Jakarta, Beritasatu.com – Dalam era digital, praktik jual beli video syur di media sosial semakin marak terjadi, menimbulkan kekhawatiran dari segi moral, sosial, dan hukum. Hukum jual beli video syur di media sosial sangat tegas melarang tindakan ini karena melanggar norma kesusilaan dan undang-undang terkait pornografi serta perlindungan data pribadi.
Pelaku yang terlibat dalam tindakan tersebut dapat dikenakan sanksi pidana, baik sebagai penjual, pembeli, maupun pihak yang menyebarluaskan konten tersebut. Selain merugikan korban, praktik ini juga menciptakan dampak negatif pada masyarakat secara luas.
Di Indonesia, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi secara tegas melarang segala bentuk produksi dan distribusi konten pornografi, termasuk transaksi yang dilakukan melalui platform media sosial.
Meskipun beberapa pengguna media sosial menganggap bahwa jual beli konten dewasa adalah urusan pribadi yang tidak merugikan, hukum Indonesia tetap menganggapnya sebagai tindakan kriminal. Pelanggaran terhadap undang-undang ini dapat berakibat serius, mulai dari hukuman penjara hingga denda yang berat.
Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam tentang hukum terkait jual beli video syur sangat penting untuk mencegah risiko hukum dan menjaga norma sosial di tengah perkembangan teknologi informasi yang pesat.
Hukum Jual Beli Video Syur di Media Sosial
Menurut Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi, setiap orang dilarang untuk memproduksi, memperbanyak, atau menyebarluaskan konten yang mengandung unsur pornografi, termasuk video syur. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 6 bulan hingga paling lama 12 tahun, serta pidana denda paling sedikit Rp 250 juta hingga paling banyak Rp 6 miliar.
Meskipun ada anggapan bahwa pembelian konten pornografi tidak secara eksplisit diatur dalam undang-undang, namun praktik tersebut tetap bisa dikaitkan dengan berbagai pasal dalam UU Pornografi dan UU ITE. Seperti pada pasal 27 ayat (1) UU ITE yang melarang distribusi informasi elektronik yang melanggar kesusilaan, oleh karena itu, seseorang yang terlibat dalam transaksi jual beli konten pornografi dapat dikenakan sanksi berdasarkan kedua undang-undang tersebut.
Dalam konteks hukum, penting untuk memahami bahwa meskipun ada situasi di mana seseorang mungkin merekam video untuk konsumsi pribadi, menjadikannya sebagai objek jual beli di platform publik adalah pelanggaran. Tindakan ini tidak hanya melanggar UU Pornografi tetapi juga berpotensi menjerat pelaku dalam tindak pidana cybercrime.
Kasus Dea OnlyFans dan Marshel Widianto menjadi contoh nyata dari konsekuensi hukum yang dapat timbul dari jual beli konten pornografi. Masyarakat perlu lebih waspada dan memahami bahwa tindakan sepele seperti membeli video syur dapat berujung pada masalah hukum yang serius.
Dengan demikian, jual beli video syur di media sosial bukan hanya masalah etika tetapi juga masalah hukum yang harus diperhatikan dengan serius. Dengan adanya regulasi yang ketat dan ancaman hukuman berat bagi pelanggar, penting bagi masyarakat untuk berpikir kritis sebelum terlibat dalam aktivitas semacam ini.