Indonesia Terapkan PP Tunas, Ini Kelebihannya Dibanding Regulasi Keamanan Digital Anak di Negara Lain Nasional 8 Desember 2025

Indonesia Terapkan PP Tunas, Ini Kelebihannya Dibanding Regulasi Keamanan Digital Anak di Negara Lain
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        8 Desember 2025

Indonesia Terapkan PP Tunas, Ini Kelebihannya Dibanding Regulasi Keamanan Digital Anak di Negara Lain
Tim Redaksi
KOMPAS.com
– Pesatnya kemajuan teknologi informasi membawa dampak signifikan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk cara anak-anak tumbuh dan berinteraksi.
Namun, di balik kemudahan yang ditawarkan, ruang digital juga menyimpan potensi risiko yang mengancam tumbuh kembang anak, mulai dari paparan konten berbahaya,
cyber bullying
, hingga eksploitasi data pribadi.
Menyadari urgensi tersebut, sejumlah negara memperkuat regulasi ruang digitalnya, seperti Australia, Britania Raya, China, Amerika Serikat (AS), Jepang, termasuk Indonesia.
Melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam
Pelindungan Anak
, yang dikenal sebagai
PP Tunas
, Pemerintah Indonesia berkomitmen melindungi anak di ruang digital.
PP Tunas hadir bukan untuk membatasi kreativitas anak di dunia digital, melainkan memastikan mereka tetap aman dan terlindungi. 
Regulasi ini bertujuan meningkatkan tanggung jawab Penyelenggara Sistem Elektronik (
PSE
) serta mewujudkan tata kelola sistem elektronik yang ramah anak.
Selain Indonesia, beberapa negara di bawah ini memiliki regulasi terkait pelindungan anak di ruang digital dengan ketentuan yang beragam. 
1. Australia
Australia mengesahkan Online Safety Act 2024 sebagai amandemen Online Safety Act 2021 untuk melindungi warganya dari penyalahgunaan ruang digital, seperti pelecehan berbasis gambar,
cyber abuse
, atau
cyber bullying
.
Melalui kebijakan tersebut, pemerintah setempat berkomitmen mempercepat respons penghapusan konten dengan memberikan wewenang kepada eSafety Commissioner (eSafety) untuk menghapus konten daring yang dinilai berbahaya.
Terkait penggunaan media sosial, Parlemen Australia mewajibkan platform media sosial tertentu, yang memiliki konten atau layanan berdasarkan batasan usia, untuk memastikan anak-anak di bawah usia 16 tahun tidak memiliki akun.
Kebijakan yang diterapkan Australia berfokus pada penguatan regulator, batasan usia kepemilikan akun media sosial, dan penghapusan konten secara cepat.
Di sisi lain, PP Tunas mengatur akses digital anak berdasarkan usia 13, 16, dan 18 tahun. Anak usia 13 tahun hanya boleh mengakses platform berisiko rendah, usia 16 tahun dapat menggunakan layanan berisiko kecil hingga sedang, sementara usia 16–18 tahun bisa mengakses fitur yang lebih luas.
Terkait batas minimum usia kepemilikan akun media sosial, PP Tunas tidak mengatur hal ini secara rinci seperti Online Safety Act 2024 milik Australia. Namun, kebijakan terkait pembatasan ini akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri (Permen)
Komdigi
.
Direktur Jenderal (Dirjen) Pengawasan Ruang Digital, Alexander Sabar mengatakan, saat ini Komdigi sedang menyusun permen yang mengatur ketentuan teknis, termasuk batasan minimum usia untuk platform yang mengharuskan kepemilikan akun.
“Diharapkan, (permen) bisa diselesaikan dan terbit dalam waktu yang tidak terlalu lama,” ujarnya saat dihubungi Kompas.com, Jumat (5/12/205).
Meski memiliki perbedaan, Online Safety Act 2024 dan PP Tunas sepakat untuk melindungi konsumen, terutama anak-anak, dari paparan materi berbahaya dalam ruang digital.
2. Britania Raya
Pada Januari 2020, Britania Raya melalui Information Commissioner’s Office (ICO) mengesahkan Age Appropriate Design Code (Children’s Code).
Regulasi tersebut mewajibkan penyedia layanan daring untuk merancang
ruang digital yang ramah anak
dengan mempertimbangkan kebutuhannya.
Selain itu, setiap platform juga harus proaktif menilai usia pengguna dan memastikan pengaturan privasi dirancang pada tingkat privasi tertinggi bagi anak. Platform digital juga dilarang menggunakan teknik
nudging
yang mendorong anak memberikan data pribadi yang tidak diperlukan.
Children’s Code yang berlaku di Britania Raya sejak September 2020 selaras dengan isi PP Tunas. Keduanya menuntut PSE untuk menciptakan ruang digital yang ramah anak.
PP Tunas Pasal 17 huruf A secara khusus melarang PSE menerapkan praktik terselubung dan tidak transparan yang mendorong anak mengungkapkan data pribadi lebih dari yang diperlukan. Adapun Pasal 19 melarang
profiling
data anak untuk kepentingan komersialisasi.
Kedua pasal tersebut sejalan dengan prinsip Children’s Code dalam membatasi pengumpulan dan pemanfaatan data anak.
3. China
Minor Protection Law (MPL) & Online Gaming Regulations di China menerapkan pendekatan yang ketat dengan fokus pada pelindungan anak dari bahaya
game online
dan kecanduan internet. 
Kebijakan tersebut mewajibkan platform
game online
menampilkan nama asli pengguna, membatasi durasi bermain bagi anak di bawah 18 tahun, serta melarang penyediaan layanan
game online
untuk anak di bawah 18 tahun pada pukul 10.00 malam hingga 08.00 pagi.
Seperti halnya MPL di China, PP Tunas Pasal 15 juga mengatur tanggung jawab PSE dalam menyediakan layanan
game online
. Namun, PP Tunas lebih menekankan pada tanggung jawab perlindungan data anak, sementara China lebih fokus pada pembatasan waktu dan durasi.
Jika dibandingkan dengan regulasi dari tiga negara tersebut, PP Tunas mengatur tanggung jawab PSE secara komprehensif, mulai dari rancangan platform, pelindungan data, hingga kewajiban menyediakan fitur pengamanan digital bagi anak.
Peneliti media sosial dan kesejahteraan sekaligus dosen Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran (Unpad) Eka Riyanti Purboningsih menyambut positif kehadiran PP Tunas.
Menurut Eka, perlindungan anak di ruang digital merupakan hal yang rentan karena ruang digital terkadang sulit diawasi orangtua dan arus informasinya tidak dapat disaring. Oleh karena itu, ia mengaku bersyukur dengan lahirnya PP Tunas.
“PP Tunas menunjukkan perhatian dan
concern
pemerintah pada perlindungan anak di era digital. Saya pribadi bersyukur akhirnya keluar juga PP ini,” ujar Eka, seperti dikutip Kompas.com, Senin (1/12/2025).
Ia menilai, tantangan penerapan PP Tunas terletak pada konsistensi, kolaborasi, dan dukungan lintas pihak. Eka menekankan pentingnya keterlibatan orangtua dan guru sebagai pendamping utama anak di rumah dan di sekolah.
“Dengan melibatkan sekolah, kita bisa menjangkau mayoritas anak di Indonesia. Guru bisa menjadi ujung tombak edukasi digital yang sehat,” ucapnya.
Senada dengan Eka, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Kawiyan mengatakan bahwa edukasi digital juga harus diberikan kepada orangtua dan sekolah sebagai komponen penting dalam menciptakan perlindungan anak di ruang digital.
Menurutnya, kini terdapat jurang antara pemahaman anak dengan orangtua terkait internet dan gawai yang membuat orangtua tidak dapat melaksanakan fungsinya sebagai pendamping aktivitas anak di ruang digital.
“Di sisi lain, ada orangtua yang memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang digital cukup memadai, tetapi sibuk dan tidak punya waktu untuk membersamai, mendampingi, mengedukasi, dan mengawasi anak,” kata Kawiyan, dilansir dari Kompas.com, Rabu (26/11/2025).
Sementara itu, sekolah wajib menyediakan fasilitas internet untuk mendukung kegiatan belajar dengan tetap memastikan tidak ada penyimpangan selama anak-anak beraktivitas di ruang digital.
“Sekolah harus menjadi ruang aman bagi anak untuk belajar dan mengembangkan diri, termasuk aman di ruang digital. Melindungi anak bukan dengan melarang mereka membawa
handphone
(HP) ke sekolah, tetapi bagaimana anak bisa bersikap bijak,” jelas Kawiyan.
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa tanpa edukasi dan pendampingan, anak-anak akan tetap menjadi pihak yang paling rawan terhadap kekerasan di ranah digital.
“Karena itu, penting sekali jika PP Tunas mewajibkan PSE untuk melakukan edukasi dan memberdayakan ekosistem digital kepada orangtua, anak, sekolah, dan masyarakat,” tegas Kawiyan.
Ia berharap, pemerintah dapat menjalankan PP Tunas dengan pengawasan ketat serta memastikan produk, layanan, dan fitur yang disediakan PSE sudah ramah anak.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.