Bisnis.com, JAKARTA — Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mengungkap industri masih terus berupaya mendorong substitusi impor bahan baku dengan mencari alternatif dari dalam negeri. Kendati demikian, prosesnya membutuhkan waktu.
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), impor bahan baku/penolong pada Oktober 2025 tercatat sekitar US$15,19 miliar, naik 9,90% dibanding September 2025 sebesar US$13,82 miliar. Namun, secara tahunan, angka tersebut masih lebih rendah atau turun 5,18% dibandingkan Oktober 2024 yang mencapai US$16,02 miliar.
Secara kumulatif Januari–Oktober 2025, impor bahan baku/penolong mencapai US$139,59 miliar, sedikit turun 1,25% dibanding periode yang sama tahun 2024 yang sebesar US$141,58 miliar.
Wakil Ketua Umum Bidang Perindustrian Kadin Saleh Husin mengatakan, penurunan yang terjadi secara tahunan dan kumulatif menunjukkan sebagian sektor mulai meningkatkan penggunaan bahan baku domestik, meski masih terbatas.
“Dengan demikian, sinyal substitusi impor mulai muncul, tetapi bentuknya masih selektif dan belum meluas,” kata Saleh kepada Bisnis, Kamis (4/12/2025).
Namun, Kadin melihat sinyal substitusi impor bahan baku sebagai peluang strategis meskipun penyerapannya masih dilakukan bertahap. Pasalnya, Indonesia belum dapat sepenuhnya lepas dari impor dalam waktu dekat karena kapasitas industri hulu, seperti petrokimia, bahan kimia dasar, dan komponen elektronik belum mencukupi.
“Meski begitu, ketergantungan dapat dikurangi secara nyata jika penguatan industri hulu, konsistensi kebijakan, serta efisiensi energi dan logistik terus dipacu,” jelasnya.
Dengan dorongan investasi dan hilirisasi yang sekarang berlangsung, menurut Saleh, Indonesia berpotensi menekan impor bahan baku secara bertahap dalam beberapa tahun mendatang, meskipun impor tetap diperlukan untuk barang modal dan teknologi.
Dia juga menerangkan penurunan impor bahan baku secara kumulatif 1,25% di tengah Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia pada November 2025 yang tetap ekspansif pada level 53,5 menunjukkan bahwa industri tidak sedang melemah.
“Sebaliknya, pelaku usaha tampaknya melakukan efisiensi rantai pasok dan optimalisasi stok setelah periode harga yang bergejolak,” tuturnya.
Terlebih, ada kenaikan impor barang modal hingga 18% justru menandakan adanya investasi dan modernisasi mesin sehingga penurunan impor bahan baku lebih mencerminkan penataan ulang struktur input, bukan pelemahan produksi.
Data dari BPS menunjukkan impor bahan baku industri seperti petrokimia, nafta, kimia dasar, dan komponen elektronik menunjukkan dinamika yang beragam sepanjang Januari–Oktober 2025.
Pada komoditas petrokimia, impor oil-cake tercatat mencapai US$1,90 miliar, turun dari periode yang sama tahun 2024 sebesar US$2,16 miliar, atau melemah sekitar US$255,59 juta.
Sementara itu, impor nafta dan petroleum preparations juga meningkat cukup tajam, dari US$895 juta pada Januari–Oktober 2024 menjadi US$1,63 miliar periode yang sama tahun ini.
Di kelompok kimia dasar, tren yang muncul cenderung bervariasi. Impor potassium chloride (KCl) tercatat sebesar US$866 juta pada Januari-Oktober 2024 kemudian naik menjadi US$1,27 miliar pada Januari-Oktober 2025 atau tumbuh 47,12% ctc.
Bahan kimia untuk elektronik yang tercatat sebagai chemical elements doped justru melonjak tajam dari US$226 juta menjadi US$1,22 miliar, atau meningkat hampir US$1 miliar.
