Jangan Biarkan Bau Bangkai Bicara!

Jangan Biarkan Bau Bangkai Bicara!

Jangan Biarkan Bau Bangkai Bicara!
Saat ini saya bekerja sebagai Dosen Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin. Aktifitas di luar di kampus, saat ini menjadi Sekjen Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI).
BENCANA
besar yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat bukan sekadar peristiwa alam. Ia adalah tragedi kemanusiaan, luka sosial, dan ujian solidaritas bangsa.
Siapa pun yang berdiri di tengah lokasi terdampak hari ini pasti akan terdiam. Bukan karena tidak peduli, tetapi karena tidak tahu harus mulai dari mana.
Sejauh mata memandang, yang terlihat hanya reruntuhan, lumpur, pepohonan tumbang, kendaraan ringsek, dan rumah-rumah yang berubah menjadi serpihan.
Jalan-jalan tertutup material longsor. Jembatan patah. Aliran sungai berubah. Dan bau bangkai menyengat menusuk udara—pertanda ancaman penyakit sedang menunggu waktu untuk merebak.
Pada titik ini, kita harus jujur: pemulihan tidak bisa dilakukan dengan tenaga manual. Tidak dengan tangan kosong, tidak dengan cangkul, tidak dengan skop.
Kerusakan ini terlalu luas. Terlalu kompleks. Terlalu masif.
Data terakhir, sudah 961 jiwa tewas. Puluhan ribu lainnya kehilangan rumah. Jutaan orang mengungsi.
Ini bukan bencana biasa. Ini adalah bencana tingkat nasional, sekalipun belum ditetapkan sebagai demikian.
Pemerintah tentu punya pertimbangan mengapa belum menyatakannya sebagai bencana nasional. Namun, negara tidak perlu sebuah deklarasi untuk menunjukkan keberpihakan.
Dan saat ini, yang dibutuhkan bukan sekadar kehadiran, tetapi penggerahan sumber daya besar-besaran. Karena waktu sedang menjadi musuh.
Semakin lama puing dan material menumpuk, dampaknya semakin lama mobilitas warga tersendat. Bantuan terhambat. Air kotor meluas. Penyakit menular mengintai. Jenazah sulit ditemukan. Trauma masyarakat mengeras.
Kita tidak boleh kalah oleh waktu. Intervensi alat berat jalan satu-satunya.
Kerusakan seluas ini hanya bisa dipulihkan dengan alat berat dalam jumlah yang luar biasa banyak. Tidak cukup 10 unit, 20 unit, bahkan tidak cukup 100 unit.
Dalam kondisi seperti ini, dibutuhkan ratusan hingga ribuan alat berat untuk bekerja serentak seperti ekskavator, loader, dozer, dump truck, crane, alat sortir sampah dan material.
Pekerjaan yang biasanya butuh satu tahun, harus dipadatkan menjadi hitungan minggu. Karena setiap hari keterlambatan berarti nyawa dan kesehatan masyarakat menjadi taruhannya.
Pertama, Kementerian PUPR punya jaringan kontraktor terbesar di republik ini. Punya suplai alat berat berlimpah. Punya pengalaman rekonstruksi cepat pasca-bencana.
Satu instruksi langsung dapat menggerakkan ratusan unit ke titik terdampak.
Kedua, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Pengusaha-pengusaha pemegang konsesi hutan—HTI, HPH, dan pemegang izin lainnya—memiliki alat berat di lapangan.
Mereka mendapat manfaat dari alam. Kini saatnya mereka berbalas budi pada alam dan pada rakyat.
Ketiga, Kementerian ESDM dan perusahaan tambang. Industri pertambangan adalah sektor dengan kepemilikan alat berat paling masif. Ekskavator 20 ton, dump truck raksasa, bulldozer—semua ada.
Untuk bencana sebesar ini, hentikan aktivitas tambang sementara waktu. Kerahkan armada ke Sumatera. Inilah bentuk empati yang nyata.
Keempat, para pemilik modal dan fasilitas. Tidak semua kontribusi harus dalam bentuk uang. Aset, fasilitas, armada, dan logistik jauh lebih dibutuhkan sekarang.
Empati bukan hanya tentang memberi; ini tentang hadir dan menolong dengan apa yang kita punya.
Bencana ini bukan milik Sumatera. Ini milik Indonesia. Jika ribuan orang telah kehilangan rumah, jika anak-anak kehilangan orangtua, jika lansia tak punya tempat tidur, apakah kita masih bisa membiarkan pemulihan bergerak pelan?
Negara besar diuji bukan pada saat aman, tetapi pada saat warganya berteriak meminta pertolongan.
Dan hari ini, jeritan itu jelas dan nyaring. Kita hanya perlu mendengarkan.
Ini soal kemanusiaan, bukan administrasi. Semoga pemerintah pusat, para pengusaha, para pemilik alat berat, para pemilik fasilitas, dan siapa pun yang diberi kemampuan oleh Tuhan, dapat melihat bencana ini dengan hati terbuka.
Karena rakyat yang tertimbun lumpur, rakyat yang kehilangan keluarga, rakyat yang menunggu bantuan— tidak bertanya apakah ini bencana nasional atau bukan.
Yang mereka butuhkan adalah: tindakan cepat, kepedulian, dan kehadiran negara.
Saatnya sumber daya nasional digerakkan secara masif. Saatnya Indonesia menunjukkan bahwa di tengah duka sebesar ini, kita tetap satu bangsa yang tidak membiarkan siapa pun tertinggal.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.