Ramadan bukan hanya tentang aspek fisik, tetapi juga merupakan kesempatan untuk membersihkan hati, memperdalam spiritualitas, dan mempererat hubungan sosial. Dalam momen yang penuh ampunan ini, umat Islam berusaha meraih pahala sebanyak-banyaknya dan menumbuhkan rasa syukur atas segala nikmat yang diberikan oleh-Nya.
Hal ini tertuang pada Q.S.al-Baqarah [2]:183.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ
Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (Q.S.al-Baqarah:183).
Menurut Abdullah bin Mas’ud, apabila suatu ayat telah dimulai dengan panggilan kepada orang yang percaya, sebelum sampai hingga akhirnya kita sudah tahu bahwa ayat ini mengandung perihal yang penting atau larangan yang berat. Oleh karena itu, ayat ini menegaskan bahwa puasa di bulan Ramadan merupakan suatu hal yang wajib.
Bahkan Nabi SAW memiliki cara tersendiri dalam menyambut bulan suci Ramadan dengan memperbanyak puasa sunah di bulan Syakban. Salah satu riwayat yang masyhur diceritakan Sayyidah Aisyah radliyallahu ‘anha, bahwa Nabi SAW mengisi bulan Syakban dengan memperbanyak berpuasa.
.ْمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلَّا رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ
. َ أَخْرَجَه ُ الْبُخَارِي ُّ وَمُسْلِم
Tidaklah aku melihat Rasulullah SAW berpuasa sebulan penuh kecuali Ramadan dan aku tidak melihat beliau berpuasa sebanyak pada bulan Syakban. (H.R. al-Bukhari dan Muslim).
Hadis di atas setidaknya memunculkan nilai-nilai yang baik dalam menyambut bulan suci Ramadan. Uniknya terdapat tradisi tersendiri di kalangan masyarakat dalam menyambut bulan suci Ramadan dengan mengakulturasikannya pada budaya. Tradisi meugang di Aceh dan megengan di Jawa adalah dua contoh ritual budaya yang mendalam dan sangat dihargai oleh masyarakat setempat, terutama dalam konteks menyambut bulan Ramadan, Idulfitri, dan Iduladha.
Kedua tradisi ini menggabungkan dimensi sosial, budaya, dan keagamaan yang saling berkaitan, menciptakan sebuah kesempatan untuk mempererat hubungan sosial, menunjukkan rasa syukur, dan mempersiapkan diri secara spiritual untuk menjalani ibadah puasa.
Tradisi Meugang di Aceh
Meugang merupakan tradisi yang dilaksanakan pada tiga waktu utama, menjelang Ramadan, Idulfitri, dan Iduladha. Pada hari-hari tersebut, masyarakat Aceh melakukan pemotongan hewan seperti sapi atau kambing yang dibeli secara kolektif. Setelah penyembelihan dilakukan sesuai dengan prosedur syar’i, daging hewan tersebut dibagikan kepada keluarga, tetangga, dan masyarakat sekitar.
Pembagian daging ini memiliki makna simbolis berupa rasa kebersamaan dan berbagi, terutama kepada mereka yang kurang mampu, yang menjadikan meugang sebagai bentuk solidaritas sosial yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Aceh.
Terdapat empat model yang dipraktikkan masyarakat Aceh dalam menyediakan daging untuk meugang. Pertama, acara meuripee, di mana masyarakat mengumpulkan uang untuk membeli hewan sembelihan yang kemudian dibagikan sesuai kontribusi peserta. Kedua, membeli daging pada agen yang akan menyembelih hewan pada hari meugang, dengan daging dibagikan dalam bentuk tumpok (campuran daging, tulang, dan kulit).
Ketiga, membeli daging di pasar, di mana pedagang daging menjualnya dengan harga yang lebih tinggi, dan berbagai kalangan membelinya sesuai status sosial mereka. Keempat, beberapa masyarakat memilih menyembelih ayam atau bebek yang dipelihara sendiri, biasanya oleh mereka yang kurang mampu, sebagai alternatif untuk merayakan meugang.
Tradisi Megengan di Jawa
Sama halnya dengan meugang, tradisi megengan dilakukan beberapa hari sebelum Ramadan, biasanya melalui acara makan besar bersama keluarga besar atau tetangga, dengan hidangan khas seperti nasi, lauk-pauk, dan hidangan tradisional lainnya. Selain makan bersama, tradisi ini juga mencakup kegiatan bersih-bersih rumah dan desa, serta menghias rumah dengan ornamen khas.
Dimensi sosial dari megengan terletak pada kebersamaan yang tercipta antara anggota keluarga dan masyarakat sekitar. Acara makan bersama menjadi ajang untuk mempererat hubungan sosial antar individu dan memperkuat rasa kebersamaan dalam komunitas. Selain itu, megengan juga melibatkan pembagian makanan kepada tetangga atau mereka yang kurang mampu, menunjukkan solidaritas sosial yang kuat di kalangan masyarakat Jawa.
Secara keagamaan, megengan memiliki makna sebagai bentuk rasa syukur dan kesiapan untuk menjalankan ibadah puasa. Makanan yang disajikan dalam acara megengan tidak hanya berfungsi sebagai hidangan fisik, tetapi juga sebagai simbol persiapan batin untuk menahan nafsu dan menjalankan ibadah puasa dengan penuh kesabaran.
Dalam banyak kasus, acara megengan juga disertai dengan doa bersama sebagai bentuk harapan agar bulan Ramadan dapat dijalani dengan baik dan penuh berkah.
Kesamaan antara Meugang dan Megengan
Titik temu meugang dan megengan terletak pada dimensi sosial dan keagamaan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Aceh dan Jawa. Kedua tradisi ini berfungsi sebagai sarana untuk mempererat hubungan sosial antar individu dalam komunitas, sambil menunjukkan rasa syukur dan berbagi kebahagiaan. Keduanya juga mengandung makna spiritual yang mendalam, yang mengingatkan umat Islam akan pentingnya berpuasa dan menahan diri.
Baik meugang maupun megengan mengajarkan nilai-nilai kebersamaan, solidaritas, dan ketaatan kepada Allah Swt, serta mempersiapkan umat Islam untuk menjalani ibadah puasa dengan penuh kesabaran dan pengendalian diri. Selain itu, kedua tradisi ini juga memberikan dampak positif pada sector ekonomi, dengan mendorong perputaran ekonomi lokal, terutama bagi pedagang dan peternak.
Dengan demikian, baik meugang maupun megengan tidak hanya berfungsi sebagai tradisi budaya, tetapi juga sebagai manifestasi dari ajaran Islam yang mengajarkan kebersamaan, rasa syukur, dan persiapan spiritual dalam menjalankan ibadah puasa.
*Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI)