Saat ini, Indonesia berada pada peringkat rendah dalam hal minat membaca. Hasil Programme for International Student Assesment (PISA) yang dilakukan oleh Organisation for Economic Co-Operation and Development (OECD) pada 2022 menunjukkan Indonesia mendapatkan skor 359 dalam aspek membaca. Skor tersebut tergolong rendah karena skor rata-rata membaca 476.
Data lain menunjukkan pemeluk agama Islam di Indonesia mencapai angka 87,2 persen. Hal ini membuat Indonesia menjadi salah satu negara berpenduduk mayoritas muslim. Menariknya, dalam Islam, membaca sangat dianjurkan. Hal ini bisa dilihat dari wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, yaitu iqra (bacalah).
Secara teori, umat muslim seharusnya gemar membaca, tetapi kenyataannya minat baca di Indonesia masih rendah. Oleh karena itu, Ramadan hendaknya menjadi momentum untuk mulai membangun kebiasaan baru, yaitu membaca buku.
Ramadan merupakan bulan yang penuh kemuliaan. Pada Ramadan, Al-Qur’an diturunkan dari lauhulmahfuz ke baitul izzah. Oleh karena itu, Ramadan juga dikenal sebagai syahrul Qur’an atau bulan Al-Qur’an. Ayat pertama yang diturunkan melalui perantara Jibril kepada Nabi Muhammad adalah surat Al-‘Alaq ayat 1-5:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ خَلَقَ الْإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ عَلَّمَ الْإِنسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia, yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.”
Secara literal, iqra menunjukkan betapa pentingnya membaca dalam Islam. Apa yang dimaksud dengan membaca di sini? Menurut Muhammad Abduh, iqra adalah membaca dengan berulang-ulang. Penafsiran ini didasarkan pada kronologi penerimaan wahyu pertama, yakni ketika Jibril mengulang wahyu pertama sebanyak tiga kali kepada Nabi Muhammad. Ini berarti untuk mengamalkan iqra, seseorang tidak bisa membaca selama satu atau dua kali, tetapi dijadikan kebiasaan.
Sedangkan menurut Yusuf Qardhawi, iqra diartikan sebagai membaca, memahami, merenungi, melakukan refleksi, serta mengamalkan hal-hal yang telah dipelajari dalam kehidupan. Wahyu pertama merupakan fondasi manusia untuk sadar akan urgensi ilmu pengetahuan secara teori yang darinya terciptalah peradaban. Maka, umat muslim seharusnya senantiasa membaca, sehingga bisa menciptakan peradaban yang maju, beradab, dan penuh kebijaksanaan, seperti masa kejayaan Islam pada masa lalu.
Namun, iqra tidak hanya terbatas pada membaca buku dan hal-hal yang berbau ilmiah. Lebih dari itu, iqra juga berarti membaca keadaan sekitar, membaca perasaan orang lain, memahami situasi, dan menjalani hidup dengan penuh kesadaran. Seorang muslim diajarkan untuk hidup dengan kesadaran penuh–akan diri sendiri, Tuhan, lingkungan, serta keadaan orang lain–yang pada akhirnya melatih diri untuk lebih berempati.
Ketika ingin mengamalkan iqra dalam kehidupan sehari-hari, perlu dilakukan setidaknya tiga hal:
1. Membiasakan membaca Al-Qur’an dengan pemahaman yang lebih mendalam.
2. Membaca buku-buku yang menambah wawasan dan meningkatkan kualitas diri.
3. Mempraktikkan “membaca” dalam arti yang lebih luas, yakni memahami lingkungan, kondisi sosial, dan keadaan orang lain.
Memulai membiasakan iqra sangat ideal dilakukan saat Ramadan. Selama Ramadan banyak ditemui tadarus Al-Qur’an setiap hari, kajian keislaman, serta halakah, yang merupakan jalan mengamalkan iqra. Tidak hanya itu, saat Ramadan hendaknya dibiasakan membaca buku saat menunggu sahur, menunggu buka puasa, atau saat luang pada siang hari.
Ramadan juga dapat mengasah skill iqra dengan menumbuhkan kepekaan sosial. Orang yang berpuasa tidak hanya merasakan haus dan lapar semata, juga belajar berempati terhadap mereka yang tidak memiliki privilese. Namun, empati saja tidak cukup. Harus ada aksi nyata, seperti memperbanyak sedekah dan membantu sesama.
Mungkin selama ini ada yang telah menjalani kehidupan sebagai muslim, tetapi belum menjalankan kandungan wahyu pertama ini. Oleh karena itu, Ramadan merupakan waktu ideal untuk membangun kebiasaan yang mengarahkan umat muslim pada perintah iqra. Setidaknya ada tiga langkah konkret yang bisa dilakukan:
1. Membaca satu halaman Al-Qur’an setiap hari dengan tafsirnya.
2. Mengalokasikan waktu khusus untuk membaca buku yang bermanfaat. Cukup dengan 15 menit sehari dan lakukan setiap hari hingga membaca menjadi kebiasaaan baru dalam keseharian.
3. Meningkatkan kepekaan sosial dengan “membaca” kondisi masyarakat dan aktif membantu sesama.
Dengan demikian, Ramadan bukan hanya menjadi bulan menahan lapar dan dahaga, juga bulan untuk merefleksikan dan membangun kebiasaan intelektual serta spiritual yang lebih baik. Ayo, mulai sekarang biasakan iqra dalam arti sesungguhnya!
Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI).