Umumnya, rekomendasi penggunaan galon guna ulang yang terbuat dari plastik polikarbonat hanya digunakan hingga 40 kali pengisian ulang, atau sekitar 1 tahun pemakaian. Jika lebih dari itu, material galon bisa mengalami kerusakan mikro yang kemudian memicu pelepasan senyawa kimia berbahaya, yaitu Bisphenol A (BPA) ke dalam air minum. Belakangan ini, BPA menjadi perhatian karena efeknya bisa mengganggu sistem hormon tubuh jika diakumulasikan dalam jangka panjang.
David juga menyoroti bahwa penanganan dan distribusi yang tidak tepat turut memperburuk kondisi galon guna ulang (ganula). Ia menyebut sekitar 75 persen galon diangkut menggunakan truk bak terbuka, membuatnya terpapar langsung sinar matahari yang mempercepat kerusakan material. Selain itu, proses pencucian di banyak depot air minum masih menggunakan detergen keras dan sikat kasar, yang berisiko menggores permukaan dalam galon dan memperbesar potensi peluruhan BPA ke dalam air minum.
“Masalahnya, BPA tidak menimbulkan sakit mendadak. Kerusakannya perlahan, tapi dampaknya akumulatif. Kita minum air setiap hari tanpa sadar, padahal risikonya makin besar seiring umur galon. Itulah kenapa kita tidak boleh menggunakan ganula,” jelas David.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), sekitar 40% masyarakat Indonesia atau sekitar 111 juta jiwa mengandalkan air minum galon sebagai sumber air utama. Melihat kondisi iini, KKI mendesak pemerintah segera merumuskan aturan tegas terkait batas usia galon guna ulang dan standar penanganan yang aman.
“Air minum yang aman seharusnya tidak membawa risiko tersembunyi bagi kesehatan kita,” tegas David.
(*)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5273410/original/023854200_1751621197-Depositphotos_240390554_L.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)