Jakarta –
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mendorong kebijakan gas murah untuk industri alias Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) untuk diperpanjang. Langkah ini dimaksudkan untuk mendukung industri dalam negeri, termasuk industri keramik dan kaca di RI.
Direktur Industri Semen, Keramik dan Pengolahan Bahan Galian Non-Logam Kemenperin Putu Nadi Astuti mengatakan kebijakan HGBT sebetulnya sudah berlaku sejak 2020 lalu dan akan berakhir tahun ini. Untuk itu menurutnya penting bagi pemerintah untuk segera memperpanjang insentif ini.
“Industri ini sebenarnya sudah mendapatkan insentif berupa kebijakan HGBT sejak 2020, dan kalau kita lihat regulasinya, Peraturan Presiden-nya, itu akan berakhir di tahun 2024 ini dan pemerintah dalam hal ini Kemenperin, bapak Menteri Perindustrian (Agus Gumiwang Kartasasmita) selalu mengupayakan agar insentif HGBT ini dapat dilanjutkan,” kata Putu dalam Media Talks di Kantor Kemenperin, Rabu (11/12/2024).
“Saat ini memang masih dalam proses ya, proses revisi Peraturan Presiden tersebut. Jadi, kalau misalnya revisinya sudah selesai, kami harapkan bisa selesai segera, karena tahun 2025 ini sebentar lagi. Jadi, kita dorong ya dari pemerintah, dorong supaya revisi Perpres tersebut dapat segera diselesaikan, sehingga insentif HGBT ini dapat berlanjut,” jelasnya lagi.
Menurutnya keberlanjutan kebijakan gas murah ini sangat penting bagi industri, khususnya yang bergerak di bidang keramik dan kaca, mengingat sekitar 20-30% ongkos produksi dipengaruhi oleh harga gas untuk industri.
“Industri glassware dan keramik, tableware ini kebutuhan energinya sangat tinggi ya. Jadi industri ini termasuk industri yang lahap energi. Kebutuhan energinya sekitar 20-30%, sehingga harga energi di industri ini sangat berdampak terhadap biaya produksi,” terang Putu.
Selain perpanjangan masa berlaku aturan gas murah, Putu juga meminta kepada pihak terkait agar implementasi gas murah ini dapat berlaku sesuai dengan aturan yang ada. Sebab menurutnya selama ini harga gas yang dikenakan kepada para pelaku industri masih di atas kebijakan HGBT.
“Secara kebijakan sebenarnya harga gas bumi yang diberikan itu sesuai regulasi itu US$ 6 per MMBTU, tetapi implementasinya itu tidak seperti itu. Jadi, rata-rata itu sekitar US$ 6,5 per MMBTU,” ucapnya.
Sebagai informasi, sebelumnya Ketua Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (ASAKI) Edy Suyanto mengeluhkan tingginya harga gas untuk industri jika tidak ada kebijakan HGBT.
Sebab tanpa kebijakan ini, harga gas yang perlu mereka bayar untuk produksi berada di kisaran US$ 13,8 per MMBTU. Nilai ini menurutnya jauh lebih mahal bahkan jika dibandingkan dengan tetangga RI, Malaysia, yang berada di kisaran US$ 10 per MMBTU.
Selain terkait harga yang sangat tinggi, Edy juga mengeluhkan kelancaran distribusi gas murah untuk industri. Sebab keterbatasan suplai gas murah ini secara langsung dapat menurunkan utilisasi industri keramik dan alat makan lainnya.
“Ya gimana kita memproduksi full kalau harga gasnya hanya boleh pakai 60%? Bagaimana memproduksi full kalau hanya boleh pakai 70%? Sisanya kita harus membayar dengan biaya teramat mahal, US$ 13,8 (per MMBTU) yang mana itu tidak berdaya saing,” katanya.
Tonton juga video: IPA Convex 2024 Jadi Momentum Bagi Ketahanan Energi Indonesia
(kil/kil)