Menurut Ibrahim, salah satu penyebab maraknya masyarakat yang ikut-ikutan membeli emas adalah gencarnya pemberitaan dan promosi dari berbagai media. Baik media massa, cetak, online, hingga elektronik dan radio, semua turut memengaruhi persepsi publik.
Akibatnya, banyak yang merasa harus segera membeli emas agar tidak tertinggal, meskipun belum memahami risiko dan karakteristik investasinya.
“Kenapa mereka yang fomo antri, karena edukasi dan sosialisasi dari masyarakat, dari media, ya itu begitu kencang. Baik media massa, media cetak, media online, elektronik maupun radio. Itu begitu kencang sehingga masyarakat itu mereka beralih,” katanya.
Situasi geopolitik global yang memanas, melemahnya daya beli masyarakat, serta suku bunga rendah juga menjadi alasan banyak orang mengalihkan dana mereka ke logam mulia. Dalam kondisi seperti ini, emas dianggap sebagai instrumen lindung nilai (safe haven) yang lebih aman dibanding menaruh uang di bank.
“Ini kondisi yang bagus apalagi masalah geopolitik, kemudian fenomena daya beli masyarakat yang terus menurun. Ya bunganya kecil mendingan saya beli logam mulia. Sehingga disinilah terjadi antrian-antrian,” ujarnya.
Namun demikian, Ibrahim kembali mengingatkan agar masyarakat tetap waspada. Ia mencontohkan, harga emas bisa naik dengan cepat, namun juga bisa turun secara drastis, layaknya helikopter yang jatuh dari ketinggian.
“Harga emas itu akan turun jatuh itu, seperti helikopter jauh dari atas. Karena naiknya pun juga cepat. Kalau naiknya cepat, turunnya juga cepat,” ujarnya.
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5186930/original/090801400_1744629097-20250414-Harga_Emas_Batangan-AFP_3.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)