Bisnis.com, JAKARTA — Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat terjadi perlambatan pertumbuhan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) atau investasi pada kuartal III/2025, secara kuartalan maupun tahunan.
Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS Moh. Edy Mahmud mengungkapkan investasi tumbuh sebesar 5,04% secara tahunan (year on year/YoY) pada kuartal III/2025. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan pertumbuhan 6,99% YoY pada kuartal II/2025 dan 5,16% YoY pada periode yang sama tahun sebelumnya. Ia menjelaskan sejumlah komponen investasi memang mengalami perlambatan pertumbuhan.
“Pertumbuhan [komponen] PMTB yang secara year on year adalah bangunan serta mesin dan perlengkapan. Nah kalau secara QtQ [kuartalan] yang mengalami pertumbuhan melambat dibandingkan Q2/2025 adalah jenis barang modal mesin dan perlengkapan,” ujar Edy dalam konferensi pers di Kantor BPS, Rabu (5/11/2025).
PMTB atau investasi merupakan komponen pengeluaran kedua terbesar dalam struktur produk domestik bruto (PDB), setelah konsumsi rumah tangga. Pada kuartal III/2025, konsumsi rumah tangga tercatat memberikan kontribusi sebesar 29,09% terhadap PDB nasional.
Sementara itu, BPS melaporkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III/2025 sebesar 5,04% YoY, sedikit naik dibandingkan 4,95% YoY pada periode yang sama tahun lalu, namun melambat dari 5,12% pada kuartal sebelumnya.
Edy menjelaskan, PDB Indonesia atas dasar harga berlaku mencapai Rp6.060 triliun, sedangkan atas dasar harga konstan mencapai Rp3.444,8 triliun. “Ditopang oleh aktivitas domestik dan permintaan luar negeri, ekonomi Indonesia kuartal III/2025 tumbuh sebesar 5,04%,” ujarnya.
Pertumbuhan tersebut berada di atas proyeksi para analis. Sebanyak 30 ekonom yang dihimpun Bloomberg sebelumnya memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III/2025 hanya mencapai 5% YoY.
Pengusaha Tahan Ekspansi
Perlambatan investasi, khususnya pada sektor bangunan dan mesin, mencerminkan masih banyak pelaku usaha yang menahan ekspansi. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani menuturkan, margin keuntungan perusahaan semakin menipis karena kenaikan biaya produksi.
“Selama biaya logistik, energi, dan pembiayaan masih tinggi, ruang napas industri tetap sempit,” ujarnya kepada Bisnis, Selasa (4/11/2025).
Dalam laporan S&P Global, PMI Manufaktur Indonesia tercatat berada di level 51,2 pada Oktober 2025. Meskipun masih berada di zona ekspansi, laporan itu menunjukkan kenaikan biaya input paling tajam dalam delapan bulan terakhir serta waktu pengiriman yang memanjang akibat gangguan distribusi.
Shinta menambahkan, banyak produsen menahan kenaikan harga jual untuk menjaga daya saing di pasar. “Mereka bertahan lewat efisiensi operasional, negosiasi harga pasokan, hingga menunda ekspansi besar, tetapi kemampuan untuk menahan margin jelas terbatas,” ujarnya.
Apindo menilai pemerintah perlu mempercepat kebijakan penurunan biaya logistik, yang saat ini mencapai 23 persen terhadap PDB, serta meninjau kembali harga listrik dan gas industri yang masih tinggi. Selain itu, bunga kredit yang mahal juga menjadi faktor penghambat daya saing dan profitabilitas industri.
“Di sisi lain, akses pembiayaan juga belum longgar. Tak heran, minat ekspansi dunia usaha saat ini cenderung selektif. Tak sedikit perusahaan menahan investasi besar karena margin tertekan dan prospek permintaan yang belum kuat,” ujar Shinta.
Ia menegaskan, pelaku usaha akan kembali agresif berinvestasi apabila terdapat kepastian kebijakan dan peningkatan efisiensi biaya. “Namun, mereka siap bergerak begitu sinyal stabilitas kebijakan dan efisiensi biaya semakin nyata,” katanya.
