Jakarta: Indonesia Corruption Watch (ICW) melayangkan kritik keras terhadap Kejaksaan Agung (Kejagung) yang memamerkan uang rampasan negara dan denda administratif dari kasus penyalahgunaan kawasan hutan senilai Rp6,6 triliun.
Kegiatan seremoni yang turut dihadiri Presiden Prabowo Subianto itu dinilai lebih menonjolkan pencitraan ketimbang menyentuh substansi pemberantasan korupsi.
Kepala Divisi Hukum dan Investigasi ICW, Wana Alamsyah, menilai memamerkan tumpukan uang hasil rampasan negara tidak sebanding dengan besarnya kerugian negara akibat praktik korupsi yang terjadi selama ini.
“Upaya memamerkan uang hasil rampasan merupakan langkah yang tidak substansial dan hanya bersifat pencitraan belaka. Hal ini tidak bisa menjadi tolok ukur kesuksesan pemberantasan korupsi jika kita melihat data yang lebih besar,” ujar Wana melalui keterangan resminya.
Merujuk Laporan Tren Vonis yang dirilis ICW pada awal Desember 2025, Wana mengungkapkan kerugian keuangan negara akibat korupsi mencapai sekitar Rp300 triliun. Namun, capaian aparat penegak hukum dalam mengembalikan aset hasil kejahatan tersebut dinilai masih jauh dari memadai.
“Kinerja penegak hukum untuk merampas aset dan mengembalikan kerugian keuangan negara sebenarnya tidak berhasil. Faktanya, pengembalian kerugian keuangan negara hanya menyentuh angka 4,8 persen. Artinya, ada selisih yang sangat lebar antara uang yang hilang dengan yang berhasil dikembalikan,” ungkapnya.
ICW pun meminta pemerintah dan aparat penegak hukum menghentikan glorifikasi melalui seremoni pameran aset rampasan. Menurut Wana, perhatian seharusnya diarahkan pada penguatan sistem pelacakan aset dan optimalisasi pemulihan kerugian negara secara konkret.
“Kami mendesak agar pemerintah berfokus pada hal yang substansial, yakni memaksimalkan pengembalian kerugian keuangan negara secara sistematis. Jangan sampai masyarakat terkecoh dengan angka miliaran atau triliunan yang dipamerkan, padahal itu baru sebagian kecil dari ratusan triliun yang belum kembali ke kas negara,” pungkas Wana.
Jakarta: Indonesia Corruption Watch (ICW) melayangkan kritik keras terhadap Kejaksaan Agung (Kejagung) yang memamerkan uang rampasan negara dan denda administratif dari kasus penyalahgunaan kawasan hutan senilai Rp6,6 triliun.
Kegiatan seremoni yang turut dihadiri Presiden Prabowo Subianto itu dinilai lebih menonjolkan pencitraan ketimbang menyentuh substansi pemberantasan korupsi.
Kepala Divisi Hukum dan Investigasi ICW, Wana Alamsyah, menilai memamerkan tumpukan uang hasil rampasan negara tidak sebanding dengan besarnya kerugian negara akibat praktik korupsi yang terjadi selama ini.
“Upaya memamerkan uang hasil rampasan merupakan langkah yang tidak substansial dan hanya bersifat pencitraan belaka. Hal ini tidak bisa menjadi tolok ukur kesuksesan pemberantasan korupsi jika kita melihat data yang lebih besar,” ujar Wana melalui keterangan resminya.
Merujuk Laporan Tren Vonis yang dirilis ICW pada awal Desember 2025, Wana mengungkapkan kerugian keuangan negara akibat korupsi mencapai sekitar Rp300 triliun. Namun, capaian aparat penegak hukum dalam mengembalikan aset hasil kejahatan tersebut dinilai masih jauh dari memadai.
“Kinerja penegak hukum untuk merampas aset dan mengembalikan kerugian keuangan negara sebenarnya tidak berhasil. Faktanya, pengembalian kerugian keuangan negara hanya menyentuh angka 4,8 persen. Artinya, ada selisih yang sangat lebar antara uang yang hilang dengan yang berhasil dikembalikan,” ungkapnya.
ICW pun meminta pemerintah dan aparat penegak hukum menghentikan glorifikasi melalui seremoni pameran aset rampasan. Menurut Wana, perhatian seharusnya diarahkan pada penguatan sistem pelacakan aset dan optimalisasi pemulihan kerugian negara secara konkret.
“Kami mendesak agar pemerintah berfokus pada hal yang substansial, yakni memaksimalkan pengembalian kerugian keuangan negara secara sistematis. Jangan sampai masyarakat terkecoh dengan angka miliaran atau triliunan yang dipamerkan, padahal itu baru sebagian kecil dari ratusan triliun yang belum kembali ke kas negara,” pungkas Wana.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(PRI)
