Kadin Ungkap Risiko Deindustrialisasi Imbas Harga Gas Mahal

Kadin Ungkap Risiko Deindustrialisasi Imbas Harga Gas Mahal

Bisnis.com, JAKARTA — Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mewanti-wanti risiko deindustrialisasi atau penurunan aktivitas industri manufaktur imbas tingginya harga gas dalam negeri. Terlebih, produksi gas domestik dinilai terbatas untuk kebutuhan industri lokal. 

Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Saleh Husin mengatakan, harga gas yang terlalu tinggi dapat membuat industri nasional kehilangan daya saing. 

“Kalau harga gas terlalu tinggi, bisa-bisa beberapa industri lari ke negara tetangga yang energinya lebih kompetitif,” kata Saleh dalam agenda Diskusi Kadin di Jakarta, Selasa (7/10/2025). 

Menurut Saleh, apabila industri dikenai harga gas regasifikasi LNG mencapai US$16,77 per MMBtu, maka banyak pelaku industri berisiko menutup operasi atau memindahkan pabrik ke negara tetangga yang menawarkan harga energi lebih murah.

Bahkan, kondisi ini juga dapat memicu lonjakan impor produk jadi, mengancam industri dalam negeri, serta menurunkan kontribusi sektor manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.

Di samping itu, Saleh menegaskan bahwa keberlanjutan pasokan energi, termasuk gas bumi, menjadi kunci untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga 8%.

“Untuk tumbuh 8%, industri harus tumbuh lebih dulu. Tanpa industri yang kuat, ekonomi tidak akan mencapai target itu,” tuturnya.  

Pelaku usaha berharap pemerintah segera mengambil langkah strategis, termasuk membolehkan impor gas dengan mekanisme terukur, agar industri nasional tetap tangguh, efisien, dan kompetitif di pasar global.

Dalam hal ini, Kadin juga mendorong pemerintah untuk membuka peluang bagi industri nasional untuk mengimpor gas bumi. Pasalnya, hal ini penting guna mengatasi minimnya pasokan gas domestik yang saat ini baru memenuhi sekitar 60% dari kebutuhan industri.

Menurut Saleh, meskipun pemerintah telah menetapkan harga gas bumi tertentu (HGBT) sebesar US$7 per MMBtu untuk tujuh sektor industri melalui Keputusan Menteri ESDM Nomor 255K Tahun 2024, kenyataannya pasokan yang diterima industri masih jauh dari kebutuhan.

“Kawan-kawan industri hanya mendapatkan sekitar 60% suplai gas HGBT,” imbuhnya. 

Padahal, gas bumi merupakan komponen penting dalam proses produksi industri pengolahan, seperti pupuk, baja, semen, farmasi, keramik, tekstil, hingga makanan dan minuman. Kekurangan pasokan ini berpotensi menekan daya saing dan kapasitas produksi industri dalam negeri.

Kadin menilai impor gas bisa menjadi solusi sementara hingga proyek eksplorasi gas nasional pada 2026–2028 mulai berproduksi. Dengan membuka akses impor, harga gas bagi industri dapat lebih kompetitif, kapasitas produksi meningkat, dan daya saing ekspor produk manufaktur Indonesia terjaga.

“Pemerintah dapat mempertimbangkan impor dalam periode terbatas, sambil menunggu hasil eksplorasi. Setelah suplai dalam negeri mencukupi, impor bisa dihentikan,” terangnya.

Agar kebijakan impor gas berjalan efektif dan tidak menimbulkan distorsi, Kadin meminta pemerintah menyiapkan payung hukum dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) yang menjamin kepastian pasokan dan distribusi gas bagi industri.

“Sektor industri membutuhkan kepastian kebijakan yang berkelanjutan. PP ini juga harus membuka ruang bagi industri untuk mengimpor gas secara mandiri dan membangun infrastruktur jaringan gas di kawasan industri,” ujarnya.

Lebih lanjut, Kadin juga mengusulkan agar ada domestic market obligation (DMO) gas bumi lebih berpihak kepada industri manufaktur nasional, agar perluasan dan ketahanan industri dapat berjalan optimal. Sebab, saat ini utilisasi industri masih berada pada kisaran 60–65%.