Jakarta, Beritasatu.com – Hukum perselingkuhan masih menjadi topik yang relevan dan sensitif dalam kehidupan rumah tangga masyarakat Indonesia. Perselingkuhan dapat menyebabkan keretakan hubungan, luka emosional, hingga dampak sosial yang luas.
Untuk mencegah dampak buruknya, penting untuk meninjau kembali hukum perselingkuhan baik dari perspektif agama Islam maupun dalam aturan hukum yang berlaku di Indonesia.
Perselingkuhan dalam Perspektif Islam
Dalam Islam, perselingkuhan erat kaitannya dengan perbuatan zina, yaitu hubungan seksual di luar ikatan pernikahan. Islam memandang zina sebagai dosa besar karena melanggar komitmen pernikahan dan merampas hak pasangan.
Allah Swt dengan tegas melarang zina dalam Al-Qur’an surah Al-Isra’ ayat 32 yang berbunyi:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰىٓ اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةًۗ وَسَاۤءَ سَبِيْلًا
Wa lâ taqrabuz-zinâ innahû kâna fâḫisyah, wa sâ’a sabîlâ.
Artinya: “Janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya (zina) itu adalah perbuatan keji dan jalan terburuk”.
Dalam hukum perselingkuhan menurut Islam, pelaku zina yang belum menikah dikenai hukuman 100 kali cambuk. Sementara bagi yang sudah menikah, hukumannya lebih berat, yaitu dirajam hingga meninggal dunia.
Namun, penerapan hukuman ini harus didukung oleh bukti kuat, seperti pengakuan dari pelaku atau kesaksian empat orang yang melihat langsung perbuatannya. Sanksi tersebut menunjukkan betapa seriusnya dampak zina, serta berfungsi sebagai pelajaran moral agar masyarakat menjauhi perbuatan tersebut.
Perselingkuhan dalam Perspektif Hukum Negara
Selain dari sisi agama, hukum perselingkuhan juga diatur dalam sistem hukum negara Indonesia melalui Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Perselingkuhan termasuk tindak pidana perzinaan dan memiliki sanksi yang ditentukan oleh undang-undang.
1. Sanksi berdasarkan KUHP lama
Berdasarkan Pasal 284 KUHP, pelaku perselingkuhan dapat dikenai hukuman penjara hingga 9 bulan. Sanksi ini berlaku bagi pria atau wanita yang sudah menikah dan terbukti melakukan hubungan di luar pernikahan, serta pihak lain yang mengetahui status pasangan tersebut.
2. Sanksi berdasarkan KUHP baru
Pasal 411 UU Nomor 1 Tahun 2023 berisi hukuman diperberat menjadi pidana penjara maksimal 1 tahun atau denda hingga Rp 10 juta. Meski undang-undang ini telah disahkan, penerapannya baru akan efektif mulai 2026.
3. Prosedur pelaporan
Perselingkuhan termasuk delik aduan, artinya proses hukum hanya bisa berjalan jika ada laporan dari pihak yang dirugikan, yaitu suami atau istri. Laporan harus disertai bukti yang cukup, seperti pengakuan pelaku atau rekaman yang valid.
Hukum perselingkuhan, baik menurut Islam maupun hukum negara, menunjukkan tindakan ini bukan sekadar persoalan pribadi, melainkan juga masalah moral dan sosial.
Dengan adanya sanksi tegas, baik berupa hukuman cambuk atau pidana penjara, diharapkan masyarakat lebih sadar akan pentingnya menjaga kesetiaan dan keutuhan rumah tangga. Pencegahan dan penegakan hukum terhadap perselingkuhan merupakan langkah penting untuk menjaga keharmonisan dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.