Bisnis.com, JAKARTA — Pengamat mengingatkan pemerintah perlu meninjau ulang arah kebijakan hilirisasi mineral nasional agar lebih terarah dan berkelanjutan. Hal ini perlu dilakukan di tengah dinamika harga global serta perubahan teknologi industri.
Kepala Center of Food, Energy, and Sustainable Development Institute for Development of Economics & Finance (Indef) Abra Talattov menilai, euforia terhadap prospek hilirisasi mineral dalam beberapa tahun terakhir berisiko menimbulkan guncangan baru bagi sektor industri.
Menurutnya, lonjakan investasi smelter yang cukup agresif, tidak diimbangi dengan permintaan yang stabil di pasar global. Hal ini tercermin dari fenomena shutdown sejumlah smelter pada tahun ini akibat harga nikel global yang anjlok dan permintaan yang melemah.
Tutupnya sejumlah smelter juga dipicu oleh kelebihan pasokan nikel di pasar global yang dipicu oleh produksi besar-besaran dari Indonesia.
“Kita perlu meninjau ulang arah kebijakan hilirisasi sektor mineral. Roadmap hilirisasi seharusnya dibuat dengan konteks yang lebih terarah,” ujar Abra dalam acara Bisnis Indonesia Forum di Jakarta, Kamis (6/11/2025).
Dia menjelaskan, kebijakan hilirisasi tidak harus berorientasi pada pengolahan seluruh sumber daya mineral di dalam negeri. Pemerintah, kata dia, perlu mengidentifikasi komoditas yang memiliki daya saing dan nilai tambah ekonomi tertinggi untuk diolah.
Sementara itu, sebagian lainnya dapat tetap diekspor dalam bentuk produk antara.
“Tidak harus seluruh produk itu kita olah di dalam negeri. Ada produk yang bisa kita ekspor di tier 1 atau tier 2, tergantung daya saing dan dampaknya terhadap PDB [produk domestik bruto],” imbuhnya.
Abra juga mengingatkan agar pemerintah tidak terjebak dalam euforia global, seperti tren kendaraan listrik (EV) yang mendorong investasi besar pada rantai pasok baterai berbasis nikel-mangan-kobalt (NMC).
Menurut dia, munculnya teknologi baru seperti lithium ferro phosphate (LFP) bisa mendisrupsi investasi NMC yang sudah terlanjur besar. Dia berpendapat, kondisi ini berpotensi menimbulkan kerugian industri hilirisasi mineral, bahkan dapat berimbas pada sektor keuangan yang ikut menyalurkan pembiayaan ke proyek-proyek tersebut.
“Ketika teknologi seperti NMC terdisrupsi oleh LFP, investasi yang sudah dialokasikan bisa menjadi idle dan menimbulkan kerugian. Ini harus diantisipasi,” jelasnya.
Abra menambahkan bahwa pemerintah perlu menyeimbangkan antara optimisme terhadap hilirisasi dengan mitigasi risiko dari fluktuasi harga, kelebihan produksi, maupun perubahan teknologi global.
“Kita jangan terlalu euforia terhadap potensi hilirisasi mineral. Pemerintah harus memastikan tata kelola dan arah kebijakan hilirisasi benar-benar matang agar tidak menimbulkan guncangan baru di sektor industri dan keuangan,” katanya.
