Jakarta –
Pemerintah melalui Perum Bulog gencar melakukan penyerapan gabah petani dengan harga pembelian pemerintah (HPP) sebesar Rp 6.500 per kilogram. Langkah ini dinilai tepat untuk menjaga stabilitas harga sekaligus mendukung kesejahteraan petani.
Namun, para petani diimbau untuk tidak buru-buru memanen gabah sebelum waktunya demi mengejar harga tersebut. Peneliti Senior Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), Riyanto, menegaskan bahwa gabah yang diserap sebaiknya sudah dalam kondisi kering panen (GKP), bukan yang masih hijau.
“Kalau masih hijau jangan dipanen. Tunggu sampai menguning karena itu akan menurunkan mutu gabah dan menghasilkan beras yang kurang bagus. Jadi sesuaikan saja, yang dijual adalah gabah kering panen,” ujar Riyanto, Jumat (11/4/2025).
Ia juga mengingatkan agar petani tidak khawatir soal harga akan turun saat menunggu masa panen optimal. Menurutnya, pemerintah tetap berkomitmen menyerap gabah dengan harga sesuai HPP.
Riyanto menambahkan bahwa kualitas gabah sangat berpengaruh terhadap hasil akhir beras yang dikonsumsi masyarakat. Jika petani panen terlalu dini, bukan hanya merugikan diri sendiri karena kualitas turun, tetapi juga berdampak pada konsumen.
“Intinya jangan aji mumpung. Pemerintah sudah kasih fasilitas dan kemudahan dengan membeli gabah Rp 6.500, jangan malah panen sebelum waktunya. Konsumen nanti yang kena imbasnya kalau kualitas berasnya turun,” tegasnya.
Lebih lanjut, Riyanto menilai kebijakan pangan yang dijalankan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto sudah berada di jalur yang tepat. Mulai dari tambahan kuota pupuk, distribusi benih, hingga penyerapan gabah secara masif dinilai sebagai upaya komprehensif dalam mendorong produksi dan meningkatkan kesejahteraan petani.
“Kita lihat sekarang, volume pupuk ditambah, benih sudah terdistribusi, dan penyerapan gabah jalan terus. Ini paket lengkap untuk dorong produksi dan sejahterakan petani,” pungkas Riyanto.
(rrd/rrd)