalam beberapa minggu pertama masa jabatannya, Trump tidak membuang waktu dan mengecam UE atas defisit perdagangan dan anggaran pertahanan. Dia juga mengejutkan Eropa dengan menyatakan niat mengambil alih wilayah otonomi Denmark di Grinlandia.
“Kami masih berteman. Kami masih sekutu,” kata Kallas tentang hubungan Uni Eropa-AS. “Mereka adalah mitra terbesar kami dalam hal ekonomi, tetapi juga dalam hal keamanan.”
“Saya melakukan panggilan telepon yang sangat baik dengan Menteri Luar Negeri Marco Rubio minggu ini. Kami membahas berbagai bagian dunia tempat kami bekerja sama dan juga melihat apa yang dapat kami lakukan lebih banyak lagi,” katanya. “Jadi saya cukup yakin bahwa kita memiliki hubungan yang baik.”
Dan bagaimana dengan Grinlandia?
“Jelas bahwa Amerika Serikat terikat perjanjian internasional. Perjanjian ini menyatakan bahwa Anda harus menghormati integritas teritorial… dan saya yakin mereka akan melakukannya,” kata Kallas.
Ketika ditanya apakah Uni Eropa mungkin mempertimbangkan penempatan pasukan di Grinlandia, Kallas mengatakan belum ada diskusi yang diadakan mengenai masalah tersebut.
Gambaran serupa tentang Ukraina
Kallas melunak soal sikap Washington terhadap Kyiv. “AS memahami bahwa untuk mengakhiri perang ini, kita harus memberikan tekanan pada Rusia, karena Rusia adalah pihak yang memulai perang ini.”
Trump sebelumnya mengklaim dia dapat menjadi perantara kesepakatan damai antara Rusia dan Ukraina dalam satu hari, yang memicu kekhawatiran bahwa dia mungkin menekan Kyiv untuk menerima persyaratan Rusia. UE khawatir, hasil negosiasi malah hanya akan mendorong agresi Rusia terhadap negara lain.
Setelah menjabat, Trump terkesan ingin mengambil sikap lebih keras terhadap Presiden Rusia Vladimir Putin, meski juga mengkritik Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy.
“Presiden Trump sangat keras dalam pernyataannya terhadap Putin,” kata Kallas. “Jadi saya kira kita melihat gambarannya dengan sangat mirip.”
Namun, apa yang sebenarnya dikatakan Rubio, mitra Kallas di AS, tentang strategi di Ukraina dalam percakapan mereka?
“Kita juga harus bertemu langsung dan membahas hal-hal ini, tetapi jelas mereka ingin mengakhiri perang ini,” katanya. “Semua orang ingin mengakhiri perang ini karena semua orang menginginkan perdamaian. Namun, jelas juga, dan itu juga yang dikatakan Rubio, bahwa perdamaian harus berkelanjutan.”
Volatilitas AS sebagai peluang bagi Eropa?
Eropa tidak disangkal merasa gelisah terhadap Trump, yang langsung membekukan bantuan luar negeri dan menarik AS keluar dari perjanjian iklim Paris. Namun Kallas berusaha mengemukakan bahwa ketidakpastian di AS, serta volatilitas umum situasi geopolitik global, merupakan peluang bagi UE.
“Saya pikir saat ini kita memiliki tantangan yang sangat besar, tetapi pada saat yang sama, ini juga memberi Uni Eropa kesempatan untuk benar-benar menjadi pemain geopolitik yang besar di panggung dunia.
“Pemerintahan baru AS… membuat semua negara lain berpaling ke Uni Eropa karena kami adalah mitra yang dapat diandalkan, kami adalah mitra yang stabil,” kata Kallas. “Hal ini juga memberi kita kesempatan untuk mengembangkan kekuatan geopolitik.”
Diadaptasi dari artikel DW berbahasa Inggris