JAKARTA, — Universitas Negeri Makassar (UNM) menjadi tuan rumah diskusi publik keempat draf Buku Sejarah Indonesia yang digagas Kementerian Kebudayaan. Forum ini merupakan bagian dari rangkaian diskusi yang dimulai sejak Juli 2025, sebelumnya digelar di UI, ULM Banjarmasin, dan UNP Padang.
Diskusi berlangsung di Ballroom Teater Menara Pinisi UNM, Senin, 4 Agustus, menghadirkan para editor utama dan editor jilid yang memaparkan arah, pendekatan, serta visi besar penulisan sejarah nasional. Mereka membuka ruang partisipasi masyarakat untuk menyumbang gagasan atas narasi baru sejarah Indonesia.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyebut penyusunan ulang sejarah ini sebagai langkah strategis dalam merespons tantangan zaman. “Kami ingin menghadirkan narasi sejarah yang lebih kontekstual dan relevan, terutama bagi generasi muda di tengah ancaman disintegrasi sosial dan polarisasi politik,” tegasnya.
Buku ini ditulis oleh para sejarawan profesional dari berbagai bidang, dengan pendekatan akademis yang reflektif. “Ini bukan sekadar proyek dokumentasi, tapi instrumen membangkitkan kembali kesadaran kolektif menuju Indonesia 80 tahun merdeka,” lanjutnya.
Direktur Sejarah dan Permuseuman, Agus Mulyana, menekankan pentingnya diskusi publik sebagai wadah aspirasi. “Kami butuh saran konkret dan jujur dari publik agar hasil akhir penulisan objektif dan partisipatif,” ujarnya.
Prof. Karta Jayadi, Rektor UNM, menyambut baik keterlibatan kampusnya. “Sejarah adalah ruang terbuka. Kehadiran Kementerian Kebudayaan di sini menjadi penanda penting dalam perjalanan historiografi kita,” katanya.
Dalam sesi diskusi, Prof. Susanto Zuhdi menekankan pentingnya membangun kerangka konseptual sejarah kebangsaan yang relevan dengan masa kini. Sementara Prof. Singgih menambahkan bahwa buku ini menghadirkan pembaruan dari sisi metodologi, fakta, dan paradigma berpikir sejarah.
Diskusi dihadiri peserta dari kalangan akademisi, budayawan, mahasiswa, dan komunitas. Tokoh masyarakat seperti guru dari Sulawesi Barat, Muhammad Idris, mengusulkan agar buku ini dijadikan bahan ajar resmi. Arif Sigit, budayawan Makassar, meminta adanya kanal aspirasi publik di luar forum.
Menjawab itu, Prof. Zuhdi menegaskan bahwa meski terbatas, sejarah lokal akan tetap ditulis secara paralel. Ia juga menekankan independensi penuh dalam proses penulisan.
Menutup acara, Agus Mulyana menyampaikan komitmen kementerian untuk terus menulis dan menerbitkan jilid lanjutan. “Target kami, dalam lima tahun ke depan akan semakin banyak jilid yang terbit dan memperkaya narasi sejarah bangsa.”
