Impor Scrap Baja Dilonggarkan Bersyarat Usai Polemik Kontaminasi Radioaktif

Impor Scrap Baja Dilonggarkan Bersyarat Usai Polemik Kontaminasi Radioaktif

Bisnis.com, JAKARTA — The Indonesian Iron and Steel Association (IISIA) mengungkap pemerintah telah memberikan kelonggaran untuk impor scrap metal atau besi tua yang sebelumnya sempat disetop lantaran temuan kontaminasi radioaktif Cesium-137 (Cs-137). 

Direktur Eksekutif IISIA Harry Warganegara mengatakan pemerintah memberikan waktu tiga bulan bagi industri baja, selaku pengguna bahan baku berupa scrap, untuk memasang alat pendeteksi radioaktif seperti Radiation Portal Monitor (RPM) di fasilitas peleburan. 

“Untuk memasang itu perlu waktu karena barangnya juga impor, paling cepat 3 bulan, nah jadi kami pun meminta bahwa kalau 3 bulan kami nggak bisa impor scrap, berarti kan berhenti produksi, akhirnya diizinkan dikasih tambahan waktu 3 bulan,” kata Harry saat ditemui di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (12/11/2025).

Jika dalam 3 bulan pelaku usaha peleburan belum memasang alat pendeteksi tersebut, maka izin impor scrap tidak dikeluarkan. Hal tersebut tentunya dapat berakibat ke operasional pabrik. 

Harry menerangkan bahwa pihaknya menyepakati keputusan tersebut. Meskipun, dalam pemasangannya dibutuhkan investasi tambahan sebesar Rp3,5 miliar-Rp5 miliar. 

“Kami ikut permintaan pemerintah memasang alat itu, hanya saja pada saat kami bersimulasi, misalnya ini ya, ternyata terdeteksi ini nggak bisa diapa-apain, kan pertanyaannya apakah bisa kita re-ekspor? nggak bisa, karena sudah keluar dari wilayah kepabeanan,” tuturnya. 

Menurut dia, mestinya alat pendeteksi radioaktif berada di wilayah kepabeanan atau kawasan border yang dikelola Bea Cukai. Dengan begitu, jika impor scrap terdeteksi radioaktif, maka barang tersebut bisa dikembalikan ke negara asalnya. 

Sementara, jika ditemukan paparan ketika sudah berada di kawasan fasilitas peleburan, maka barang tersebut tak bisa dikembalikan ke negara asal. Pihaknya telah bertanya ke Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) jika ditemukan lagi barang terkontaminasi radioaktif maka barang tersebut ‘ditanam’. 

“Pertanyaan ditanam dimana? kan belum ketahuan, alangkah baiknya, kalau tempat pencegahan pertama itu di border, kami pasang alat kami peleburan, tapi itu jangan dijadikan tempat pendeteksi awal jadikanlah tempat itu pendeteksi lanjutan,” jelasnya. 

Adapun, saat ini industri membutuhkan 2 juta ton scrap atau logam bekas untuk kebutuhan produksi baja. Dalam hal ini, scrap dari lokal baru bisa memasok 600.000 ton, sementara sisanya diimpor. 

Ditemui terpisah, Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Kementerian Perindustrian, Setia Diarta mengatakan pihaknya tengah berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait untuk memastikan kebutuhan bahan baku baja yang diimpor bisa tetap diizinkan. 

“Ini yang kami coba koordinasi lagi dengan teman-teman k/l supaya industri tetap produksi,” tuturnya.