Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom menilai proses hilirisasi komoditas tembaga masih mengalami sejumlah tantangan seiring dengan fenomena fasilitas operasional tambang dan smelter besar di Indonesia yang mengalami insiden kahar.
Direktur Eksekutif Core Mohammad Faisal mengatakan selain kondisi tak terduga, dia melihat pemerintah masih belum memberikan arah jelas untuk penghiliran tembaga sehingga pasokan yang diproduksi juga dapat teroptimalkan dalam negeri.
“Menurut saya yang jelas perlu arah, supaya dia lebih terdorong hilirisasi tembaga ini, perlu arah yang jelaskan untuk hilirisasi nya ke produk-produk turunannya,” kata Faisal kepada Bisnis, Rabu (5/11/2025).
Arah kebijakan hilirisasi dinilai perlu memperhatikan sinergi antara pengembangan industri turunan dengan ketersediaan bahan baku dari sektor hulu. Banyak produk hilir memiliki karakter serupa, namun bergantung pada bahan tambang yang berbeda.
Menurutnya, kendaraan listrik (EV) misalnya, tidak hanya memerlukan nikel untuk baterai, tetapi juga membutuhkan tembaga sebagai komponen penting lainnya.
“Karena itu, pemerintah perlu menentukan terlebih dahulu fokus pengembangan produk hilir, apakah kendaraan listrik, pendingin udara, atau telepon seluler,” jelasnya.
Dia juga menilai, kejelasan arah pengembangan industri hilir perlu disertai dengan peta kebutuhan bahan baku yang spesifik, mencakup nikel, tembaga, aluminium, dan logam lainnya. Dengan begitu, kebijakan hilirisasi dapat memastikan industri hilir benar-benar menyerap bahan baku domestik.
“Harus ada keterkaitan antara industri hilir dan hulu agar arah pengembangan komoditas tambang seperti tembaga, nikel, aluminium, hingga timah saling bersinergi,” ujarnya.
Selain perencanaan, langkah berikutnya adalah memastikan realisasi melalui kebijakan yang mendukung. Faisal juga menekankan pentingnya pemberian insentif tambahan untuk mendorong industri hilir, khususnya sektor turunan tembaga, agar implementasinya berjalan optimal.
Sebelumnya, Ketua Umum Indonesia Mining Association (IMA) Rachmat Makkasau mengatakan defisit tembaga akan terjadi seiring dengan masifnya transisi energi dunia, sehingga penggunaan komoditas mineral, termasuk tembaga menjadi incaran berbagai negara.
“Kenapa Indonesia menjadi salah satu negara yang dibicarakan, karena kita di Indonesia saat ini memproduksi 3%-5% tembaga dunia,” kata Rachmat di Jakarta, Selasa (4/11/2025).
Indonesia diprediksi akan memproduksi 15% tembaga dunia pada 2032-2035. Angka tersebut terbilang besar dan menjadi potensi bagi Indonesia untuk menguasai pasar produk tembaga. Namun, dia menyayangkan industrialisasi produk komoditas ini masih minim.
“Kita produksi sekitar 1 juta ton tembaga kita di Indonesia menyerap 200.000-250.000 ton, sisanya ekspor, bayangkan kalau kita di 2033 memproduksi 15% tembaga dan semuanya dieskpor?” ujarnya.
Indonesia saat ini tengah mendorong penghiliran dengan mengatur pelarangan ekspor konsentrat. Untuk itu, dia mendorong pemerintah untuk memberikan stimulus agar proses industrialisasi produk tembaga makin bergairah.
Adapun, produksi konsentrat tembaga mencapai 1 juta ton, sedangkan konsumsi industri domestik hanya sekitar 200.000-250.000 ton dan sisanya diekspor.
“Ini harus dimanfaatkan oleh Indonesia pengusaha dan negara harus memberikan regulasi terbaik untuk mengnyerap produksi-produksi tembaga di negara kita pada masa yang akan datang,” pungkasnya.
