Banyuwangi (beritajatim.com) – Setiap memasuki bulan Dzulhijah, warga Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi kembali menggelar tradisi unik yang sudah diwariskan secara turun-temurun, yakni Mepe Kasur atau menjemur kasur.
Tradisi yang dilakukan masyarakat merupakan bagian dari rangkaian ritual bersih desa yang dilaksanakan setiap tahun, sebagai bentuk penyambutan bulan haji.
Sejak Kamis (29/5) pagi, ribuan kasur berwarna merah dan hitam dijemur secara serempak di depan seluruh rumah warga. Warna kasur yang seragam menjadi pemandangan khas yang hanya bisa ditemui saat ritual ini berlangsung.
Seluruh warga setempat tampak membersihkan kasur dengan cara memukulnya menggunakan penebah dari rotan untuk menghilangkan debu yang menempel.
Salah satu sesepuh Desa Kemiren, Mbah Ani mengaku warna merah dan hitam yang ada di kasur tersebut bukan sekadar pilihan estetika semata.
“Lebih dari itu, warna merah melambangkan keberanian, sedangkan hitam berarti kelanggengan. Ini jadi simbol bahwa dalam rumah tangga, kita harus berani dan langgeng dalam menjalaninya,” ungkapnya.
Ketua Adat Kemiren, Suhaimi, menjelaskan bahwa kasur dianggap sebagai benda yang paling dekat dengan manusia, sehingga wajib dibersihkan secara ritual.
“Menjemur kasur dimulai sejak matahari terbit hingga menjelang tengah hari. Saat menjemur, warga membaca doa dan memercikkan air bunga di halaman rumah, tujuannya agar dijauhkan dari bencana dan penyakit,” jelas Suhaimi.
Uniknya, kasur harus segera dimasukkan kembali ke dalam rumah sebelum matahari terbenam. Jika tidak, dipercaya khasiatnya untuk menangkal penyakit dan membawa berkah akan hilang.
“Kalau sampai sore ya nanti khasiatnya menurun. Apalagi kalau kemalaman. Bisa ndak sehat,” tambah Suhaimi.
Uniknya, selain memiliki warna yang seragam, ketebalan kasur juga memiliki makna tersendiri. Semakin tebal kasur, menunjukkan bahwa pemiliknya termasuk orang yang berada di desa tersebut.
Menariknya, setiap pasangan yang menikah akan mendapatkan kasur baru dari orang tuanya, sehingga menjadikan kasur ini sebagai simbol ikatan keluarga.
Sebagai informasi, puncak acara berlangsung pada malam hari dengan ritual Tumpeng Sewu. Warga secara serentak mengeluarkan tumpeng khas Osing berupa pecel pitik (ayam yang di panggang) yang disajikan dengan parutan kelapa. Suasana semakin sakral dengan dinyalakannya obor di depan rumah-rumah warga, sehingga menciptakan nuansa tradisional yang penuh kekhidmatan dan kebersamaan.
Tradisi Mepe Kasur bukan hanya sekadar kegiatan budaya, tetapi juga bentuk refleksi masyarakat Osing dalam menjaga kebersihan lahir dan batin, sekaligus mempererat tali silaturahmi antar warga. [tar/ian]
