Industri Petrokimia Kritisi Rencana Proyek DME Pengganti LPG

Industri Petrokimia Kritisi Rencana Proyek DME Pengganti LPG

Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah terus mendorong pengembangan proyek Dimethyl Ether (DME) sebagai bahan bakar alternatif untuk mengurangi ketergantungan impor Liquefied Petroleum Gas (LPG). 

Namun, pelaku industri petrokimia menilai bahwa keekonomian DME masih perlu dikaji lebih dalam, terutama terkait harga, rantai proses, dan beban regulasi.

Sekjen Asosiasi Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiyono mengatakan saat ini kebutuhan LPG untuk industri berkisar 6 juta ton. Sementara itu, konsumsi keseluruhan mencapai  10 juta ton. 

Proyek DME diproyeksikan dapat menekan ketergantungan impor tersebut karena bahan bakunya berasal dari batu bara dalam negeri melalui proses coal-to-DME.

“Dari sisi industri petrokimia, sebenarnya tidak ada keberatan terhadap pengembangan DME,” kata Fajar kepada Bisnis, dikutip Minggu (16/11/2025). 

Pasalnya, proses produksi DME umumnya menghasilkan produk samping berupa metanol, yang juga menjadi bahan baku penting bagi sejumlah industri, termasuk proses methanol-to-olefin (MTO) serta campuran untuk biodiesel.

Namun demikian, pelaku industri menilai tantangan terbesar ada pada keekonomian harga DME dibandingkan LPG. Terlebih, saat ini proses MTO masih belum kompetitif. 

“Harga DME dibandingkan LPG, murah mana? Itu yang perlu dihitung. Methanol-to-olefin itu masih minus. Yang masih positif sekarang itu refinery-to-olefin atau langsung coal-to-olefin,” jelasnya. 

Fajar menyebut pemrosesan batu bara menjadi metanol kemudian diolah menjadi olefin akan membuat rantai proses terlalu panjang dan tidak ekonomis. 

Selain persoalan keekonomian, industri juga menyoroti aspek regulasi dan perpajakan, yang dinilai dapat semakin membebani biaya produksi. 

“Dari sisi regulasi perlu dibedah lagi karena ada banyak aturan, terutama soal perpajakan. Dari coal-to-methanol kena pajak, methanol-to-olefin kena pajak lagi. Ini akan membuat keekonomian DME semakin buruk,” ujarnya.

Dengan berbagai pertimbangan tersebut, sebagian pelaku industri menyatakan lebih memilih skema coal-to-chemical secara langsung, yang dinilai memberikan keekonomian lebih baik pada kondisi saat ini. 

“Kalau DME itu nanti kembali lagi seberapa besar keekonomiannya, apakah cukup menarik. Tapi untuk sekarang, coal-to-chemical lebih bagus secara keekonomian,” pungkasnya.

Untuk diketahui, data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memproyeksikan kebutuhan LPG pada 2026 akan mencapai 10 juta ton. Dari angka tersebut, sekitar 6,8 juta ton atau 68% masih harus dipenuhi dari impor, membebani anggaran negara miliaran dolar AS setiap tahunnya.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian ESDM, Laode Sulaeman, mengungkapkan pendekatan realistis yang diambil pemerintah. Fokus utama saat ini bukan pada besaran persentase penggantian LPG, melainkan pada keberlanjutan proyek itu sendiri.

“Pak Menteri sudah menggarisbawahi bahwa kalau kita hitung terus keekonomiannya ini nggak jalan-jalan. Seharusnya kita jalanin dulu, sudah implementasi kita hitung ulang keekonomiannya seperti apa. Tapi dia harus menghasilkan dulu DME-nya,” ujar Laode, Rabu (29/10/2025).

Laode menambahkan, pemerintah tidak ingin terburu-buru. Soal konversi, pemerintah menyebut keberadaan DME sama dengan proyek jargas.

Dengan begitu, meski target Menteri Bahlil ambisius, eksekusi di lapangan akan dilakukan dengan hati-hati, memprioritaskan kelayakan jangka panjang. Dengan basis konsumen LPG yang mencapai lebih dari 50 juta, nantinya substitusi ke DME tidak akan langsung signifikan, melainkan bertahap.

Soal infrastruktur distribusi, untuk mengatasi tantangan biaya, pemerintah mengusung strategi pemanfaatan infrastruktur eksisting. Pertamina, yang ditunjuk sebagai offtaker, akan mendistribusikan DME menggunakan rantai pasok dan tabung LPG yang sudah ada.

“Kalau mau murah ya, kalau mau bikin semua infrastruktur baru nanti akan mahal lagi. Jadi harusnya yang existing LPG tadinya dipakai buat LPG, nah ini dipakai buat DME. Jadi cost tidak terlalu tinggi dari sisi penyiapan infrastruktur,” tegas Laode.