Merangkum Semua Peristiwa
Indeks
Voi.id  

Jelang Akhir 2024, Masalah Fiskal dan Pembengkakan Utang Indonesia jadi Sorotan

Jelang Akhir 2024, Masalah Fiskal dan Pembengkakan Utang Indonesia jadi Sorotan

JAKARTA – Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik J. Rachbini turut menyoroti permasalahan fiskal yang semakin membebani perekonomian Indonesia, terutama terkait dengan pembengkakan utang negara.

Menurut Didik, utang Indonesia terus meningkat secara signifikan dari tahun ke tahun, baik dari segi persentase terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) maupun nominalnya.

Didik menyampaikan dari tahun 2010 hingga 2024, rasio utang Indonesia terhadap PDB mengalami kenaikan dari 26 persen menjadi 38,55 persen. Pada September 2024, total utang pemerintah tercatat mencapai Rp8.473,90 triliun.

“Di luar permasalahan sektoral, ada masalah fiskal yang kita hadapi, yakni utang dari tahun ke tahun terus membengkak dari persentase, apalagi nominalnya. Dari tahun 2010 sampai dengan 2024 rasio utang Indonesia terhadap PDB terus naik dari 26 persen menjadi 38,55 persen. Total utang pemerintah sebesar Rp8.473,90 triliun per September 2024,” jelasnya dalam keterangannya, Jumat, 27 Desember.

Didik menyebutkan bahwa kondisi ini mencerminkan praktik kebijakan dan ekonomi politik utang yang tidak sehat, di mana pemerintah terus memaksimalkan anggaran tanpa kendali yang memadai, sehingga menambah beban utang yang terus membengkak.

Dia juga mengkritik politik anggaran yang mencerminkan kelemahan demokrasi dan kontrol politik yang lemah selama satu dekade terakhir dan juga menyoroti dampak dari tingginya utang ini terhadap kebijakan suku bunga.

“Karena seantero dunia sudah tahu pemimpin di Indonesia kemaruk (bergantung pada) utang, maka tingkat suku bunga tergerak naik tidak masuk akal. Suku bunga obligasi utang ini paling tinggi dibandingkan dengan negara-negara ASEAN,” ujarnya.

Didik menyampaikan tingkat suku bunga Indonesia pun terpaksa dinaikkan hingga mencapai 7,2 persen, yang jauh lebih tinggi dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya dengan konsekuensi harus dibayar yang menguras pajak rakyat dalam jumlah yang besar.

Menurut Didik tingkat suku bunga Indonesia tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan Thailand (2,7 persen), Vietnam (2,8 persen), Singapura (3,2 persen), dan Malaysia (3,9 persen) suku bunga obligasi Indonesia tergolong sangat tinggi. Hal ini terjadi karena Indonesia terus menarik utang baru setiap tahunnya, dengan nilai penarikan utang melebihi Rp1.000 triliun per tahun.

“Akibatnya kualitas belanja memburuk. Porsi membayar bunga utang menjadi paling besar dari seluruh belanja kementrian negara,” ucapnya.

Didik mencatatkan bahwa porsi anggaran untuk membayar bunga utang semakin besar, sehingga menggerogoti belanja kementerian negara. Pada tahun 2014, porsi pembayaran bunga utang hanya sekitar 11,09 persen dari total belanja, namun pada tahun 2024 diperkirakan akan meningkat menjadi 20,10 persen.

“Secara terus-menerus dan akan terkena dampaknya pada pemerintahan Prabowo,” tuturnya.

Didik menyampaikan belanja non-produktif juga semakin mendominasi anggaran, sementara belanja produktif semakin menyusut. Pada tahun 2014, porsi belanja pegawai dan belanja barang sekitar 34 persen, dan diperkirakan akan meningkat menjadi 36 persen pada 2024.

Didik juga memperingatkan bahwa setiap tahunnya, Indonesia harus mengalokasikan sekitar Rp441 triliun dari pajak rakyat hanya untuk membayar bunga utang, tanpa memperhitungkan pokok utang itu sendiri.