Kontrakan Rp 300.000 di Jakarta, Bukti Nyata Ketimpangan Sosial dan Persoalan HAM
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Di tengah gencarnya pembangunan gedung-gedung pencakar langit, kontrakan semi permanen dengan harga murah meriah tetap eksis berdiri di Ibu Kota Jakarta.
Biasanya, kontrakan semi permanen tersebut dibangun di lokasi-lokasi terpencil, yakni di pinggir sungai, bantaran kali, hingga di sepanjang rel kereta api.
Meski keberadaannya terpencil dan cenderung kumuh,
kontrakan murah
meriah ini kerap menjadi penyelamat bagi warga dengan keterbatasan ekonomi agar tetap memiliki tempat berlindung di tengah kerasnya kehidupan Kota Jakarta.
Pinggir rel kereta api di Kampung Muara Bahari, Tanjung Priok, Jakarta Utara, menjadi salah satu lokasi yang dipenuhi puluhan kontrakan semi permanen dan dihuni oleh ratusan orang.
“Di sepanjang rel ini kontrakan semua, harganya beda-beda, ada yang Rp 400.000, Rp 500.000, yang membedakan biasanya kamar mandinya di dalam. Terus agak lebih bagusan dikit, kalau gubuk kayak gini paling Rp 350.000, kamar mandinya bareng-bareng,” ucap salah satu penghuni kontrakan bernama Nur (25) ketika diwawancarai
Kompas.com
di lokasi, Kamis (18/12/2025).
Biaya Rp 350.000 tersebut sudah termasuk biaya listrik. Namun, untuk kebutuhan air, Nur harus membeli dari tetangganya dengan harga Rp 5.000 hingga Rp 10.000.
Sesak, gelap, dan lembap menjadi gambaran yang tepat untuk kondisi kamar kontrakan Nur yang hanya seluas 3 x 3 meter. Dengan ukuran sekecil itu, kontrakan tersebut ia tempati bersama suami dan anaknya yang masih bayi.
Selain sempit, atap kontrakannya kerap bocor dan membuat kasur lantai yang sudah lusuh menjadi basah. Saat kondisi itu terjadi, Nur dan keluarganya terpaksa tidur di lantai beralaskan kain sarung.
Nur mengaku terpaksa membawa buah hatinya yang masih bayi tinggal di kontrakan tersebut karena keterbatasan ekonomi. Pendapatan suaminya yang bekerja sebagai juru parkir sering kali hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari.
“Penginnya mengontrak yang layak, siapa sih yang enggak mau punya kehidupan enak, tapi kan Tuhan berkehendak lain, nasib juga beda, kalau kita enggak usaha mau gimana lagi, jalanin dan syukuri saja,” kata Nur.
Penghuni kontrakan lainnya, Diah (60), juga menyimpan harapan serupa. Ia berharap suatu hari nanti dapat memiliki tempat tinggal yang lebih layak.
“Kepingin banget, setiap malam suka berdoa kapan ya punya tempat tinggal yang lebih layak buat anak dan cucu,” tutur Diah.
Diah mengaku terpaksa tinggal di kontrakan semi permanen di pinggir rel kereta api karena tidak lagi mampu menyewa kontrakan yang layak.
Sebelumnya, ia dan keluarganya mengontrak rumah di wilayah Warakas, Tanjung Priok, dengan harga Rp 1.000.000 per bulan. Namun, tarif tersebut tidak terjangkau dengan pendapatan suaminya yang hanya bekerja sebagai juru parkir.
Akhirnya, Diah dan keluarga memilih pindah ke kontrakan di pinggir rel kereta Kampung Bahari dengan biaya sewa Rp 300.000 per bulan.
Enam tahun tinggal di kontrakan kecil tersebut membuat Diah dan keluarganya tidak pernah benar-benar merasa nyaman.
Pasalnya, kontrakan itu kerap dimasuki berbagai binatang, di antaranya tikus hingga ular yang berasal dari lahan kosong di belakang bangunan.
“Dukanya itu banyak binatang, suka ada tikus, ular gitu sering masuk ke rumah pas tidur,” ungkap Diah.
Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Rakhmat Hidayat, memandang kemunculan kontrakan murah meriah di kawasan kumuh sebagai bagian dari krisis perumahan yang banyak dibahas di berbagai belahan dunia.
Krisis perumahan merupakan bentuk ketidakadilan bagi masyarakat kurang mampu di perkotaan dalam mengakses tempat tinggal yang layak.
“Mereka yang tinggal di kontrakan kumuh, padat, penghuninya banyak, itu bagian atau manifestasi dari mereka yang mengalami krisis dari ketidakadilan dalam akses terhadap
housing
tersebut,” ungkap Rakhmat.
Dalam banyak kajian perkotaan, krisis perumahan yang memicu ketidakadilan sosial ini bahkan dikaitkan dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Menurut Rakhmat, memiliki rumah merupakan hak setiap warga negara. Namun, masyarakat miskin kerap terpinggirkan dalam struktur kebijakan perumahan di perkotaan sehingga tidak mampu mengakses hak tersebut.
Salah satu kebijakan pemerintah yang dinilai membuat warga sulit memiliki rumah adalah keberpihakan yang terlalu besar terhadap pemilik modal.
“Pemerintah terlalu akomodatif atau pro terhadap pemilik modal dengan membangun mal, apartemen, pusat perkantoran, ruko, tapi malah meminggirkan akses terhadap
housing
itu, bukan hanya sebuah kegagalan tapi pelanggaran HAM,” tegas Rakhmat.
Akhirnya, banyak dari masyarakat berjuang semampunya dan hanya bisa menyewa kontrakan dengan harga murah yang jauh dari kata layak huni dan sehat.
Bahkan, dalam kondisi yang lebih ekstrem, sebagian orang tidak mampu menyewa rumah sama sekali dan memilih menjadi gelandangan atau manusia gerobak.
Tak heran jika krisis perumahan kini menjadi isu global yang hangat dibicarakan dan diperjuangkan para peneliti agar masyarakat kelas menengah bawah dapat mengakses hunian layak.
Jika pemerintah tidak mengambil tindakan dan membiarkan warganya tinggal di kontrakan di samping rel kereta api, kondisi tersebut akan berdampak buruk terhadap kesehatan.
“Dampaknya secara kesehatan tidak layak karena kita kan hidup butuh udara yang sehat, sirkulasi yang sehat, soal MCK bagaimana, higienitasnya bagaimana,” jelas Rakhmat.
Ia menekankan bahwa rumah tidak hanya dipahami sebagai bangunan fisik berdasarkan ukuran, tetapi juga sebagai ruang untuk berinteraksi.
Setiap orang berhak memiliki ruang di rumah untuk bersosialisasi dan mengaktualisasikan diri bersama keluarga, pasangan, dan anak-anaknya.
Oleh karena itu, dalam standar global, luas rumah ideal harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya.
Misalnya, satu orang setidaknya membutuhkan ruang sekitar sembilan meter persegi. Jika terdapat empat penghuni, maka luas rumah ideal sekitar 36 meter persegi.
Namun, standar tersebut sulit dipenuhi oleh masyarakat dengan keterbatasan ekonomi. Bagi mereka, memiliki tempat berteduh untuk melepas lelah saja sudah merupakan sebuah keberuntungan.
“Karena mereka enggak mampu untuk mengakses
housing
tersebut sehingga mereka tidak ada interaksinya, tidak sehat secara sosial karena interkasi mereka tidak berlangsung secara lancar, harmonis,” ucap Rakhmat.
Dampak buruk selanjutnya adalah hilangnya rasa nyaman untuk setiap anggota keluarga yang terpaksa tinggal satu ruangan di kontrakan berukuran 3 x 3 meter.
Mereka harus tidur berhimpitan sehingga tidak memiliki ruang untuk berdialog atau mengekspresikan dirinya masing-masing.
Sempitnya kontrakan tentu akan membuat mereka sering berebut ruang sehingga mudah sekali mengalami gesekan satu sama lain.
Rakhmat mengatakan, para peneliti global meminta agar pemerintah tidak lepas tanggung jawab terhadap warganya yang tinggal di rumah tak layak.
Jika pemerintah mengabaikan persoalan ini, maka secara tidak langsung telah melakukan pelanggaran HAM.
“Kalau lepas tangan itu pelanggaran HAM karena
housing
adalah hak dasar manusia, hak sosial ekonomi, dan terjadi di kota-kota dunia ketiga, terutama di Afrika dan Asia kayak Indonesia dan India,” tutur Rakhmat.
Untuk mengatasi persoalan
housing
di Indonesia, pemerintah bisa membangun perumahan yang layak dan terjangkau untuk warga miskin kota.
Di Jakarta yang lahannya terbatas, pemerintah bisa memperbanyak pembangunan rumah susun sederhana sewa (rusunawa) atau rumah susun sederhana milik (rusunami), seperti yang telah dilakukan sebelumnya.
Dengan menyediakan rusunawa dan rusunami, pemerintah diharapkan dapat hadir bagi masyarakat miskin kota agar mereka memiliki tempat tinggal yang layak dan manusiawi.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
kab/kota: Warakas
-
/data/photo/2025/12/19/6944374d3215d.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
6 Kontrakan Rp 300.000 di Jakarta, Bukti Nyata Ketimpangan Sosial dan Persoalan HAM Megapolitan
-

Kabur ke Jakut, DPO Curanmor Asal Tangerang Ditangkap Polisi
Jakarta –
Polisi mengamankan pelaku pencurian kendaraan bermotor (curanmor) berinisial R (24) di kawasan Warkas, Tanjung Priok, Jakarta Utara (Jakut). R merupakan DPO kasus curanmor di Tangerang.
Penangkapan R dilakukan dalam Ops Sikat Jaya 2025 yang dilakukan Reskrim Polsek Pinang Polres Metro Tangerang Kota. R ditangkap pada Kamis (27/11) lalu.
Kapolsek Pinang Iptu Adityo Wijanarko mengatakan R masuk DPO sejak 21 Juni 2025 di wilayah hukum Polsek Pinang. Setelah mendapat informasi keberadaan R, polisi kemudian bergerak ke lokasi untuk melakukan penangkapan.
“Kami menerima informasi dari masyarakat bahwa pelaku terpantau di wilayah Warakas. Tim langsung melakukan penyelidikan dan berhasil mengamankan tersangka tanpa perlawanan,” kata Adityo kepada wartawan, Kamis (44/12/2025).
Dari penangkapan tersebut, polisi mengamankan 1 unit sepeda motor Honda Beat warna merah hitam yang digunakan pelaku dan diduga merupakan hasil tindak kejahatan. Penangkapan R dipimpin Kanit Reskrim Polsek Pinang Ipda Tutuk Syaiful Akbar dibantu personel Unit Reskrim lainnya setelah melakukan observasi langsung di lokasi.
“Kami masih melakukan pendalaman guna mencari jaringan maupun penadahnya. Masyarakat diimbau selalu waspada serta segera melapor bila terjadi tindak kejahatan,” imbuh Adityo.
“Kita memastikan akan terus melakukan patroli, operasi kepolisian, dan penindakan tegas terhadap semua pelaku kejahatan yang meresahkan. Apabila masyarakat melihat langsung dan menjadi korban segala gangguan kamtibmas segera laporkan kepada kami di call center 110 layanan gratis bebas pulsa. Agar kami segera tindak lanjuti.” kata Kombes Jauhari.
(dek/dek)
-

Polisi tangkap pria pencuri motor di sejumlah lokasi Tanjung Priok
Jakarta (ANTARA) – Polsek Tanjung Priok, Jakarta Utara, menangkap seorang pria berinisial M yang telah melakukan pencurian sepeda motor di sejumlah lokasi di wilayah Tanjung Priok, Jakarta Utara.
“Pelaku ini ditangkap di Jalan Agung Timur 8, Kelurahan Sunter Jaya, Kecamatan Tanjung Priok, Jakarta Utara pada Sabtu (15/11),” kata Kanit Reskrim Polsek Tanjung Priok AKP Handam Samudro di Jakarta, Jumat.
Menurut dia, pelaku tersebut telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Polsek Tanjung Priok untuk proses penyidikan.
Dia membeberkan penangkapan pelaku itu berawal saat Reskrim mendapatkan informasi dari masyarakat yang menyebutkan di Jalan Agung Timur telah diamankan terduga pelaku percobaan pencurian kendaraan bermotor pada Sabtu (15/11) sekitar pukul 06.00 WIB.
Selanjutnya, Tim Buser Polsek Tanjung Priok mengamankan terduga pelaku beserta barang bukti berupa sejumlah peralatan yang digunakan untuk melakukan pencurian.
Berdasarkan hasil pengembangan, sambung dia, diketahui pelaku pernah melakukan pencurian kendaraan bermotor di beberapa lokasi lainnya.
Fakta tersebut diperoleh melalui analisis yang dilakukan penyidik terhadap rekaman kamera pengawas (CCTV), yang menunjukkan kemiripan dengan pelaku.
Selain itu, Handam menuturkan pelaku tersebut mengaku pernah melakukan pencurian kendaraan bermotor di Kelurahan Warakas dan Jalan Ganggeng di Kelurahan Sungai Bambu, Kecamatan Tanjung Priok.
Polsek Tanjung Priok juga telah mengidentifikasi tiga laporan polisi terkait tindak pidana pencurian kendaraan bermotor yang dilakukan oleh pelaku tersebut di wilayah Kecamatan Tanjung Priok.
“Untuk komplotan yang diduga bersama-sama dengan pelaku saat melakukan aksi-aksinya masih dalam upaya pengejaran,” terang Handam.
Pewarta: Mario Sofia Nasution
Editor: Rr. Cornea Khairany
Copyright © ANTARA 2025Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
-

Maling Motor di Jakut Nyaris Tewas Diamuk Warga Usai Kepergok Mencuri
Jakarta –
Pria berinisial SH dipergoki mencuri sepeda motor (curanmor) di Warakas, Tanjung Priok, Jakarta Utara (Jakut). SH nyaris tewas diamuk warga Warakas yang emosi.
SH dipergoki mencuri sepeda motor bersama rekannya di Jalan Warakas 4, Gang 17, RT 13/13, Tanjung Priok, Jakut pada Minggu (5/10). Aksi pencurian itu diketahui warga yang kemudian langsung mengejar pelaku yang mencoba kabur.
SH dapat ditangkap warga. SH lalu diamuk massa hingga nyaris tewas.
sementara satu pelaku lainnya lolos. Unit Reskrim Polsek Tanjung Priok langsung datang ke lokasi dan mengamankan pelaku tersebut dari amukan massa.
“Pelaku berhasil diamankan setelah anggota Unit Reskrim Polsek Tanjung Priok tiba di lokasi kejadian dan segera meredam amukan massa,” kata Kanit Reskrim Polsek Tanjung Priok AKP Handam Samudro, dilansir Antara, Senin (6/10/2025).
“Kami sedang dalam proses pengembangan,” ujar Handam.
Unit Reskrim Polsek Tanjung Priok masih mengejar rekan pelaku yang buron. Polisi sudah mengantongi identitas buronan tersebut.
“Identitas buronan kasus pencurian tersebut sudah diketahui,” ucap Handam.
(jbr/mei)
-

Polisi tangkap pencuri yang nyaris tewas diamuk massa di Tanjung Priok
Jakarta (ANTARA) – Unit Reskrim Polsek Tanjung Priok mengamankan seorang pelaku pencurian berinisial SH yang nyaris tewas akibat dikeroyok massa di Jalan Warakas 5, Kecamatan Tanjung Priok, Jakarta Utara, pada Minggu (5/10).
“Pelaku berhasil diamankan setelah anggota Unit Reskrim Polsek Tanjung Priok tiba di lokasi kejadian dan segera meredam amukan massa,” kata Kanit Reskrim Polsek Tanjung Priok AKP Handam Samudro di Jakarta, Senin.
Dia mengatakan pelaku dan barang bukti kemudian dibawa ke Mapolsek Tanjung Priok untuk diproses lebih lanjut.
“Kami sedang dalam proses pengembangan,” ujar Handam.
Menurut dia, penangkapan pelaku tersebut dilakukan berdasarkan informasi dari masyarakat. Selain menangkap pelaku, polisi juga mengamankan barang bukti berupa satu unit sepeda motor.
Unit Reskrim Polsek Tanjung Priok masih melakukan pengejaran terhadap rekan pelaku yang buron.
“Identitas buronan kasus pencurian tersebut sudah diketahui,” ucap Handam.
Sebelumnya, pelaku menggasak sepeda motor milik warga setempat bersama rekannya di Jalan Warakas 4, Gang 17, RT 13/13, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Minggu (5/10).
Namun, pencurian itu diketahui oleh warga yang kemudian langsung mengejar pelaku yang mencoba kabur.
Seorang pelaku ditangkap dan dikeroyok massa hingga nyaris tewas, sementara satu pelaku lainnya lolos. Aparat Kepolisian Polsek Tanjung Priok langsung datang ke lokasi dan mengamankan pelaku tersebut dari amukan massa.
Pewarta: Mario Sofia Nasution
Editor: Rr. Cornea Khairany
Copyright © ANTARA 2025Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
-

RT/RW Permasalahkan Tiang Serat Optik, Apjatel Tegaskan Telah Berizin
Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi (Apjatel) memastikan pemasangan tiang untuk menggelar serat optik internet di lingkungan RT/RW telah mengantongi izin resmi dari pemerintah pusat.
Apjatel mengakui terkadang ada penolakan warga di sejumlah wilayah terhadap pemasangan tiang internet oleh penyelenggara jaringan.
Ketua Umum Apjatel, Jerry Siregar, mengatakan kendala di lapangan biasanya muncul pada tahap pemasangan jaringan dari backhaul ke last mile, khususnya ke perumahan, restoran, atau hotel.
“Seringkali memang ada beberapa case-by-case, beberapa warga yang memang [menolak],” kata Jerry kepada Bisnis, dikutip Selasa (2/9/2025).
Dia menuturkan secara normatif, perusahaan selalu mengantongi izin terlebih dahulu sebelum memasang tiang dan menarik kabel. Namun, persoalan konflik horizontal yang muncul di tengah masyarakat diakuinya berada di luar kendali asosiasi, sehingga kasus yang terjadi di lapangan sering kali bersifat berbeda-beda.
Dia menambahkan bahwa proses perizinan tidak berhenti di tingkat pusat, melainkan juga harus berkoordinasi dengan pemerintah di wilayah terkait.
“Artinya, ketika sudah dapat izin tersebut [baru] menggelar jaringan, yang kita kenal dari backbone sampai ke backhaul, dari backhaul ke last mile,” katanya.
Dia mencontohkan adanya potensi perbedaan sikap di masyarakat, misalnya antara RW dan RT di bawahnya yang belum tentu sejalan. Menurutnya, izin pemasangan jaringan bukanlah kewenangan RT, RW, atau lurah, melainkan dikeluarkan oleh negara melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) hingga Dinas Pekerjaan Umum (PU) atau Bina Marga.
Jerry menekankan penyelenggara jaringan tidak bisa sembarangan menanam tiang tanpa perhitungan teknis dan sosial.
“Enggak sembarangan juga kita tanam tiang di pinggir jalan, yang dekat ke rumahan, dekat ke masyarakat,” katanya.
Sebagai solusi ketika kabel udara tidak bisa dipasang, maka alternatif lain adalah pemanfaatan jaringan seluler. “Ketika tidak bisa, kabel udara ke kabel tanam, misalnya disitulah fungsinya GSM atau menara telekomunikasi yang bernama Telkomsel, XL, di Indonesia seperti itu,” katanya.
Menurut berbagai sumber, sejumlah daerah tercatat menolak pemasangan tiang internet. Di Warakas, Tanjung Priok, Jakarta Utara, misalnya salah satu Ketua RT, menolak keberadaan dua tiang internet di lingkungannya karena khawatir dapat membahayakan warga.
Kasus serupa juga terjadi di Desa Pulolor, Kecamatan Jombang, Kabupaten Jombang. Warga setempat menolak rencana pendirian tiang fiber optik (FO) karena merasa tidak dilibatkan dalam proses perizinan.
-
/data/photo/2025/08/26/68ad5a65bd88c.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
5 Perseteruan Ketua RT dan RW di Warakas gara-gara Tiang Internet dan Uang Kompensasi Megapolitan
Perseteruan Ketua RT dan RW di Warakas gara-gara Tiang Internet dan Uang Kompensasi
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Pemasangan tiang internet di wilayah Warakas, Tanjung Priok, Jakarta Utara, memicu perseteruan antara Ketua RW 01, BK, dan salah satu Ketua RT-nya, Sujarwo.
Perselisihan ini bermula dari tudingan penerimaan uang kompensasi Rp 6 juta dari pihak provider, yang membuat nama baik Sujarwo dianggap tercemar.
Perseteruan terjadi saat dua tiang internet setinggi sekitar tiga meter dipasang di wilayah RT 01, yang dipimpin Sujarwo. Sujarwo kemudian ditegur oleh tokoh masyarakat setempat.
“Ketika itu, saya ditelepon oleh salah satu tokoh mengatakan bahwa pemasangan tiang internet itu sudah dikendalikan oleh Jarwo,” jelas Sujarwo saat diwawancarai
Kompas.com,
Selasa (26/8/2025).
Sujarwo mengaku sama sekali tidak mendapat sosialisasi dari pihak
provider
maupun Ketua RW.
Sujarwo kemudian menelusuri proses izin pemasangan tiang internet tersebut. Sebagai ketua RT, ia merasa belum memberikan izin.
Ternyata,
provider
sempat menemui lurah Warakas untuk meminta izin, namun lurah tidak merekomendasikan dan menyerahkan keputusan ke forum RW.
Provider kemudian menggelar rapat dengan 14 Ketua RW di wilayah Warakas, menawarkan kompensasi Rp 6 juta untuk setiap RW yang mengizinkan pemasangan tiang itu.
Provider juga menawarkan akses WiFi gratis, serta komisi Rp 15.000 untuk ketua RT setiap ada warga yang memasang internet. Paket internet murah seharga Rp 100.000 per 200 Mbps per bulan juga ditawarkan kepada warga.
Hanya empat dari 14 RW yang menerima tawaran tersebut, yaitu RW 01, RW 05, RW 07, dan RW 09. Setelah itu, pemasangan tiang internet dilakukan di wilayah RT Sujarwo.
Sujarwo merasa keberatan karena namanya disebut mengetahui izin pemasangan dan menerima uang Rp 6 juta, padahal ia tidak dilibatkan dalam proses izin.
Surjarwo mempertanyakan legalitas daripada pemasangan yang di bahu jalan.
“Kedua, nama saya dicemarkan, bukan bicara RT, tapi bicara nama Jarwo karena dia (Ketua RW) bilangnya ‘sudah diterima oleh Jarwo’ kan itu kehormatan saya,” ungkap Sujarwo.
Sujarwo kemudian melaporkan dugaan pencemaran nama baik ke Polsek Tanjung Priok dan sempat mengikuti mediasi dengan BK.
“Akhirnya, saya bikin delik aduan ke kepolisian dalam rangka saya ingin bertanya apakah terima uang dalam kerjaan itu pungli,” ungkap Sujarwo.
Di sisi lain, Sujarwo merasa difitnah karena menerima uang atas pekerjaan itu. Ia merasa ada pencemaran nama baik atas apa yang dilakukan Ketua RW-nya.
Namun, mediasi tidak menemukan titik temu, dan Sujarwo masih menunggu jawaban resmi dari surat delik aduannya.
Karena mediasi yang dijalani tak menemukan titik temu, akhirnya Jarwo masih menunggu jawaban dari surat delik aduan untuk menentukan apakah tindakan BK memenuhi unsur pidana atau tidak.
Jika memang memenuhi unsur pidana, maka Jarwo akan melanjutkan laporan tersebut dan polisi akan kembali memanggil BK untuk diperiksa lebih lanjut.
Dilaporkan ke polisi, BK membantah telah memfitnah Sujarwo dan menyebut tidak pernah mengatakan bahwa Sujarwo menerima uang dari provider.
“Saya bilang enggak, saya tidak mengatakan itu, tidak bilang Pak Surjawo menerima uang itu, saya membantah hal itu,” jelas BK.
BK menjelaskan, pemasangan tiang internet dilakukan untuk membantu warga dengan harga internet murah, akses WiFi gratis, dan paket 200 Mbps sebulan hanya Rp 100.000.
BK mengaku, uang Rp 6 juta yang diterima RW digunakan untuk mendukung kegiatan RW, seperti baju untuk petugas piket dan operasional RW, bukan untuk keuntungan pribadi.
“Pertama, kan di RW ada yang aktif piket, itu yang piket saya berikan baju, sama pengurus RW, dan sisanya untuk mendukung operasional RW,” jelas BK.
Ketua RW itu memastikan tak memakan uang Rp 6 juta dari pihak provider seorang diri.
Semua penggunaan uang Rp 6 juta tersebut tercatat dengan baik dan siap ia pertanggung jawabkan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/08/26/68ad9a0cebf42.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Ketua RW di Jakut Bantah Pungli Pemasangan Tiang Internet: Biar Alam yang Bekerja Megapolitan 26 Agustus 2025
Ketua RW di Jakut Bantah Pungli Pemasangan Tiang Internet: Biar Alam yang Bekerja
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Ketua RW 01, Warakas, Tanjung Priok, Jakarta Utara, R Bagus Kusumo Hardoyo membantah melakukan pungutan liar (pungli) karena mengizinkan pemasangan tiang internet di wilayahnya. Tuduhan itu datang dari Ketua RT 01, RW 01, Sujarwo.
“Biar alam saja yang bekerja,” ucap Bagus saat diwawancarai Kompas.com di Jalan Gorontalo, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Selasa (26/8/2025).
Bagus memang mengaku menerima uang Rp 6 juta dari pihak provider sebagai bentuk kompensasi ke RW.
Namun, ia memastikan bahwa dana tersebut bukanlah pungli. Sebab, pihak provider meminta izin ke 14 RW yang ada di Warakas.
Tapi, hanya ada empat RW yang memberikan izin, sementara 10 RW lagi menolak.
Alasan Bagus mengizinkan pemasangan tiang internet itu karena dianggap bisa membantu warganya.
“Karena tawarannya Rp 100.000 untuk 200 MBPS sebulan, ada pemasangan internet gratis, kenapa kita enggak diterima,” ungkap Bagus.
Bagus pun memastikan, uang Rp 6 juta itu tidak masuk ke kantong pribadinya, melainkan digunakan untuk operasional RW.
“Pertama, kan di RW ada yang aktif piket, itu yang piket saya berikan baju, sama pengurus RW, dan sisanya untuk mendukung operasional RW,” kata Bagus.
Untuk diketahui, Sujarwo melaporkan Bagus ke polisi atas tudingan pencemaran nama baik dan pungli.
Sebab, Sujarwo tak terima namanya disebut ikut menerima uang Rp 6 juta dari pihak provider atas perizinan pemasangan tiang internet.
Sujarwo sendiri mengaku sama sekali tidak mengetahui soal pemasangan tiang itu, karena tak mendapat sosialisasi dari pihak RW.
Akhirnya, Sujarwo membuat surat delik laporan ke polisi untuk mengetahui apakah tindakan Bagus termasuk pungli atau tidak.
Jika termasuk pungli, maka Sujarwo akan melanjutkan laporannya itu ke polisi.
“Iya akan saya lanjutkan delik laporan ini. Tapi, saya kan harus ada jawaban dari surat yang saya ajukan apakah masuk pungli atau tidak,” ucap Sujarwo.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
/data/photo/2025/12/09/69378299507a9.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2023/12/15/657bfb2a47fe0.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)