TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Indonesia memiliki kapasitas dan kemampuan besar mengelola emisi karbon.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat nilai perdagangan karbon sebesar Rp29,21 miliar hingga 29 September 2023.
Volume unit karbon yang diperdagangkan sebanyak 459.953 ton CO2 ekuivalen.
Ketua Dewan Pembina Indonesia Digital Carbon Association (IDCTA) Bambang Soesatyo mengungkapkan, hal tersebut menjadi gambaran kemampuan negara dalam mengelola emisi karbon.
“Pemerintah juga telah mengeluarkan sejumlah regulasi terkait perdagangan karbon, antara lain Perpres 08/2021 dan Peraturan OJK no 14/2023 yang mengatur perdagangan karbon melalui pasar karbon. Adapun Indonesia menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 31,89 persen tanpa bantuan internasional dan 43,2 persen dengan dukungan internasional pada 2030,” kata Bambang dalam sambutannya di acara Carbon Digital Conference 2024 yang digelar di Jakarta.
Mengusung tema ”Reimagining Indonesia Carbon Market: Digital Innovations For Global Integrity”, acara yang diselenggarakan oleh Indonesia Digital Carbon Association (IDCTA) bersama IETA, Jetro, PwC, serta PT Permata Karya Jasa (PERKASA) digelar selama dua hari pada 10–11 Desember 2024.
Bambang menambahkan, dengan potensi besar yang dimiliki, Indonesia bisa menjadi pemain kunci di pasar karbon dunia.
Indonesia juga berkontribusi pada Pasar Karbon Sukarela (Voluntary Carbon Market/VCM) Asia hingga 15 persen atau 31,7 metrik ton setara karbondioksida (CO2e) dengan estimasi nilai transaksi offset karbon sebesar 163 juta dolar AS.
Ketua Indonesia Digital Carbon Association (IDCTA) Riza Suarga mengungkapkan, Carbon Digital Conference 2024 tahun ini diharapkan bisa membantu seluruh pengambil keputusan dalam menjalankan perdagangan karbon di Indonesia.
“Tahun lalu, CDC 2023 berhasil menarik 248 peserta dari sekitar 50 negara. Tahun ini, kami berharap penyelenggaraan CDC bisa memberikan solusi yang lebih konkret terkait perdagangan karbon dan juga digitalisasinya,” jelas Riza.
Riza menjelaskan, CDC 2024 menggali lebih dalam mengenai perpaduan antara Artificial Intelligence (AI), Internet of Things (IoT), dan pasar karbon.
Menyadari pentingnya teknologi-teknologi ini, konferensi ini akan menekankan peran mereka dalam memastikan integritas proyek-proyek karbon sembari menjajaki jalan baru untuk pertumbuhan yang berkelanjutan.
Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi penyedia kredit karbon berbasis alam dengan mekanisme offset mencapai 1.3 giga ton CO2e senilai 190 miliar dolar AS.
“Kami percaya bahwa menciptakan sistem dan pasar kredit karbon adalah solusi alternatif bagi banyak negara, termasuk Indonesia, di mana transisi menuju operasi rendah emisi masih memerlukan waktu terutama karena adopsi teknologi yang umumnya membutuhkan waktu lebih panjang dan nilai investasi yang cukup besar. Pengenalan pasar karbon Indonesia dan meningkatnya minat terhadap kredit karbon dapat membimbing Indonesia menuju pencapaian NDC dan carbon netral,” kata Yuliana Sudjonno – Partner dan Sustainability Leader dari PwC Indonesia.
Mantan Menteri Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar mengungkapkan, pasar karbon harus dimanfaatkan dengan seoptimal mungkin oleh Indonesia.
Karena, kata dia, apabila tidak dimaksimalkan maka orang lain yang akan memanfaatkan keuntungan yang bisa didapat dari pasar karbon.