Bisnis.com, JAKARTA – Indonesia di Ambang Monopoli Ekonomi Digital Muhammad Rifky Wicaksono Dua setengah dekade lalu, Malcolm Gladwell mempopulerkan teori ‘tipping point’, yaitu momen ketika perubahan kecil memicu dampak besar dan sering kali tidak dapat diubah dalam suatu sistem (Gladwell, 2000).
Dinamika terbaru menunjukkan bahwa ekonomi digital Indonesia kini berada pada titik genting tersebut. Mundurnya Patrick Walujo sebagai CEO GoTo dan masuknya Hans Patuwo memperkuat indikasi bahwa merger GoTo–Grab sangat mungkin terealisasi dalam beberapa bulan ke depan.
Dalam hukum persaingan usaha, Pasal 28 Undang-Undang No. 51999 secara tegas melarang penggabungan perusahaan yang berpotensi menimbulkan praktik monopoli. Larangan ini bertujuan mencegah pemusatan kekuatan ekonomi pada segelintir pelaku usaha, karena struktur pasar yang terlalu terkonsentrasi terbukti merugikan masyarakat dan ekonomi negara.
Data Euromonitor menunjukkan bahwa perusahaan gabungan GoTo–Grab akan menguasai 91% pangsa pasar transportasi online Indonesia (Reuters, 07/05/2025). Dengan valuasi GoTo sekitar Rp 68,8 triliun dan Grab Rp 372,5 triliun, entitas hasil merger akan bernilai lebih dari Rp 441 triliun dan akan mengendalikan ekosistem digital yang digunakan jutaan orang setiap hari.
Dengan pemusatan kekuatan sebesar ini, sulit membantah bahwa merger tersebut secara de facto akan menciptakan monopoli. Jika praktik monopoli dilarang, mengapa Pemerintah melalui Danantara justru terlibat mendorong terjadinya merger ini? Bukankah Pemerintah seharusnya mencegah pemusatan kekuatan ekonomi yang merugikan rakyat?
Narasi yang mendominasi pemberitaan menawarkan dua alasan utama: merger diklaim akan meningkatkan efisiensi dan mendorong inovasi. Namun, apakah kedua klaim ini valid jika diujiteori ekonomi dan bukti empiris? Membongkar Narasi Efisiensi dan Inovasi Narasi efisiensi menyebut bahwa merger GoTo–Grab akan mengurangi duplikasi sumber daya (allocative efficiency) dan menurunkan biaya produksi (productive efficiency), sehingga konsumen menikmati harga lebih murah dan pengemudi
lebih sejahtera.
Teori ‘Single-Monopoly-Profit’ dari Richard Posner memang menyatakan bahwa merger yang menciptakan integrasi vertikal dapat meningkatkan efisiensi dan menurunkan harga (Posner, 1976). Namun syarat utamanya adalah merger tersebut merupakan merger vertikal, bukan merger horizontal antar pesaing.
Permasalahannya merger GoTo–Grab adalah merger horizontal, sehingga teori tersebut tidak berlaku dalam kasus ini. Untuk menilai dampak merger antar kompetitor, otoritas persaingan Eropa dan Amerika menggunakan teori ‘Unilateral Effects’. Pertanyaannya sederhana: apakah merger ini memberi perusahaan gabungan kemampuan (ability) dan insentif (incentive) untuk menaikkan harga?
Dengan pangsa pasar lebih dari 90%, perusahaan gabungan akan memiliki kemampuan besar untuk menaikkan tarif sebagai ‘monopoly rents’, karena tidak ada lagi ‘competitive pressure’. Insentifnya pun jelas: kedua perusahaan telah merugi secara kumulatif dan nilai sahamnya masih di bawah harga IPO. Setelah bertahun-tahun ‘burning cash’, merger dapat menjadi jalan pintas untuk menutup kerugian melalui penaikan tarif dan komisi.
Dampaknya bagi konsumen, pengemudi, dan UMKM sangat nyata. Tanpa intervensi KPPU, merger ini berpotensi menaikkan harga perjalanan, menaikkan biaya platform yang dibebankan pada pengemudi dan merchant, serta menurunkan kesejahteraan masyarakat.
Pengalaman Singapura dalam merger Grab–Uber menjadi pelajaran penting. Competition and Consumer Commission of Singapore (CCS) menemukan bahwa “the merged entity is likely to be able to increase prices and has in fact done so” (CCS, 2018). Tanpa intervensi CCS, tarif diperkirakan naik 20–30% (Khoo, 2021). Bahkan setelah behavioural remedies diberlakukan, tarif tetap meningkat 10–15%.
Bukti empiris ini secara langsung membantah narasi bahwa merger seperti ini otomatis membawa efisiensi dan menurunkan harga bagi konsumen.
Narasi kedua adalah peningkatan inovasi. Dalam hal ini, riset pemenang Nobel Kenneth Arrow justru menunjukkan bahwa perusahaan monopoli memiliki insentif lebih rendah untuk berinovasi (Arrow, 1962). Philippe Aghion, peraih Nobel tahun ini, juga menegaskan bahwa struktur pasar yang terlalu terkonsentrasi cenderung menurunkan dorongan berinovasi (Aghion et al, 2005).
CCS dalam kasus Grab–Uber juga menolak klaim inovasi, karena inovasi dapat dicapai tanpa menghilangkan pesaing utama melalui merger. ‘Regulatory Capture’ dan Risiko Konflik Kepentingan George Stigler dalam ‘The Theory of Economic Regulation’ menjelaskan bahwa fenomena ‘Regulatory Capture’ terjadi ketika lembaga yang seharusnya meregulasi pasar demi kepentingan publik justru “tersandera” oleh industri yang mereka awasi, karena adanya kedekatan politik atau kepentingan ekonomi
(Stigler,1971).
Konsep ini relevan dalam konteks merger GoTo–Grab. Jika Pemerintah melalui Danantara menjadi pemegang saham dan berpotensi menikmati monopoly profits dari perusahaan gabungan, bagaimana Pemerintah bisa bersikap netral sebagai regulator? Keterlibatan Danantara membuat batas antara fungsi negara sebagai pengawas dan sebagai pelaku ekonomi menjadi kabur.
Di satu sisi, negara wajib menjaga persaingan sehat. Di sisi lain, sebagai pemegang saham, negara memiliki insentif untuk memaksimalkan keuntungan,termasuk dari posisi monopolistik.
Situasi ini membuka potensi konflik kepentingan. Publik pun berhak bertanya: adakah pejabat yang secara langsung atau tidak langsung dapat menikmati keuntungan dari merger ini? Dalam kondisi demikian, peran KPPU sebagai wasit persaingan usaha menjadi sangat penting. Pasal 47 Undang-Undang No. 5/1999 memberi KPPU kewenangan tegas untuk memerintahkan divestasi atau membatalkan merger jika terbukti menimbulkan praktik monopoli. Namun sejauh ini, “senjata pamungkas” tersebut belum pernah digunakan.
Pertanyaannya kini: jika merger GoTo–Grab terbukti menimbulkan praktek monopoli, apakah KPPU berani menggunakan kewenangan tersebut? Ataukah KPPU kembali hanya menjatuhkan denda yang tidak mengubah struktur pasar? Pada titik balik ini, pertanyaan penyair Romawi Juvenal kembali menggema: “Quis custodiet ipsos custodes?”, “Siapa yang mengawasi para pengawas?” Jawabannya adalah kita semua. Publik, akademisi, media, dan masyarakat sipil harus mengawasi setiap langkah Pemerintah dan KPPU dalam proses merger ini.
Yang dipertaruhkan bukan sekadar valuasi perusahaan teknologi, tetapi kesejahteraan rakyat dan masa depan ekonomi digital Indonesia selama beberapa dekade ke depan.
