TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Praktisi ekonomi, Mulyadi Siregar mengatakan anjloknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) hingga lebih dari 5 persen beberapa waktu lalu diakibatkan adanya ketidakpastian ekonomi global yang membuat para investor memilih bersikap ‘menunggu dan melihat’.
Kejatuhan tersebut membuat Bursa Efek Indonesia (BEI) kemudian menyetop sementara perdagangan atau trading halt.
“Situasi global yang tidak menentu membuat investor menahan diri. Mereka menunggu kejelasan sebelum masuk kembali ke pasar,” kata Mulyadi kepada wartawan, Sabtu (12/4/2025).
Namun, menurut Mulyadi, faktor dalam negeri juga turut berperan. Ia menyebut adanya spekulasi terkait arah kebijakan pemerintah menjadi salah satu alasan tambahan mengapa IHSG tertekan cukup dalam.
Meski sempat melemah, ia tetap optimistis kondisi ini tidak akan terulang.
Komisaris di perusahaan sekuritas saham/pasar modal itu menjelaskan, alasannya, kebijakan pemerintah yang mengarah pada transparansi, terutama dalam proyek seperti Danantara, bisa memberikan ketenangan dan kepercayaan kepada pasar dan investor. Dirinya meyakini transparansi menjadi kunci agar pasar makin stabil.
“Transparansi adalah kunci. Ketika pemerintah terbuka dan jelas soal kebijakan, maka pasar akan lebih stabil,” tutupnya.
Faktos ekstrenal
Perdagangan di Bursa Efek Indonesia (BEI) telah dibuka kembali setelah libur panjang Idul Fitri 28 Maret hingga 7 April 2025.
Seperti yang diperkirakan oleh para pelaku pasar modal, saat dibuka kembali pada Selasa, 8 April 2025, IHSG sempat turun 9,19 persen dan menyentuh level 5.912,06.
Penurunan yang terjadi pada hari pertama pasca libur Idul Fitri membuat BEI mengambil langkah untuk melakukan trading halt atau penghentian sementara perdagangan.
Gejolak ini dipicu oleh kombinasi faktor eksternal seperti kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat terhadap sebagian besar negara di dunia, termasuk Indonesia, serta depresiasi nilai tukar Rupiah yang menembus sempat menyentuh angka psikologis Rp17.000 per dolar AS di pasar luar negeri.