Indonesia Gebrak Panggung COP30 Brasil dengan Strategi Kehutanan Sosial dan Solusi Alam Berkelanjutan

Indonesia Gebrak Panggung COP30 Brasil dengan Strategi Kehutanan Sosial dan Solusi Alam Berkelanjutan

Kehutanan sosial kini bukan lagi sekadar program pinggiran dalam kebijakan nasional Indonesia, melainkan telah bertransformasi menjadi strategi utama (mainstream) dalam diplomasi iklim regional.

Di panggung COP30, delegasi Indonesia secara rinci membedah bagaimana skema ini bekerja sebagai mesin ganda menyelamatkan ekosistem sekaligus mengentaskan kemiskinan.

Pendekatan ini menjadi sangat relevan bagi negara-negara ASEAN yang memiliki karakteristik demografis serupa, di mana jutaan penduduknya hidup di dalam dan di sekitar kawasan hutan, menggantungkan hidup dari sumber daya alam yang ada.

“Bersama-sama, kita dapat membangun ASEAN di mana hutan dilindungi, komunitas diberdayakan, dan masa depan iklim kita terjamin,” tegas Julmansyah, menutup sesi di Paviliun ASEAN dengan optimisme bahwa model yang diterapkan Indonesia dapat direplikasi dan disesuaikan di negara tetangga.

Pernyataan ini menggarisbawahi visi Indonesia bahwa kolaborasi regional adalah kunci. Hutan di Kalimantan, misalnya, tidak berdiri sendiri tetapi merupakan bagian dari kesatuan ekosistem Borneo yang mencakup Malaysia dan Brunei Darussalam.

Oleh karena itu, pendekatan Perhutanan Sosial yang sukses di satu wilayah harus ditularkan ke wilayah lain untuk menciptakan sabuk pengaman ekologis yang kokoh di Asia Tenggara.

Dalam sesi teknis di COP30, Indonesia memaparkan data keberhasilan kelompok usaha perhutanan sosial (KUPS) yang telah naik kelas. Dari sekadar petani subsisten, mereka kini menjadi produsen komoditas ekspor bernilai tinggi seperti kopi, madu hutan, rotan, dan minyak atsiri, semuanya dipanen tanpa menebang pohon.

Model agroforestry menanam pepohonan kayu bersama tanaman pertanian dipromosikan sebagai solusi jitu untuk menjaga tutupan lahan tetap hijau sembari memberikan pendapatan harian dan bulanan bagi petani. Delegasi Indonesia menekankan bahwa inilah bentuk nyata dari “Ekonomi Regeneratif”, sebuah sistem ekonomi yang memulihkan alam, bukan menghabiskannya.

Namun, Indonesia juga jujur mengenai tantangan yang dihadapi. Konflik tenurial atau sengketa lahan masih menjadi pekerjaan rumah yang besar. Di sinilah peran negara hadir melalui mediasi dan pemberian akses legal kelola selama 35 tahun yang dapat diperpanjang.