JAKARTA — Gelombang aksi masyarakat yang berlangsung dalam beberapa hari terakhir mencapai puncaknya melalui Aksi Musikal 19 November 2025, sebuah gerakan kolaboratif yang digelar di depan Gedung KPK Jakarta.
Aksi ini mempertemukan sutradara film, musisi, aktor lintas generasi, ulama muda, hingga figur publik yang selama ini dikenal vokal dalam menyuarakan aspirasi.
Pemilihan Gedung KPK sebagai pusat aksi bukan tanpa alasan. Lokasi tersebut dipilih sebagai simbol darurat korupsi yang dinilai semakin menggerogoti Indonesia. Sutradara Anggy Umbara menegaskan pesan itu lewat pernyataan tajamnya.
“Generasi koruptor melahirkan generasi pembully,” ujar Anggy dikutip VOI dari siaran media, Kamis, 20 November.
Ia menyoroti bagaimana perilaku elite berdampak langsung terhadap karakter generasi muda.
Aksi ini digagas dan dipimpin oleh sejumlah tokoh seperti Anggy Umbara, musisi Sukatani dan Armia and The Shadows, aktor Chicco Jerikho dan Sinyo, serta ustadz muda Cholidi. Hadir pula Jonathan Latumahina, ayah dari David Ozora, yang dalam beberapa tahun terakhir dikenal sebagai figur publik yang lantang menuntut keadilan.
Melalui musik, orasi, serta penampilan panggung, Aksi Musikal 19 November menjadi simbol bahwa ruang ekspresi masyarakat Indonesia tetap hidup. Di tengah stigma mengenai upaya pembungkaman suara oleh oknum tertentu, aksi ini menunjukkan bahwa perlawanan damai justru semakin tumbuh dan sulit dihentikan.
Salah satu momen paling menggetarkan terjadi ketika musisi Sukatani membawakan lagu “Gelap Gempita”. Dengan aransemen intens dan lirik sarat makna, penampilan itu berubah menjadi semacam mantra kolektif—menghadirkan kembali luka, kemarahan, sekaligus harapan yang lama terpendam.
Area aksi seketika hening sebelum akhirnya pecah oleh tepuk tangan dan teriakan solidaritas saat lagu mencapai klimaksnya. Momen tersebut menegaskan bahwa seni dapat menjadi medium perlawanan yang kuat.
Aktor Chicco Jerikho turut menyampaikan orasi lantang tentang urgensi keberanian untuk menyuarakan kebenaran, menegaskan bahwa “kebenaran tidak bisa dibungkam.” Pernyataannya disambut riuh peserta aksi yang memadati area kegiatan.
Sementara itu, Jonathan Latumahina menegaskan bahwa gagasan “rakyat berkuasa” bukan sekadar slogan, melainkan potensi nyata yang bisa terjadi kapan pun ketika masyarakat bersatu, bersuara, dan menolak dibungkam dengan damai namun tegas.
Aksi ini juga kembali mengangkat perhatian publik pada kasus David Ozora, yang viral sejak 2023 dan memicu solidaritas nasional. Tingginya perhatian masyarakat membuat kasus tersebut diadaptasi ke layar lebar. Film yang mengangkat kisah David Ozora dijadwalkan tayang serentak di seluruh bioskop Indonesia pada 4 Desember 2025, dengan 90% alur peristiwa diambil langsung dari kejadian nyata.
Aksi Musikal 19 November menegaskan bahwa ruang berekspresi publik tidak dapat dengan mudah dipersempit. Ketika seniman, tokoh agama, dan masyarakat bergerak dalam satu frekuensi, pesan yang muncul bukan sekadar solidaritas, tetapi kesadaran kolektif bahwa suara rakyat tidak dapat dinegosiasikan.
Energi yang tercipta hari ini menunjukkan meningkatnya partisipasi publik dan keberanian untuk bersuara—identitas baru masyarakat Indonesia. Semangat yang sama akan kembali hadir melalui film Ozora, yang dapat disaksikan mulai 4 Desember 2025.
